tag:blogger.com,1999:blog-91713894584297734662024-03-08T11:32:19.225-08:00Al-Kisah Al-Kisah Unknownnoreply@blogger.comBlogger18125tag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-24357385027004350122016-10-06T21:12:00.001-07:002016-10-06T21:12:59.467-07:00Nasihat Abdullah bin Mas'ud, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anAbdullah bin Mas'ud berkata:<br />
"Manusia akan senantiasa baik selama ilmu itu datang dari para shahabat Rasulullah dan pembesar mereka, apabila ilmu datang dari ashagir (ahlul bid'ah atau orang yang dangkal keilmuannya), pada waktu itu mereka akan binasa". Beliau juga berkata: "Kalian akan senantiasa baik selama ilmu diambil dari kibaar (orang yang amat dalam keilmuannya/ ulama), apabila ilmu itu diambil dari ashaghir, maka mereka akan menganggap bodoh para kibaar".<br />
(Jami' bayanil ilmi wafadllihi 1/192) <br />
<br />
(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-14816129783227723862016-10-06T21:12:00.000-07:002016-10-06T21:12:17.166-07:00Nasihat Abdullah bin 'Abbas, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anAbdullah bin 'Abbas berkata:<br />
"Wahai pelaku dosa, jangan kamu merasa aman dari akibat dosa, dan yang mengikuti dosa lebih besar dari dosa itu sendiri:<br />
Sedikitnya rasa malumu kepada orang yang ada dikanan dan kirimu ketika engkau berbuat dosa, lebih besar dari dosa yang engkau lakukan itu.<br />
Tertawamu ketika berbuat dosa, padahal kamu tidak mengetahui apa yang akan Allah lakukan kepadamu, lebih besar dari dosa tersebut.<br />
Rasa sedihmu ketika terluput dari dosa, lebih besar dari dosamu ketika kamu dapat melakukannya.<br />
Ketakutanmu kepada angin yang akan membuka pintu ketika kamu melakukan dosa; sementara hatimu tidak bergetar dari penglihatan Allah, lebih besar dari dosa yang kamu lakukan".<br />
(Sifatush shofwah 1/383)<br />
<br />
(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-27788016380179380912016-10-06T21:11:00.001-07:002016-10-06T21:11:44.083-07:00Yang dikhawatirkan oleh Nabi SAW akan menimpa umatnya, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anBagian 1.<br />
<br />
1. Dibukanya pintu kesenangan dunia.<br />
<br />
إِنِّ مِمَّا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِي مَا يُفْتَحُ عَلَيْكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا وَزِينَتِهَا<br />
<br />
"Sesungguhnya diantara perkara yang aku khawatirkan atas kalian setelahku adalah dibukakan kepadamu kesenangan dunia dan perhiasannya". (HR Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
<br />
<br />
Dunia telah disifati oleh Allah sebagai kesenangan yang menipu, berbangga-bangga dengan harta dan anak-anak. Allah Ta'ala berfirman:<br />
<br />
ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ<br />
<br />
"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga diantara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridlaannya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu". (Al Hadiid : 20).<br />
<br />
Kesenangan dunia dan perhiasannya telah menjadikan banyak manusia lupa dan lalai, oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sangat mengkhawatirkan umatnya dilalaikan dengan mengejar dunia dan melupakan kehidupan akhirat, karena yang demikian itu menyebabkan kaum muslimin mendapatkan hal yang tidak diinginkan yaitu:<br />
<br />
a. Menjadi terhina di hadapan kaum kuffar.<br />
<br />
Sebagaimana sabda Nabi shallalahu 'alaihi wasallam :<br />
<br />
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ<br />
<br />
"Apabila kamu berjual beli dengan cara riba, mengambil ekor sapi, rela dengan tanaman dan meninggalkan jihad (membela agama), Allah akan kuasakan kehinaan kepadamu dan Dia tidak akan mencabutnya sampai kamu kembali kepada agamamu (yang benar)". (HR Abu Dawud dan lainnya).<br />
<br />
Ini artinya kaum muslimin lebih mencintai dunia dan tidak mau membela agama Allah karena lebih disibukkan dengan mengejar dunia dan perhiasannya walaupun dengan cara yang diharamkan oleh Allah 'Azza wajalla, sehingga kewibawaan kaum musliminpun hilang dan Allah jadikan mereka terhina bagaikan buih yang bawa oleh banjir. Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :<br />
<br />
يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ<br />
<br />
“Hampir-hampir umat-umat kafir saling memanggil untuk melahap kalian sebagaimana orang-orang lapar saling memanggil untuk melahap hidangan“. Lalu seorang shahabat berkata: ”Apakah jumlah kita sedikit waktu itu ? beliau bersabda: ”Justru jumlah kalian banyak pada waktu itu, akan tetapi seperti buih yang dibawa oleh banjir, dan Allah benar-benar akan mencabut rasa takut kepada kalian dari dada-dada mereka, dan melemparkan kepada hati kalian al wahan“. Seorang sahabat berkata: ”Apakah al wahan itu ? beliau bersabda: ”cinta dunia dan takut mati“. (HR Abu Dawud no 4297 dan dishohihkan oleh Syeikh Al Bani dalam shohih Sunan Abi Dawud).<br />
<br />
b. Saling menumpahkan darah.<br />
<br />
Cinta dunia menjadikan manusia gelap mata dan kikir, sehingga mereka berlomba mencarinya dengan berbagai macam cara walaupun harus dengan menumpahkan darah saudaranya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:<br />
<br />
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ.<br />
<br />
"Jauhilah berbuat zalim karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat, Jauhilah syuhh (sangat kikir) karena sangat kikir itu telah membinasakan orang-orang sebelum kamu, dan membawa mereka untuk menumpahkan darah dan menganggap halal wanita-wanita mereka". (HR Muslim).<br />
<br />
Sifat syuhh muncul akibat cinta dunia yang amat sangat, Ath Thibi rahimahullah berkata: "Bakhil adalah kikir dan syuhh adalah bakhil yang disertai berbuat zalim, (dalam hadits ini) disebutkan syuhh setelah menyebutkan zalim untuk menunjukkan bahwa syuhh adalah macam zalim yang paling berat akibat dari cinta dunia dan kelezatannya".<br />
<br />
Sejarahpun telah mencatat bagaimana kaum muslimin saling menumpahkan darah untuk merebut tahta, sebagaimana disebutkan bahwa ketika banu umayah telah ditumbangkan oleh banu Abasiyah, setiap harinya algojo-algojo banu Abasiyah membunuh delapan puluh orang dari banu umayah lalu mereka menggelar tikar dan makan minum di atas mayat-mayatnya. Dunia islam tak pernah sepi dari perang saudara sebagaimana yang kita baca dalam kitab-kitab sejarah akibat cinta dunia dan kelezatannya. Allahul musta'an.<br />
<br />
c. Tidak peduli halal dan haram.<br />
<br />
Cinta dunia menjadikan manusia membabi buta tak peduli kepada halal dan haram, tidak ada lagi rasa takut kepada siksa Allah Ta'ala, ia mencari rizki tanpa mempedulikan hukum-hukum Allah sebagaimana disebutkan dalam hadits:<br />
<br />
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ<br />
<br />
"Sesungguhnya akan datang kepada manusia suatu zaman dimana seseorang tidak memperdulikan dengan apa ia mengambil harta, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram". (HR Bukhari).<br />
<br />
Perkara-perkara ini yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atas umatnya apabila kesenangan dunia dibukakan kepada mereka, oleh karena itu beliau menganggap bahwa orang yang rakus dengan dunia dan tamak kepada harta lebih berbahaya dari serigala lapar, beliau bersabda:<br />
<br />
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ<br />
<br />
"Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan kepada seekor kambing lebih berbahaya untuk agama seseorang dari orang yang rakus terhadap harta dan kedudukan". (HR At Tirmidzi dan lainnya).<br />
<br />
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "Ini adalah permisalan yang agung yang diumpamakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bagi kerusakan agama seorang muslim akibat rakus terhadap harta dan kedudukan dunia dan bahwa kerusakannya tidak lebih berat dari rusaknya kambing yang dimangsa oleh dua ekor serigala lapar..".<br />
<br />
Merenungi hakikat kehidupan dunia.<br />
<br />
Saudaraku seiman, sesungguhnya kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang abadi, namun ia akan hancur dan amat hina di hadapan Allah lebih hina dari bangkai, Jabir bin Abdillah radliyallahu 'anhu berkata:<br />
<br />
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلًا مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْيٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ<br />
<br />
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke pasar dari arah 'Aliyah dan para shahabatnya berada di sekitarnya, beliau melewati bangkai anak kambing yang telinganya kecil lalu beliau mengambilnya dengan memegang telinganya kemudian bersabda: "Siapakah diantara kamu yang mau membelinya dengan harga satu dirham?" Mereka berkata: "Kamu tidak suka bangkai itu menjadi milik kami, apa yang bisa kami gunakan darinya". Beliau bersabda: "Atau kamu suka bangkai ini menjadi milikmu ?" Mereka berkata: "Demi Allah, kalaupun ia masih hidup maka ia binatang yang mempunyai aib karena telinganya kecil, bagaimana jadinya kalau ia bangkai?" Beliau bersabda: "Demi Allah, dunia lebih hina bagi Allah dari bangkai ini untuk kalian". (HR Muslim).<br />
<br />
Lebih hina dari bangkai ?! ya, karena bangkai menjijikkan dan dibenci oleh manusia sehingga mereka tidak akan dilalaikan untuk berlomba mencari bangkai, sedangkan dunia menjadikan manusia lalai dan tertipu karena perhiasannya menyilaukan hati yang dipenuhi cinta dunia. Maka jadikanlah dunia ini sebagai tempat perlombaan kita mencari pahala akhirat dan keridlaan Allah 'Azza wa Jalla, sambil mencari harta yang halal dan menggunakan harta itu untuk mendulang pahala sebesar-besarnya dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.<br />
<br />
Dahulu, kaum mukminin sibuk berlomba mencari pahala akhirat. Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu berkata,” Sesungguhnya beberapa orang dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ,”Wahai Rosulullah, orang-orang kaya telah pergi membawa pahala banyak ; mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka…”. (HR Muslim).<br />
<br />
Subhanallah ! mereka iri kepada orang kaya bukan karena mempunyai materi kekayaan yang tidak mereka miliki, namun iri karena orang kaya dapat berinfaq dan shodaqah sementara mereka tidak, sehingga mereka tidak dapat meraih pahala besar seperti yang diraih oleh orang kaya.<br />
<br />
Memang itulah tempat perlombaan kaum mukminin, maka selayaknya bagi seorang muslim untuk memikirkan masa depannya di hari akhirat, karena harta dan anak-anak pada hari itu tidak bermanfaat kecuali orang yang membawa hati yang selamat, membawa pahala besar agar dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka.<br />
<br />
2. Hawa nafsu dan syahwat.<br />
<br />
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَفُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْهَوَى.<br />
<br />
"Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan atasmu adalah syahwat yang menyesatkan pada perut dan kemaluanmu dan hawa nafsu yang menyesatkan".<br />
<br />
Hawa nafsu dan syahwat adalah penyakit yang amat berbahaya yang menghinggapi hati seorang muslim, di dalam Al Qur'an Allah Ta'ala telah mencela hawa nafsu dan pelakunya dan menyebutkan bahaya-bahaya yang ditimbulkan olehnya, yaitu:<br />
<br />
a. Pengikut hawa nafsu bagaikan anjing.<br />
<br />
Allah Ta'ala menyebutkan bahwa orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya bagaikan anjing yang menjulurkan lidahnya, Allah Ta'ala berfirman :<br />
<br />
ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦﮧ ﮨﮩ ﮪ ﮫﮬﮭﮮﮯ ﮰ ﮱ ﯓﯔ ﯕﯖﯗ ﯘ ﯙﯚﯛﯜﯝ ﯞﯟ<br />
<br />
"Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami ajarakan kepadanya ayat-ayat Kami, lalu ia lepas darinya maka setan mengikutinya dan jadilah ia orang-orang yang sesat. Kalau Kami kehendaki, Kami akan mengangkat derajatnya dengan (ayat-ayat itu), akan tetapi ia condong kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya juga..". (Al A'raf : 175-176).<br />
<br />
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata: "Allah Subhanahu wa Ta'ala menyerupakan orang yang diajarkan ilmu dan Al Kitab namun ia tidak mau mengamalkannya dan mengikuti hawa nafsunya seperti anjing yang termasuk hewan yang paling dungu dan sangat rakus yang semangatnya tidak melebihi perut (dan kemaluannya), diantara bukti kerakusannya adalah ia senantiasa berjalan dengan moncong hidungnya ke tanah, ia selalu mencium duburnya tanpa bagian tubuhnya yang lain, bangkai lebih ia sukai dari daging yang segar, tinja lebih ia gemari dari makanan yang enak, jika ia menemukan bangkai yang mencukupi seratus anjing ia tidak akan memberikan peluang anjing lain untuk makan bersamanya saking rakus dan bakhilnya.<br />
<br />
Penyerupaan orang yang lebih mengutamakan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat padahal ia mempunyai ilmu yang banyak seperti anjing yang menjulurkan lidahnya mempunyai rahasia yang indah yaitu bahwa orang yang lepas dari ayat-ayat Allah ini dan lebih mengikuti hawa nafsunya semua itu disebabkan keserakahannya terhadap dunia dan hatinyapun terputus dari Allah dan kampung akhirat karena keserakahannya itu..".<br />
<br />
b. Disesatkan di atas ilmu.<br />
<br />
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ ﭩ ﭪ<br />
<br />
"Bagaimana pendapatmu mengenai orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allahpun menyesatkannya di atas ilmu dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan penutup pada penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya hidayah setelah Allah? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (Al Jatsiyah : 23).<br />
<br />
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Artinya ia hanya mau melakukan perintah hawa nafsunya saja, apa yang ia pandang baik dilakukannya dan apa yang menurutnya buruk ditinggalkannya dan ayat ini dapat dijadikan dalil yang membantah pendapat Mu'tazilah yang berpendapat bahwa akal berdiri sendiri dalam menilai baik dan buruk.. (dan Allahpun menyesatkannya di atas ilmu) ada dua makna: yang pertama bahwa Allah menyesatkannya karena Allah mengetahui bahwa ia berhak mendapatkannya dan pendapat kedua adalah bahwa Allah menyesatkannya setelah tegak hujjah kepadanya".<br />
<br />
c. Yang paling sesat di dunia.<br />
<br />
ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ<br />
<br />
"Dan siapakah yang paling sesat dari orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (Al Qashash : 50).<br />
<br />
Syaikh Abdurrahman As Sa'di rahimahullah berkata: "Ini adalah manusia yang paling sesat, ia ditawarkan hidayah dan jalan yang lurus yang akan menyampaikannya kepada Allah dan negeri kemuliaan, namun ia tidak mau menerima dan tidak pula menengoknya, sementara hawa nafsunya menyerunya kepada jalan yang akan menyampaikannya kepada kebinasaan dan kesengsaraan ternyata ia mengikutinya dan meninggalkan hidayah.<br />
<br />
Adakah orang yang lebih sesat dari orang yang seperti ini sifatnya?! Akan tetapi permusuhan dan kebenciannya kepada kebenaran yang menjadikan ia terus menerus di atas kesesatan sehingga Allah tidak memberi hidayah kepadanya".<br />
<br />
d. Tidak berhak menjadi panutan.<br />
<br />
ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ<br />
<br />
"Dan janganlah engkau taati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya dan keadaannya sudah melampaui batas". (Al Kahfi : 28).<br />
<br />
Dalam ayat ini Allah melarang Rasul-Nya untuk mentaati orang yang mempunyai salah satu dari tiga sifat: yang pertama adalah yang lalai dari mengingat Allah sehingga iapun dilalaikan oleh Allah dari mengingat-Nya sebagai balasan dari perbuatannya. Yang kedua adalah mengikuti hawa nafsunya dengan mengikuti semua titah syahwatnya bahkan berusaha untuk meraihnya walaupun padanya terdapat kebinasaan dan kerugian. Dan yang ketiga adalah yang urusannya sia-sia dan meremehkan batasan-batasan Allah dan syari'at-Nya, maka orang yang seperti ini tidak berhak menjadi panutan dalam kehidupan manusia.<br />
<br />
Syaikh Abdurrahman As Sa'di rahimahullah berkata: "Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang berhak ditaati dan menjadi imam untuk manusia adalah orang yang hatinya dipenuhi dengan mencintai Allah dan lisannya senantiasa basah dengan dzikir kepada-Nya, ia senantiasa mengikuti keridlaan Rabbnya dan lebih mengutamakannya dari hawa nafsunya, iapun selalu menjaga waktunya dan istiqamah perbuatannya serta mengajak manusia kepada (hidayah) yang Allah berikan kepadanya".<br />
<br />
e. Sifat orang yang zalim.<br />
<br />
ﮠ ﮡ ﮢﮣ ﮤﮥ ﮦﮧ ﮨ ﮩﮪ ﮫ ﮬﮭ ﮮﮯﮰ ﮱ ﯓ<br />
<br />
"Akan tetapi orang-orang zalim itu mengikuti hawa nafsu mereka dengan tanpa ilmu, maka siapakah yang mampu memberikan hidayah kepada orang yang Allah sesatkan? dan mereka tidak memiliki penolong-penolong (selain Allah)". (Ar Ruum : 29).<br />
<br />
f. Menyesatkan pelakunya dari jalan Allah.<br />
<br />
ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇﰈ<br />
<br />
"Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkanmu dari jalan Allah..". (Shaad : 26).<br />
<br />
Amat berat kerusakan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu dan syahwat, ia merusak dunia dan agama bahkan merusak tatanan kehidupan manusia akibat hatinya yang telah hitam kelam tidak lagi dapat mengenal yang ma'ruf tidak pula mengingkari yang mungkar sebagaimana disebutkan dalam hadits:<br />
<br />
وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ<br />
<br />
"..dan hati yang hitam seperti cangkir yang terbalik; tidak mengenal yang ma'ruf dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya". (HR Muslim).<br />
<br />
Yang lebih berbahaya lagi adalah orang yang berusaha mencari dalil untuk berdalih membenarkan hawa nafsunya dan menafsirkan ayat dan hadits sesuai seleranya, maka orang seperti ini sangat sulit kembali walaupun ditegakkan kepadanya seribu dalil.<br />
<br />
Takut kepada Allah dan siksa-Nya.<br />
<br />
Jalan keselamatan dari bahaya hawa nafsu dan syahwat adalah dengan memperkuat rasa takut kita kepada Allah, bagaimana adzab-Nya yang amat pedih dan bahwasannya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Allah mampu mengadzabnya secara tiba-tiba dalam keadaan ia tidur di waktu malam atau bermain di waktu dluha, Allah Ta'ala berfirman:<br />
<br />
ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ<br />
<br />
"Apakah penduduk negeri itu merasa aman untuk ditimpa adzab Kami di waktu malam dalam keadaan mereka tidur? Ataukah penduduk negeri itu merasa aman untuk ditimpa adzab Kami di waktu dluha dalam keadaan mereka bermain? Apakah merasa aman dari makar Allah? Tidak ada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi". (Al A'raaf : 97-99).<br />
<br />
Allah mampu untuk mencabut keberkahan hidupnya, bahkan menimpakan kepadanya berbagai macam malapetaka dan kesempitan hati, sehingga ia kehilangan kebahagiaan dan ketenangan, bahkan kenikmatan yang ia rasakan hakikatnya adalah buah simalakama yang mengulurnya agar lebih bertambah kesesatannya, dan bertambah penderitaan batinnya yang berakhir dengan kebinasaan.<br />
<br />
ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ<br />
<br />
"Tatkala mereka meninggalkan apa yang telah diperingatkan, Kami bukakan untuk mereka pintu-pintu segala kesenangan, sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, tiba-tiba Kami adzab ia dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam putus asa". (Al An'am:44).<br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ<br />
<br />
"Apabila engkau melihat Allah memberikan kesenangan dunia kepada seorang hamba apa yang ia sukai akibat maksiat-maksiatnya sesungguhnya ia adalah istidraj (penguluran waktu agar lebih sesat) kemudian beliau membacakan ayat di atas". (HR Ahmad dan lainnya).<br />
<br />
Berjuang melawan hawa nafsu.<br />
<br />
Maka hendaknya kita berjuang melawan hawa nafsu dan ia adalah jihad yang agung sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:<br />
<br />
وَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللهِ.<br />
<br />
"Dan jihad yang paling utama adalah orang yang menjihadi dirinya di jalan Allah".(HR Ibnu Nashr).<br />
<br />
ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa jihad melawan diri lebih dikedepankan dari pada jihad melawan musuh, beliau berkata: ”Tatkala jihad melawan musuh-musuh Allah adalah cabang dari jihad seorang hamba melawan dirinya di jalan Allah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :<br />
<br />
المُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ.<br />
<br />
“Mujahid adalah orang yang menjihadi dirinya dalam rangka menta’ati Allah, dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang “. (HR Ahmad).<br />
<br />
Maka jihad melawan diri sendiri di jalan Allah lebih didahulukan dari pada jihad melawan musuh di luar, bahkan sebagai pokok baginya. Karena orang yang tidak mampu berjihad melawan dirinya sendiri untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, tidak mungkin ia mampu berjihad melawan musuh di luar.<br />
<br />
Bagaimana ia mampu menjihadi musuh diluar, sementara musuh yang ada pada dirinya sendiri telah menguasai dirinya, ia tidak mampu menjihadinya dan melawannya di jalan Allah ?! bahkan ia tidak mungkin keluar melawan musuh sampai ia menjihadi dirinya untuk keluar.<br />
<br />
Dua musuh ini adalah sebagai ujian bagi seorang hamba, dan diantara keduanya ada musuh yang ketiga yang tidak mungkin melaksanakan jihad yang dua tadi kecuali dengan menjihadi yang ketiga ini, karena ia selalu menggembosi hamba untuk dapat menjihadi diri dan musuhnya, menakut-takuti hamba dan terus menerus mengkhayalkan kepadanya sebagai sesuatu yang amat berat, dimana ia akan meninggalkan kesenangan, kelezatan dan syahwatnya.<br />
<br />
Tidak mungkin ia menjihadi diri dan musuhnya kecuali dengan menjihadi yang ketiga ini, ia adalah pondasi untuk kedua jihad itu, musuh yang ketiga itu adalah setan, Allah berfirman :<br />
<br />
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا.<br />
<br />
“Sesungguhnya setan itu musuh untuk kalian, maka ambillah ia sebagai musuh “.<br />
<br />
Perintah untuk menjadikan setan sebagai musuh adalah sebagai peringatan untuk mengeluarkan seluruh kemampuan kita dalam rangka memerangi dan menjihadinya, ia adalah musuh yang tak pernah lelah, dan tidak pernah berkurang untuk memerangi hamba selagi nafas masih ada “.<br />
<br />
Namun janganlah pembaca memahami bahwa perkataan di atas dianggap meniadakan jihad melawan musuh, karena ini adalah konsekwensinya. Dan jihad melawan musuh tentu telah ada aturannya dan telah dibicarakan oleh para ulama, bukan di sini pembahasannya.<br />
<br />
3. Syirik kecil Riya.<br />
<br />
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِى النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمُ، اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِى الدُّنْيَا، فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً.<br />
<br />
"Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah syirik kecil". Mereka berkata: "Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Riya, Allah 'Azza wa Jalla akan berfirman kepada mereka pada hari kiamat ketika amalan manusia diberi balasan: "Pergilah kepada orang yang kamu harapkan pujiannya sewaktu di dunia dan lihatlah apakah kamu mendapati pahala dari mereka?" (HR Ahmad).<br />
<br />
Sesungguhnya riya adalah penyakit yang sangat berbahaya yang berasal dari kurangnya ketauhidan hamba kepada Allah Ta'ala, diantara bahaya riya adalah:<br />
<br />
a. Riya membatalkan amalan seorang hamba, Allah Ta'ala berfirman:<br />
<br />
ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ<br />
<br />
"Seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ingin dilihat oleh manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, perumpamaannya adalah seperti batu cadas yang di atasnya ada tanah lalu hujan menimpanya dan menjadikan batu tersebut licin (bersih) kembali, mereka tidak memperoleh sesuatu apapun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir". (Al baqarah : 264).<br />
<br />
b. Riya adalah sifat orang munafik sebagaimana firman Allah Ta'ala:<br />
<br />
ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ<br />
<br />
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malasnya, mereka riya kepada manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja". (An Nisaa : 142).<br />
<br />
c. Pelaku riya adalah yang pertama kali dilemparkan ke dalam api Neraka.<br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ.<br />
<br />
"Sesungguhnya orang yang pertama kali diadzab pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid, lalu ia didatangkan dan Allah memperkenalkan nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengenalnya. Allah berfirman: “Apa yang engkau amalkan padanya?” ia menjawab: “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid”. Allah berfirman: “Kamu dusta, akan tetapi kamu berperang agar disebut pemberani dan telah dikatakan padamu”. Lalu orang itu diperintahkan agar diseret di atas wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api Neraka. Dan orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an, ia didatangkan lalu Allah memperkenalkan nikmat-Nya kepadanya dan iapun mengetahuinya. Allah berfirman: “Apa yang engkau amalkan padanya?” ia menjawab: “Aku mempelajari ilmu dan membaca Al Qur’an karena Engkau”. Allah berfirman: “Kamu dusta, akan tetapi kamu mempelajari ilmu agar disebut ulama dan membaca Al Qur’an agar disebut qori dan telah dikatakan demikian kepadamu”. Lalu orang itu diperintahkan agar diseret di atas wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api Neraka. Dan orang yang Allah luaskan rizkinya dan diberi semua macam harta lalu ia didatangkan dan Allah memperkenalkan nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengenalnya. Allah berfirman: “Apa yang engkau amalkan padanya?” ia menjawab: “Tidak ada satupun jalan yang Engkau sukai untuk diinfakkan padanya kecuali aku telah menginfakkannya karena Engkau”. Allah berfirman: “Kamu dusta, akan tetapi kamu berbuat itu agar disebut dermawan dan telah dikatakan demikian kepadamu”. Lalu orang itu diperintahkan agar diseret di atas wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api Neraka”. (HR Muslim).<br />
<br />
d. Allah berlepas diri dari pelaku riya.<br />
<br />
Dalam hadits qudsi Allah Ta'ala berfirman:<br />
<br />
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ<br />
<br />
"Aku paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang mempersekutukanKu dengan yang lain, Aku akan tinggalkan ia dan kesyirikannya". (HR Muslim).<br />
<br />
e. Lebih ditakutkan dari Al Masih Dajjal.<br />
<br />
Abu Sa'id Al Khudri radliyallahu 'anhu berkata:<br />
<br />
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ<br />
<br />
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar kepada kami dan kami sedang memperbincangkan Al Masih Dajjal, beliau bersabda: "Maukah aku kabarkan kepadamu yang lebih aku takutkan untuk menimpamu dari Al Masih Dajjal ?" kami berkata: "Mau". Beliau bersabda: "Syirik kecil yaitu seseorang berdiri shalat lalu ia memperbagus shalatnya karena ada orang yang memperhatikannya". (HR Ibnu majah).<br />
<br />
Warna-warni riya.<br />
<br />
Riya mempunyai warna warni yang berbeda karena kelincahan setan dalam menggoda manusia, terlebih orang yang diberikan kelebihan baik dalam ilmu, ibadah, kemerduan suara, dan lain sebagainya. Riya' masuk dalam berbagai macam sisi kehidupan; dalam lapangan ilmu misalnya setan berusaha menggoda manusia agar jatuh ke dalam riya, di antara fenomena riya dalam lapangan ilmu:<br />
<br />
a. Terlalu berani berfatwa dan tergesa-gesa untuk mengajar.<br />
<br />
Sifat ini adalah akibat cinta ketenaran dan ingin disebut sebagai 'alim ulama, sehingga ia amat berani berfatwa karena takut dikatakan 'tidak tahu'. Padahal para ulama terdahulu, rasa takut mereka kepada Allah mengalahkan rasa takutnya untuk dikatakan 'tidak tahu'.<br />
<br />
Abu Dawud berkata: "Tak terhitung jumlahnya aku mendengar imam Ahmad ditanya tentang permasalahan yang masih diperselisihkan, beliau berkata: "Aku tidak tahu". Imam Ahmad berkata: "Aku tidak pernah melihat fatwa yang lebih bagus dari fatwa Sufyan bin 'Uyainah, ia amat ringan untuk berkata: "Tidak tahu".<br />
<br />
Ibnu Qayyim berkata: "Para ulama salaf dari kalangan shahabat dan Tabi'in tidak suka tergesa-gesa dalam berfatwa, dan setiap mereka berharap agar saudaranyalah yang menjawabnya, dan bila ia melihat sudah menjadi keharusan baginya, maka ia mengeluarkan semua kesungguhannya untuk mengetahui hukumnya dari Al Qur'an dan sunnah atau pendapat Khulafa Ar Rasyidin, kemudian ia berfatwa".<br />
<br />
Doktor Nashir al ‘aql berkata :” diantara kesalahan yang harus di peringatkan dalam masalah fiqih adalah memisahkan dakwah dari ilmu, dan ini lebih banyak ditemukan pada pemuda, mereka berkata ,” berdakwah berbeda dengan menuntut ilmu “. Oleh karena itu, kita dapati para pemuda sangat memperhatikan amaliyah dakwah, bahkan memberikan semua kesungguhannya, akan tetapi ia sangat sedikit dalam menghasilkan ilmu syar’iat, padahal kebalikannya itulah yang benar, hendaklah ia menuntut ilmu dan bertafaqquh dalam agama, menghasilkan ilmu-ilmu syari’at kemudian baru ia berdakwah…”. (Al Fiqhu fiddiin hal 58).<br />
<br />
b. Sibuk dengan ilmu yang bersifat fardlu kifayah dan meninggalkan yang fardlu 'ain.<br />
<br />
Ia sibuk memperdalam ilmu-ilmu qira'at dan makhrajnya, namun meninggalkan yang lebih utama darinya, yaitu mentadabburi makna-maknanya. Ia memperdalam permasalahan-permasalahan fiqih yang amat pelik namun meninggalkan ilmu tauhid dan ikhlas. Namun bukan berarti kita berburuk sangka kepada mereka, akan tetapi perbuatan tersebut termasuk langkah-langkah setan dalam menggoda manusia.<br />
<br />
c. Suka berdialog dan bertengkar dalam agama.<br />
<br />
Sifat ini digemari oleh orang-orang yang terfitnah oleh popularitas, dan ingin mengalahkan saingannya dengan memperlihatkan kehebatannya, dan ini adalah tanda yang tidak baik, imam Al Auza'I berkata: "Apabila Allah menginginkan keburukan kepada suatu kaum, Allah bukakan kepada mereka pintu jidal, dan menutup untuknya pintu amal".<br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ في رَبَضِ الْجَنّةِ لِمَنْ تَرَكَ المِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقاّ..<br />
<br />
"Aku menjamin dengan rumah di pinggir surga, untuk orang yang meninggalkan mira' (debat kusir), walaupun ia di pihak yang benar..". (HR Abu Dawud).<br />
<br />
Para ulama salaf terdahulu berdialog bila dalam keadaan terpaksa saja, dan adanya orang-orang yang tergelincir dalam masalah ini adalah karena niat yang tidak baik, padahal para ulama salaf lebih memperhatikan amal dari berbicara, adapun sekarang, banyak dari kita yang lebih banyak memperhatikan berbicara karena ingin dianggap unggul. Allahul musta'an.<br />
<br />
d. Marah bila dikritik dan bersikap dingin kepada orang yang menyelisihinya serta berbangga dengan banyaknya pengikut.<br />
<br />
Ini akibat tidak ikhlasnya ia dalam menuntut ilmu dan berdakwah, imam Adz Dzahabi berkata: "Tanda orang yang ikhlas, yang terkadang tak terasa masih menyukai ketenaran, adalah bila ia diingatkan tentang hal itu, hatinya tidak merasa panas, dan tidak membebaskan diri darinya, namun ia mengakuinya dan berkata: "Semoga Allah merahmati orang yang mengingatkan aibku". Ia tidak berbangga dengan dirinya, dan penyakit yang berat adalah bila ia tidak merasakan aibnya tersebut".<br />
<br />
Betapa indahnya perkataan beliau ini, amat layak untuk ditulis dengan tinta emas, dan menjadi renungan kita bersama.<br />
<br />
Al Fudlail bin 'Iyadl berkata (Kepada dirinya): "Wahai, kasihannya engkau.. engkau berbuat buruk tetapi engkau merasa berbuat baik, engkau tidak tahu tetapi merasa selevel dengan ulama, engkau kikir tetapi merasa dermawan, engkau pandir tetapi merasa pintar dan berakal, ajalmu pendek namun angan-anganmu panjang".<br />
<br />
Saudaraku, terkadang banyaknya pengikut membuat kita tertipu dan menjadikan seorang da'I berbangga. Bila yang hadir di majlis taklimnya banyak, ia senang, namun bila yang hadir sedikit, ia bersedih dan ciut hatinya, tanda apakah ini ya akhi..?!<br />
<br />
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: "Aku mempunyai majlis (ta'lim) di Masjid Jami' setiap hari jum'at, apabila yang hadir banyak, aku merasa senang. Dan apabila yang hadir sedikit, aku merasa sedih. Lalu aku tanyakan kepada Bisyir bin Manshur, ia menjawab: "Itu majlis yang buruk, jangan kamu kembali kepadanya". Akupun tidak lagi kembali kepadanya.<br />
<br />
Subhanallah!! Betapa ikhlasnya mereka, betapa jauhnya dari cinta popularitas, sedangkan kita ?!! entah, wallahu a'lam.<br />
<br />
Abu Dawud no 3462 dari jalan Haywah bin Syuraih dari Ishaq Abu Abdirrahman Al Khurrasani dari 'Atha Al Khurrasani dari Nafi' dari ibnu Umar. Qultu: "Sanad hadits ini lemah karena Ishaq bin Asid Abu Abdirrahman adalah perawi yang lemah demikian pula 'Atha Al Khurrasani. Namun imam Ahmad no 4593 meriwayatkan dari jalan Abu Bakar bin 'Ayyasy dari Al A'masy dari Atha' bin Abi Rabah dari ibnu Umar. Qultu: "Sanad ini shahih". Dan hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al Bani dalam silsilah hadits shahih no 11.<br />
<br />
Faidlul qadiir 1/175.<br />
<br />
Syarah hadits maa dzi'baani hal 21.<br />
<br />
Muslim 2/697 no 1006.<br />
<br />
Lihat shahih targhib dan tarhib no 52 dan 2143.<br />
<br />
I'lamul muwaqqi'in hal 114-115 tahqiq Raid bin Shabri bin Abi 'Alafah.<br />
<br />
Tafsir ibnu Katsir 7/205-206 tahqiq Hani Al Haj.<br />
<br />
Taisir Al Karimirrahman hal 567 cet. Muassasah Risalah.<br />
<br />
Taisir Al Karimirrahman hal 425 cet. Muassasah Risalah.<br />
<br />
Muslim 1/128 no 144.<br />
<br />
Ahmad dalam musnadnya 17349 dari jalan Risydin bin Sa'ad Abul Hajjaj Al Mahri dari Harmalah bin Imran At Tujibi dari Uqbah bin Muslim dari Uqbah bin Amir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Qultu: "Sanad ini dla'if karena Risydin adalah perawi yang dla'if sedangkan perawi lainnya tsiqah, namun ia dimutaba'ah oleh Abdullah bin Shalih Al Mishri sebagaimana dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam mu'jam kabiir no 913, dan Abdullah ini adalah katib Laits dikatakan oleh Adz Dzahabi: "Fiihi liin (terdapat kelembekan)". Sehingga hadits ini naik menjadi hasan ligharihi, dan juga dimutaba'ah oleh Hajjaj bin Sulaiman Ar Ra'ini dikeluarkan oleh Ad Dulaabi dalam Al Kuna no 605 tahqiq Abu Qutaibah Al Faryani dan Hajjaj ini dikatakan oleh Abu Zur'ah munkarul hadits dan ibnu Hibban berkata: "Haditsnya mu'tabar bila ia meriwayatkan dari tsiqah". Maka hadits ini menjadi semakin kuat dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah no 413.<br />
<br />
Lihat silsilah shahihah no 1491.<br />
<br />
Al Musnad no 24004, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah no 549.<br />
<br />
Zadul Ma’ad 3/6 Tahqiq Syu’aib Al Arnauth.<br />
<br />
Dalam musnadnya no 23680 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Targhib no 32.<br />
<br />
Muslim 3/1513 no 1905.<br />
<br />
Muslim no 2985.<br />
<br />
Ibnu Majah no 4204 dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Targhib wattarhib no 30.<br />
<br />
I'laamul muwaqqi'iin 1/33-34.<br />
<br />
Sunan Abu Dawud no 4800, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Abi Dawud no 4015.<br />
<br />
Siyar a'lamin Nubalaa 7/393.<br />
<br />
Siyar A'lamin Nubalaa 8/440.<br />
<br />
Hilyatul auliya 9/12.<br />
<br />
<br />
Bagian 2.<br />
<br />
1. Para pemimpin yang menyesatkan.<br />
<br />
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ .<br />
<br />
"Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah para imam yang menyesatkan". (HR Ahmad).<br />
<br />
Para imam yang menyesatkan yang menyeru manusia kepada pintu-pintu neraka, sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits Hudzaifah:<br />
<br />
قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا<br />
<br />
" Aku berkata: "Apakah setelah kebaikan itu akan ada lagi keburukan ?"<br />
<br />
Beliau menjawab: "Iya, yaitu akan ada para penyeru kepada pintu-pintu Jahannam, siapa yang mengikutinya akan dilemparkan ke dalamnya".<br />
<br />
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, sifatkan mereka kepada kami ?"<br />
<br />
Beliau menjawab: "Mereka dari kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita (umat islam.pen)". (HR Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Terlebih di zaman ini, para imam yang menyesatkan amat banyak, terutama kaum Liberal dan antek-anteknya, yang berusaha merusak aqidah islam dan melontarkan syubhat-syubhat yang dahsyat dengan berbagai macam cara, semoga Allah menghancurkan mereka dan memberikan sanksi yang setimpal dengan kejahatan mereka.<br />
<br />
Cara jitu menyesatkan manusia.<br />
<br />
Saudaraku, sesungguhnya para imam kesesatan itu mempunyai banyak cara dalam menyesatkan manusia, diantara caranya adalah yang dituturkan oleh imam Asy Syathibi beliau berkata: "Setiap orang yang mengikuti mutasyabihat atau merubah-rubah manath atau menafsirkan ayat-ayat dengan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih atau berpegang dengan hadits-hadits yang lemah atau memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan perbuatan atau perkataan atau keyakinan yang sesuai dengan seleranya maka ia tidak akan pernah beruntung.. barang siapa yang ingin menyelamatkan dirinya hendaklah ia tatsabbut (memeriksa dengan teliti) sampai menjadi jelas kepadanya jalan (kebenaran), namun barang siapa yang meremehkan masalah ini, ia akan dilemparkan oleh hawa nafsu dalam jurang yang tidak ada tempat keselamatan kecuali dengan apa yang Allah kehendaki".<br />
<br />
Perkataan Imam Asy Syathibi di atas menyebutkan beberapa cara yang digunakan para imam yang menyesatkan dalam mengelabui manusia, yaitu:<br />
<br />
Pertama: Mengikuti mutasyabihat.<br />
<br />
Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak ada yang mengetahui maknanya kecuali Allah sebagaimana firman Allah Ta'ala:<br />
<br />
ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ<br />
<br />
".. Adapun orang-orang yang hatinya condong (kepada kesesatan) mereka mengikuti yang mutasyabih karena menginginkan fitnah dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah..". (Ali Imran : 7).<br />
<br />
Contohnya adalah ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat-sifat Allah Ta'ala, dimana dari sisi maknanya telah diketahui dalam bahasa arab namun dari sisi hakikat dan tata caranya tidak ada yang mengetahuinya selain Allah, seperti sifat yad yang artinya tangan dari sisi sini maknanya jelas namun hakikat bentuknya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, dan ahlussunnah menetapkan sifat tangan bagi Allah dan mengatakan bahwa tangan Allah tidak serupa dengan tangan makhluk-Nya.<br />
<br />
Akan tetapi kelompok jahmiyah dan Mu'tazilah mengikuti mutasyabihat, mereka tidak dapat menerima ayat-ayat seperti ini karena mereka memikirkan hakikat dan bentuk tangan Allah dengan akal mereka yang lemah, lalu menyerupakan Allah dengan makhluknya dengan mengatakan: "Bila Allah mempunyai tangan berarti Allah berupa jasad renik yang membutuhkan satu sama lainnya". Hasilnya mereka menolak sifat ini dan menta'wil maknanya dengan mengatakan bahwa maksud tangan adalah ni'mat dan sebagainya. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.<br />
<br />
Sebagian ulama menafsirkan makna mutasyabihat bahwa ia adalah ayat yang mengandung beberapa makna dan tidak mungkin menentukan salah satu maknanya kecuali dengan merujuk ayat yang muhkam. Dan makna inipun benar dan tidak bertentangan dengan ayat di atas, karena hanya Allah yang mengetahui maknanya dan makna yang benar telah Allah jelaskan dalam ayat-ayat yang muhkam, oleh karena itu sikap yang benar terhadap ayat-ayat mutsyabihat adalah dengan mengembalikannya kepada ayat-ayat yang muhkam bila ada, dan bila tidak ada maka tetap mengimaninya tanpa bertanya tata caranya. Wallahu a'lam.<br />
<br />
ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Adapun tata cara para shahabat, tabi’in dan para ulama hadits seperti Asy Syafi’I, Ahmad, Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Al bukhari dan lainnya adalah mereka mengembalikan dalil yang mutsyabih kepada dalil yang muhkam, dan mereka mengambil dalil yang muhkam untuk menjelaskan dalil yang mutasyabih, sehingga dalil yang mutasyabih tersebut sepakat dengan yang muhkam, dan nash pun saling berpadu; membenarkan satu sama lainnya, karena semuanya berasal dari Allah, dan yang berasal dari Allah tidak mungkin terjadi padanya kontradiksi.”<br />
<br />
Contohnya adalah kata yad, dalam bahasa arab ia mempunyai beberapa makna yaitu tangan, ni'mat dan lainnya sehingga kaum Asy 'Ariyah menolat sifat tangan dengan alasan bahwa makna yad dalam bahasa arab mempunyai beberapa makna, padahal bila kita melihat redaksi ayat yang muhkam tampak dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah tangan, Allah berfirman:<br />
<br />
ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴﯵ<br />
<br />
"Bahkan kedua tangan Allah terbuka, Dia berinfak sesuai dengan apa yang Dia kehendaki". (Al Maidah : 64).<br />
<br />
Dalam ayat ini disebutkan kata yad dengan bentuk mutsanna (dua), sedangkan ni'mat Allah amatlah banyak tidak hanya dua, sebagaimana dalam ayat:<br />
<br />
ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜﭝ<br />
<br />
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidak akan dapat menghitungnya". (Ibrahim : 34).<br />
<br />
Kedua: Merubah-rubah manath.<br />
<br />
Manath adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau dengan kata lain alasan pensyari'atan, contohnya illat diharamkannya arak adalah memabukkan, illat diharamkannya zina adalah merusak keturunan dan seterusnya. Merubah-rubah manath adalah sifat pengikut hawa nafsu yang bertujuan membenarkan hawa nafsunya, dan cara ini amat mengelabui orang awam karena mereka akan menganggap benar apa yang dilakukan olehnya.<br />
<br />
Seperti perkataan sebagian orang bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa hari senin illatnya adalah dalam rangka merayakan hari kelahirannya dengan bukti ketika beliau ditanya tentang puasa hari senin beliau menjawab bahwa itu adalah hari kelahiran beliau shallallahu 'alaihi wasallam.<br />
<br />
Bila kita perhatikan sekilas tampak benar namun bila kita perhatikan secara cermat dan kita bandingkan dengan pelaksanaan perayaan maulid yang ada di zaman ini akan sangat jelas kebatilan pendapat ini karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukannya dengan cara berpuasa sedangkan mereka melaksanakannya dengan ritual-ritual yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ini bila kita menerima bahwa illatnya adalah merayakan kelahirannya.<br />
<br />
Akan tetapi illat ini tidak benar karena dijelaskan dalam hadits lain bahwa hari senin dan kamis adalah hari ditampakkan amal-amal shalih kepada Allah Ta'ala sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :<br />
<br />
تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ<br />
<br />
"Amal-amal ditampakkan pada hari senin dan kamis maka aku suka amalanku ditampakkan dalam keadaan aku berpuasa". (HR At Tirmidzi dan beliau berkata: "Hadits hasan gharib".)<br />
<br />
Perbuatan merubah-rubah manath sering kali dilakukan kaum liberal di zaman ini untuk merusak citra islam seperti perkataan mereka bahwa tujuan memotong tangan pencuri adalah agar pelakunya tidak mencuri lagi, jadi bisa diganti dengan cara lain seperti di beri uang atau dipenjara dan lainnya. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentulah orang yang paling mengetahui makna-makna ayat dan beliau memperaktekan ayat potong tangan dengan cara memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangannya, dan ini adalah sanksi yang paling tepat agar mereka jera dan meninggalkan pencurian, karena kenyataan membuktikan bahwa pencuri yang sanksinya sebatas dipenjara tetap tidak jera dan kembali melakukannya, bagaimana jadinya bila diberi uang. Allahul musta'an.<br />
<br />
Ketiga: Menafsirkan ayat-ayat dengan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih.<br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memuji tiga generasi pertama dalam sabdanya:<br />
<br />
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ<br />
<br />
"Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku kemudian setelahnya kemudian setelahnya". (HR Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Terutama generasi para shahabat yang telah dipuji oleh Allah secara khusus dalam kitab-Nya, dan menjadikan mereka sebagai parameter hidayah:<br />
<br />
ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑﮒ<br />
<br />
"Jika mereka beriman kepada apa yang kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka akan senantiasa berada dalam perselisihan..". (Al Baqarah : 137).<br />
<br />
Kata ganti "kamu" dalam ayat ini adalah untuk para shahabat, artinya bila mereka beriman seperti apa yang diimani oleh para shahabat maka mereka akan mendapat hidayah dan bila tidak maka mereka akan senantiasa berselisih, dan firman Allah adalah benar sesuai dengan kenyataan yang kita saksikan dimana setiap keyakinan yang menyimpang dari keyakinan dan pemahaman para shahabat senantiasa dalam perselisihan dan permusuhan, sebagian mereka menganggap sesat sebagian lainnya bahkan saling mengkafirkan.<br />
<br />
Para imam kesesatan selalu berpaling dari pemahaman para shahabat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya, ia akan menafsirkan ayat-ayat atau hadits sesuai dengan hawa nafsu dan pemahamannya yang dangkal, bukan hanya itu bahkan mereka menganggap bahwa generasi khalaf (belakangan) dianggap lebih faham tentang ayat-ayat Allah dari pada generasi salaf, dan menuduh bahwa salaf katanya terlalu terkstual dan tidak kontekstual sebagaimana yang dinyatakan oleh gembong JIL di negeri ini.<br />
<br />
Secara akal saja tidak mungkin generasi yang paling fasih yang langsung menyaksikan turunnya Al Qur'an dan melihat bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menafsirkannya akan lebih bodoh dari kaum liberalis yang dungu itu, mungkinkah Allah memuji para shahabat dan menyatakan keridlaan-Nya sebagaimana dalam surat At Taubah ayat 100 dan ternyata kaum liberalis lebih tertunjuki dari mereka ?!<br />
<br />
Atau mungkinkah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya kemudian setelahnya kemudian setelahnya, dan ternyata kaum liberalis itu lebih baik dari tiga generasi yang utama ?! atau mungkinkah para ulama akan bersepakat di atas kesesatan tatkala mereka semua bersepakat bahwa para shahabat adalah sebaik-baiknya generasi dalam ilmu, pemahaman dan agama, padahal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa umatnya tidak mungkin bersepakat di atas kesesatan ?!!<br />
<br />
Keempat: Berpegang kepada dalil-dalil yang lemah.<br />
<br />
Dalil yang lemah hanya menghasilkan dzann yang marjuh (dugaan yang lemah) dan dugaan yang lemah tidak boleh dipakai dengan kesepakatan seluruh ulama, bagaimana kiranya bila dalil tersebut sangat lemah atau bahkan palsu, oleh karena itu seluruh ulama bersepakat mengharamkan berdalil dengannya dalam masalah aqidah, hukum maupun fadlilah amal.<br />
<br />
Berdalil dengan dalil yang lemah biasa digunakan di masyarakat yang dikuasai oleh kebodohan terhadap ilmu hadits, dan para imam kesesatan akan berusaha menyembunyikan kelemahan dalil yang ia pakai dengan berbagai macam upaya, seperti mengklaim secara dusta bahwa hadits itu dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim atau salah satunya padahal tidak demikian, atau membawakan sebuah lafadz yang lemah namun ada lafadz lain yang shahih akan tetapi lafadz yang shahih tersebut tidak terdapat padanya sesuatu yang dapat mendukung ra'yunya, lalu ia gunakan lafadz yang lemah dan menempelkannya kepada lafadz hadits yang shahih.<br />
<br />
Contohnya adalah berdalil dengan kisah hadits orang buta yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan memohon agar di do'akan kesembuhan untuk matanya lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan do'a kepadanya:<br />
<br />
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ<br />
<br />
"Ya Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan melalui Nabi-Mu Muhammad seorang Nabi rahmat. Sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Rabbku untuk memenuhi kebutuhanku ini, ya Allah berilah syafaat untuknya padaku". (HR At Tirmidzi).<br />
<br />
Hadits ini dijadikan dalil bolehnya bertawassul melalui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah wafat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, padahal hadits ini tidak menunjukkan kepada yang pemahaman tersebut karena hadits ini terjadi ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup dan dilakukan di hadapan beliau, maka ia pun berhujjah dengan sebuah lafadz dalam salah satu lafadz dari hadits tersebut yaitu tambahan: "Jika ada hajat, lakukanlah seperti itu lagi". Tambahan inilah yang diinginkan oleh orang yang membela bolehnya tawassul melalui Nabi setelah wafatnya karena lafadz ini menunjukkan bolehnya melakukan do'a tersebut kapan ada keperluan walaupun beliau telah tiada, padahal tambahan ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, sedangkan Syu'bah bin Hajjaj meriwayatkan dengan tanpa tambahan tersebut. Dan Syu'bah jauh lebih tsiqah dari Hammad bin Salamah sehingga tambahan tersebut dihukumi syadz oleh para ulama yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang berlawanan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah dan syadz adalah salah satu macam hadits lemah.<br />
<br />
Kelima: Memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan sebuah perbuatan atau perkataan atau keyakinan.<br />
<br />
Memahami dengan pemahaman yang dangkal terjadi terkadang disebabkan oleh kemalasan untuk mencari dalil lain yang menjelaskannya atau ketidak tahuan peraktek para shahabat terhadap dalil tersebut atau lemahnya pengetahuan dia terhadap kaidah-kaidah ushul. Dan terkadang akibat hawa nafsu yang menjadikan ia memahaminya secara membabi buta tanpa menelitinya lebih lanjut.<br />
<br />
Contoh kasus ini amatlah banyak terutama di kalangan ahlul bid'ah yang berusaha mempertahankan bid'ahnya mati-matian, seperti orang yang membuat lafadz-lafadz shalawat tertentu berdalil dengan keumuman hadits mengenai keutamaan bershalawat, atau orang yang merayakan maulid berdalil dengan ayat yang menunjukkan perintah untuk bergembira dengan karunia dan nikmat Allah dan lain sebagainya, bila kita perhatikan secara teliti sebetulnya dalil tersebut tidak mendukung apa yang mereka inginkan.<br />
<br />
ENAM PERKARA.<br />
<br />
أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا : إِمَارَةَ السُّفَهَاءِ وَ سَفْكَ الدَّمِ وَ بَيْعَ الْحُكْمِ وَ قَطِيْعَةَ الرَّحْمِ وَ نَشْوًا يَتَّخِذُوْنَ الْقُرْآنَ مَزَامِيْرَ وَ كَثْرَةَ الشُّرَطِ .<br />
<br />
"Aku khawatir atas kalian enam perkara: imarah sufaha (orang-orang yang bodoh menjadi pemimpin), menumpahkan darah, jual beli hukum, memutuskan silaturahmi, anak-anak muda yang menjadikan Al Qur'an sebagai seruling-seruling, dan banyaknya algojo (yang zalim)". (HR Ath Thabrani).<br />
<br />
Dalam hadits ini Nabi mengkhawatirkan enam perkara atas umatnya yaitu:<br />
<br />
2. Orang-orang bodoh menjadi pemimpin (Imarah sufaha).<br />
<br />
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan siapa yang dimaksud dengan imarah sufaha, beliau bersabda kepada Ka'ab bin 'Ujrah:<br />
<br />
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي<br />
<br />
"Semoga Allah melindungimu dari imarah sufaha". Ia berkata: "Siapakah imarah sufaha itu?" Beliau bersabda: "Yaitu pemimpin-pemimpin yang akan datang setelahku, mereka tidak mau mengambil petunjukku, dan tidak mau mengambil sunnahku. Barangsiapa yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu kezalimannya, maka ia bukan dari golonganku dan aku bukan dari mereka, dan mereka tidak akan singgah di telaga haudlku. Dan barang siapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak membantu kezalimannya, maka merekalah golonganku dan aku dari golongan mereka, dan mereka akan singgah di telaga haudlku". (HR Ahmad).<br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengkhawatirkan adanya imarah sufaha, karena mereka tidak mau mengambil petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam peraturan, sehingga hukum Allah dikesampingkan. Akibatnya, rusaklah kehidupan, padahal hukum Allah adalah kehidupan untuk manusia, Allah Ta'ala berfirman:<br />
<br />
ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ<br />
<br />
"Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa". (Al Baqarah : 179).<br />
<br />
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
حَدٌّ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْأَرْضِ خَيْرٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا<br />
<br />
"Menegakkan sebuah hadd Allah lebih baik bagi penduduk bumi dari hujan selama empat puluh malam". (HR Ibnu Majah).<br />
<br />
Indahnya hukum islam.<br />
<br />
Dalam ayat di atas, Allah memanggil orang-orang yang berakal agar berfikir, bahwa hukum Allah adalah kehidupan untuk manusia; dalam kasus pembunuhan misalnya, bila ditegakkan qishash maka orang akan berfikir dua belas kali sebelum melakukannya, karena balasannya adalah dibunuh kembali. Pencuri akan jera, dan orang pun akan meninggalkan zina, dan manusia tidak akan berani menzalimi orang lain, karena akan diberi hukuman yang setimpal. Berbeda bila hanya dipenjara, mereka tak akan pernah jera, bahkan akan semakin merajalela.<br />
<br />
Dalam pemilihan pemimpin, islam memerintahkan untuk menyerahkan kepada ahlul hilli wal 'aqdi yang berisi para alim ulama dan orang-orang yang berpengalaman, agar memilih pemimpin yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih, diantaranya harus seorang mujtahid, luas pengetahuannya, sehat jasmani dan rohaninya, adil, menguasai taktik perang, dan lain-lain. Berbeda bila diserahkan kepada rakyat, maka yang dapat menjadi pemimpin adalah yang paling banyak suara dan uangnya, walaupun ia berhati setan dan berbadan manusia, sehingga tidak akan mungkin lepas dari korupsi dan manipulasi, karena besarnya uang yang dibutuhkan untuk pencalonan. Bila uang itu digunakan untuk pembangunan negara, tentu akan lebih bermanfaat dari pada dihambur-hamburkan untuk mencari masa.<br />
<br />
Islam amat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan menghilangkan kemudlaratan dari mereka, menghancurkan kezaliman dan melarakan tindakan semena-mena, cobalah dengarkan khutbah Abu Bakar radliyallahu 'anhu, ketika beliau diangkat menjadi khalifah:<br />
<br />
"Wahai manusia, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpinmu, namun aku bukan orang yang terbaik diantara kamu. Maka bila aku berbuat baik, bantulah aku, dan bila aku berbuat kesalahan, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat, dan orang yang lemah diantara kamu adalah kuat di sisiku, sampai aku kembalikan haknya insya Allah. Sedangkan orang yang kuat diantara kamu adalah lemah di sisiku, sampai aku ambil hak (zakat) darinya insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, kecuali Allah akan kuasakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah tersebar zina pada suatu kaum, kecuali Allah akan meratakan adzab-Nya kepada mereka. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan apabila aku memaksiati Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada ketaatan atas kamu kepadaku".<br />
<br />
3. Menumpahkan darah.<br />
<br />
Menumpahkan darah adalah dosa yang amat besar di sisi Allah Ta'ala, dan Allah Ta'ala telah melarang menumpahkan darah dalam beberapa ayat-Nya, diantaranya Allah berfirman:<br />
<br />
ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ<br />
<br />
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan". (Al Israa : 33).<br />
<br />
Allah Ta'ala menyebutkan bahwa membunuh seorang manusia dengan tanpa alasan yang benar, sama dengan membunuh semua manusia, Allah Ta'ala berfirman:<br />
<br />
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫﭬ<br />
<br />
"Oleh karena itu, Kami tetapkan bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya..". (Al Maidah: 32).<br />
<br />
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Artinya barangsiapa yang membunuh jiwa dengan tanpa alasan seperti qishas, atau berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia semuanya, karena tidak ada bedanya bagi dia suatu jiwa dengan jiwa lainnya..".<br />
<br />
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan bahwa membunuh jiwa tanpa alasan yang benar adalah salah satu perkara yang membinasakan, beliau bersabda:<br />
<br />
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ<br />
<br />
"Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!" Mereka berkata: "Apakah itu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan tanpa alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari medan perang, dan menuduh wanita-wanita mukminah yang baik-baik". (HR Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Karena jiwa seorang muslim lebih berharga dari dunia dan seisinya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا.<br />
<br />
"Membunuh mukmin lebih agung di sisi Allah dari hancurnya dunia".<br />
<br />
4. Jual beli hukum.<br />
<br />
Yang dimaksud dengan jual beli hukum adalah suap menyuap agar seorang hakim tidak menghukumi dengan hukum yang adil, dan ini adalah dosa yang besar dan mendatangkan laknat Allah Ta'ala. Karena kewajiban hakim adalah menghukumi manusia dengan 'adil sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah, maka jika hukum dapat dibeli dengan uang, akan hancurlah negeri dan binasalah manusia, kebatilan akan merajalela dan berakhir dengan datangnya adzab Allah 'Azza wa Jalla.<br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melaknat orang yang memberi uang suap dan yang menerimanya, beliau bersabda:<br />
<br />
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ<br />
<br />
"Semoga Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima uang suap dalam hukum".(HR Ahmad dan lainnya).<br />
<br />
Hadits ini tegas melarang risywah (suap menyuap) dan pelakunya berhak mendapatkan laknat dari Allah Ta'ala, karena keduanya saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu para ulama berkata, ”Siapa saja yang memberikan hadiah untuk pejabat negara dengan tujuan agar ia melakukan sesuatu yang tidak boleh, maka ia adalah haram bagi orang yang memberikan hadiah dan yang diberi hadiah dan ini termasuk risywah (suap menyuap) yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :<br />
<br />
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى.<br />
<br />
“Allah melaknat yang menyuap dan yang disuap”. (HR Ahmad).<br />
<br />
Adapun jika ia memberi hadiah untuk menghindari kezalimannya atau memberikan kepadanya haknya yang wajib, maka hadiah tersebut haram bagi orang yang menerimanya saja, dan boleh bagi orang yang memberinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
إِنِّيْ لَأُعْطِى أَحَدَهُمْ الْعَطِيَّةَ فَيَخْرُجُ بِهَا يَتَأَبَّطُهَا نَارًا. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَلِمَ تُعْطِيْهِمْ؟ قَالَ : يَأْبُوْنَ إِلاَّ أَنْ يَسْأَلُوْنِيْ وَيَأْبَى اللهُ لِيَ الْبُخْلَ.<br />
<br />
“Sesungguhnya Aku memberikan kepada salah seorang dari mereka pemberian, maka ia keluar sambil membawa Neraka di ketiaknya”. Dikatakan,”Wahai Rosulullah, mengapa engkau memberinya? Beliau bersabda: “Mereka terus menerus minta kepadaku dan Allah tidak menyukai aku bakhil”. (HR Ahmad).<br />
<br />
Dan yang masuk dalam masalah ini adalah yang disebut dengan hadaya al 'Ummaal (hadiah untuk pejabat/ uang pelicin) dalam hadits berikut ini:<br />
<br />
اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ بَنِي أَسْدٍ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سُفْيَانُ أَيْضًا فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا.<br />
<br />
"Nabi shallalahu 'alaihi wasallam menugaskan seseorang dari bani Asad yang bernama ibnul Lutbiyyah untuk mengambil shadaqah, ketika ia telah kembali ia berkata: "Ini untuk kamu dan ini hadiah untukku".<br />
<br />
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri di atas mimbar, lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda: "Ada apa dengan seorang pegawai yang kami utus, lalu ia datang dan berkata: "Ini untukmu dan ini untukku". Mengapa ia tidak duduk sajadi rumah ayah dan ibunya untuk melihat apakah akan diberikan hadiah untuknya atau tidak?! Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, tidaklah ia datang membawa sesuatu kecuali ia akan datang pada hari kiamat sambil membawanya di atas lehernya; berupa untuk yang bersuara (rugha), sapi yang berkoar dan kambing yang mengembik.<br />
<br />
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putihnya ketiak beliau seraya bersabda: "Bukankah aku telah menyampaikannya?" 3x. (HR Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
5. Memutuskan silaturahim.<br />
<br />
Islam memerintahkan untuk menyambung silaturrahim kepada orang-orang yang mempunyai kekerabatan dengan kita, dan memberikan pahala besar bagi yang mengamalkannya, bahkan ia termasuk perintah Allah yang paling agung, dan larangan Allah yang urgen, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ<br />
<br />
{ فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا }<br />
<br />
"Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk sehingga apabila telah selesai, rahim berdiri dan berkata: "Ini adalah tempat orang yang berlindung dari qathi'ah (memutus tali silaturahmi)". Allah berfirman: "Ya, tidakkah engkau ridla bila aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan orang yang memutuskanmu ?" rahim berkata: "Ya, Aku ridla". Allah berfirman: "Itu adalah untukmu".<br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacalah jika kamu mau:<br />
<br />
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka, dan dibutakan penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad: 22-24).<br />
<br />
Allah telah menjanjikan pahala besar bagi orang yang menyambung silaturahim di akherat kelak, dan menganugerahkan karunia yang besar di dalam kehidupan dunia. Diantara keutamaan silaturrahim adalah sebagai kesempurnaan iman seorang hamba. Nabi shallallhu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ<br />
<br />
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia menyambung rahimnya". (HR Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Diantaranya juga bahwa silaturahim dapat meluaskan rizki dan memanjangkan umur, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ<br />
<br />
"Barang siapa yang suka diluaskan rizkinya, dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung silaturahim". (HR Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Dan hendaknya, kita memperhatikan adab-adab yang harus dijaga dalam silaturahmi, diantara adab-adab itu adalah:<br />
<br />
Adab pertama: Niat yang iklash, dan tidak mengharapkan keuntungan duniawi belaka.<br />
<br />
Karena Allah tidak akan menerima amalan yang tidak ikhlas, bahkan meleburkan pahala orang yang hanya berharap keuntungan duniawi, Allah Ta'ala berfirman:<br />
<br />
ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍﮎﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﭼ<br />
<br />
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan balasan atas pekerjaan mereka di dunia, dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali Neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Huud : 15-16).<br />
<br />
Adab kedua: Mendahulukan yang paling dekat kekerabatannya.<br />
<br />
Semakin dekat kekerabatan, maka menyambungnya semakin wajib, maka bila seseorang misalnya menyambung silaturahim dengan anak pamannya, namun malah memutuskan silaturahim dengan kakak atau adiknya, orang seperti ini tentunya tidak dianggap berakal. Abu Hurairah berkata:<br />
<br />
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ.<br />
<br />
"Seorang laki-laki berkata: "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling layak aku berbuat baik kepadanya? Beliau menjawab: "Ibumu kemudian ibumu kemudian ibumu, kemudian ayahmu kemudian yang paling dekat dan paling dekat". (HR Muslim).<br />
<br />
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa orang yang paling berhak mendapatkan perbuatan baik adalah kerabat kita yang paling dekat, maka seorang muslim yang faqih tentunya akan mencari yang paling besar pahalanya.<br />
<br />
Adab ketiga: Jangan bersilaturahim hanya karena untuk membalas kebaikan saja.<br />
<br />
Karena hakikat silaturahim adalah untuk mengharapkan keridlaan Allah dengan berbagai bentuk usaha yang mungkin dilakukan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا.<br />
<br />
"Bukanlah orang yang menyambung silaturahim itu orang yang membalas, akan tetapi orang yang menyambung adalah yang apabila diputuskan tali silaturahimnya, ia berusaha menyambungnya". (HR Bukhari).<br />
<br />
Dan berusaha menyambung silaturahim yang diputuskan adalah amalan yang amat agung pahalanya, karena kebanyakan manusia bila diputuskan silaturahimnya, akan segera membalas dengan perbuatan yang serupa. Disebutkan di dalam hadits bahwa seorang laki-laki berkata: "Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat yang aku berusaha menyambung rahimnya namun mereka malah memutuskannya, dan aku berusaha berbuat baik kepadanya, namun mereka malah berbuat buruk kepadaku, dan aku berusaha berlemah lembut terhadap mereka, namun mereka berbuat jahil kepadaku". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ.<br />
<br />
"Jika keadaanmu seperti yang yang kamu katakan tadi, maka seakan-akan kamu memberi mereka makan pasir yang panas, dan Allah akan senantiasa menolongmu atas mereka, selama kamu berbuat seperti itu". (HR Muslim).<br />
<br />
Adab keempat: Mendahulukan bersedekah kepada kerabat yang paling dekat jika mereka membutuhkan.<br />
<br />
Anas radliyallahu 'anhu berkata: "Abu Thalhah adalah kaum anshar yang paling banyak hartanya, dan hartanya yang paling ia sukai adalah Bairaha yang berada di depan masjid. Rasulullah suka memasukinya dan minum dari airnya yang segar, ketika turun ayat:<br />
<br />
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗﭘ<br />
<br />
"Kamu tidak akan mencapai kebaikan sampai menginfakkan apa yang kamu cintai". (Ali Imran: 92).<br />
<br />
Abu Thalhah bangkit dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman: "Kamu tidak akan mencapai kebaikan sampai menginfakkan apa yang kamu cintai". Dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha, dan sesungguhnya aku sedekahkan ia untuk Allah Ta'ala, aku berharap kebaikan dan pahalanya di sisi Allah, maka letakkanlah ia sesuai keinginanmu wahai Rasulullah".<br />
<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيهَا وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ.<br />
<br />
"Bagus sekali, itu adalah harta yang menguntungkan.. itu adalah harta yang menguntungkan.. aku telah mendengar apa yang kamu katakan tadi, dan aku memandang untuk dibagi-bagikan kepada karib kerabatmu". (HR Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada seseorang:<br />
<br />
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا<br />
<br />
"Mulailah pada dirimu, bersedekahlah untuknya, jika berlebih maka berikanlah untuk keluargamu, dan jika berlebih maka bersedekahlah untuk kerabatmu, dan jika berlebih maka untuk ini dan itu". (HR Muslim).<br />
<br />
Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menganggap sedekah kepada kerabat yang menyimpan kebencian dan permusuhan sebagai sedekah yang paling utama, beliau bersabda:<br />
<br />
إِنَّ أَفْضَلَ الصَّدَقَةِ الصَّدَقَةُ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ.<br />
<br />
"Sesungguhnya sedekah yang paling utama adalah sedekah kepada kerabat yang membenci dan memusuhi kita". (HR Ahmad dan lainnya).<br />
<br />
Al musnad no 27525 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Jami' no 1551.<br />
<br />
Bukhari no 7084 dan Muslim 3/1475 no 1847.<br />
<br />
Manath adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau dengan kata lain alasan pennsyari'atan, contohnya illat diharamkannya arak adalah memabukkan, illat diharamkannya zina adalah merusak keturunan dan seterusnya.<br />
<br />
Lihat ilmu ushul bida' hal 141.<br />
<br />
Lihat taisir Al Karimirrahman hal 101.<br />
<br />
I’lamul muwaqi’in hal 437 tahqiq Raid bin Shabri.<br />
<br />
Dalam Al Mu'jamul Kabiir 18/57 no 105, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Jami' Ash Shagier no 216.<br />
<br />
Hadits shahih, Lihat shahih Targhib wattarhib no 2242.<br />
<br />
Hadits hasan, Lihat silsilah shahihah no 231.<br />
<br />
Al Bidayah wan Nihayah 5/269, ibnu Katsir berkata: "Sanadnya shahih".<br />
<br />
Dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Shahih Targhib no 2440, dari hadits Buraidah.<br />
<br />
Dikeluarkan oleh Ahmad no 9019, At Tirmidzi (no 1337) dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah dla'ifah (3/382).<br />
<br />
Majmu’ fatawa 31/286.<br />
<br />
Ahmad dalam musnadnya 2/387 no 9011. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani di dalam shahih Jami’ shogier no 5093..<br />
<br />
Ahmad dalam musnadnya 3 / 4 no 11017, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih targhib wattarhib no 815.<br />
<br />
Bukhari no 6138, dan Muslim no 47.<br />
<br />
Bukhari no 5986 dan Muslim no 2557.<br />
<br />
Ahmad dalam musnadnya no 23577 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam irwaul ghalil no 892.<br />
<br />
<br />
Bagian 3.<br />
<br />
<br />
1. Anak-anak muda yang menjadikan Al Qur'an sebagai seruling-seruling.<br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengkhawatirkan adanya pemuda-pemuda yang menjadikan Al Qur'an sebagai seruling-seruling, namun dalam hadits lain beliau menganjurkan untuk membaguskan suara ketika membaca Al Qur'an, sabdanya:<br />
<br />
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ.<br />
<br />
"Bukan dari golongan kami orang yang tidak taghanni (membaguskan suara) ketika membaca Al Qur'an". (HR Al Bukhari).<br />
<br />
Dan para ulama berbeda pendapat mengenai makna "taghanni", sebagian mereka mengatakan bahwa maknanya adalah mencukupkan diri dengan Al Qur'an, sebagian lagi mengatakan bahwa maknanya adalah membacanya dengan nada sedih, sebagian lagi mengatakan bahwa maknanya adalah membaguskan suara ketika baca Al Qur'an dan pendapat-pendapat lainnya. Namun Al Hafidz berpendapat bahwa makna-makna itu masuk kedalam hadits tersebut, beliau berkata:<br />
<br />
والحاصل أنه يمكن الجمع بين أكثر التأويلات المذكورة وهو أنه يحسن به صوته جاهرا به مترنما على طريق التحزن مستغنيا به عن غيره من الأخبار طالبا به غنى النفس..<br />
<br />
"Walhasil, semua pendapat-pendapat tersebut dapat dikumpulkan, yaitu membaguskan dan mengeraskan suaranya dengan nada sedih, mencukupkan diri dengannya dan tidak membutuhkan yang lainnya, mencari kekayaan jiwa dengannya..<br />
<br />
Dan membaguskan suara dalam membaca Al Qur'an bukanlah dengan nada-nada yang diada-adakan sebagaimana yang kita lihat di zaman ini, imam ibnu Katsir rahimahullah berkata:<br />
<br />
المطلوب شرعا إنما هو التحسين بالصوت الباعث على تدبر القرآن وتفهمه والخشوع والخضوع والإنقياد للطاعة فأما الأصوات بالنغمات المحدثة المركبة على الأوزان والأوضاع الملهية والقانون الموسيقائى فالقرآن ينزه عن هذا ويجل ويعظم أن يسلك فى أدائه هذا المذهب<br />
<br />
"Yang diminta oleh syari'at adalah membaguskan suara yang membangkitkan keinginan untuk mentadabburi Al Qur'an, memahami, khusyu', tunduk dan taat. Adapun membaca Al Qur'an dengan nada-nada yang diada-adakan dengan wazan-wazan yang melalaikan dan aturan musik, maka Al Qur'an harus disucikan darinya, dan dibersihkan dari cara-cara seperti itu".<br />
<br />
Terlebih bila nada-nada tersebut menyerupai nyanyian, maka ini diharamkan karena mengandung nilai tasyabbuh (menyerupai) orang-orang fasiq, Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Seorang mukmin tidak boleh membaca Al Qur'an dengan nada menyanyi dan cara-cara para penyanyi. Kewajiban ia adalah membacanya sebagaimana salafushalih dari para shahabat dahulu membacanya, yaitu dengan secara tartil, nada sedih dan khusyu' sehingga berpengaruh kepada hati orang yang mendengarnya".<br />
<br />
Dan inilah yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang telah berlalu, yaitu adanya para pemuda yang menjadikan Al Qur'an sebagai seruling-seruling. Karena membaca Al Qur'an dengan nada-nada yang diindah-indahkan bagaikan nyanyian, amat mudah menjerumuskan pelakunya kepada riya' dan keinginan untuk populer.<br />
<br />
2. Banyaknya algojo (yang zalim).<br />
<br />
Para algojo yang zalim yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits lain:<br />
<br />
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا.<br />
<br />
"Dua kelompok dari ahli Neraka yang belum pernah aku melihatnya: suatu kaum yang membawa cambuk bagaikan ekor-ekor sapi, ia memukuli manusia dengannya. Dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang berjalan berlenggak-lenggok, kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya, dan bau surga itu tercium dari jarak sekian dan sekian". (HR Muslim).<br />
<br />
Syaikh Abdur Rauf Al Munawi berkata: "(Mereka adalah) suatu kaum yang membawa cambuk yang tidak diperbolehkan untuk memukulnya dalam menegakkan hadd, namun ia sengaja melakukannya untuk menyiksa manusia, mereka adalah para algojo yang dikenal dengan nama Al Jallaadiin (yang suka mencambuk). Apabila mereka diperintahkan untuk memukul, mereka melakukannya melebihi batasan yang disyari'atkan, bahkan seringkali menyebabkan orang yang dipukulnya binasa..".<br />
<br />
3. Pemikiran Khawarij.<br />
<br />
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ رَجُلاً قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْءًا لِلإِِسْلاَمِ انْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ ، قَالَ : قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي ، قَالَ : بَلِ الرَّامِي.<br />
<br />
"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kamu adalah seseorang yang membaca Al Qur'an, sehingga apabila telah diperlihatkan kepadanya keindahannya dan tadinya ia adalah pembela islam, tiba-tiba ia lepas darinya dan melemparkan (Al Qur'an) ke belakangnya, dan mendatangi tetangganya dengan membawa pedang dan menuduhnya dengan kesyirikan".<br />
<br />
Aku berkata: "Wahai Nabi Allah, siapakah yang lebih layak kepada kesyirikan, yang dituduh atau yang menuduh?" Beliau menjawab: "Yang menuduh (lebih layak)". (HR Al Bazzar).<br />
<br />
Hadits ini memberitakan kepada kita tentang adanya orang-orang yang banyak hafal Al Qur'an namun menuduh saudaranya dengan kekafiran, bahkan mengkafirkan saudaranya karena dosa-dosa yang ia anggap mengeluarkan pelakunya dari islam, dan menghalalkan darahnya.<br />
<br />
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu 'alaihi wasalam mengabarkan bahwa mereka membaca Al Qur'an namun tidak sampai ke kerongkongannya, beliau bersabda:<br />
<br />
يَخْرُجُ مِنْهُ قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ.<br />
<br />
"Akan keluar darinya (Iraq) suatu kaum yang membaca Al Qur'an namun tidak sampai ke tenggorokannya, mereka lepas dari islam seperti melesatnya panah dari buruannya". (HR Bukhari).<br />
<br />
Dan yang dimaksud dengan "tidak sampai ke tenggorokannya" adalah memahaminya dengan pemahaman yang tidak benar, ia mengira bahwa itu adalah dalil yang menguatkan alasannya, namun sebenarnya tidak demikian saking dangkalnya pemahaman mereka, sebagaimana yang ditunjukkan dalam riwayat lain:<br />
<br />
يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِي يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَيْسَتْ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ شَيْئًا وَلَا صَلَاتُكُمْ إِلَى صَلَاتِهِمْ شَيْئًا وَلَا صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ شَيْئًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ..<br />
<br />
"Akan keluar suatu kaum dari umatku, mereka membaca Al Qur'an, bacaan kamu dibandingkan dengan bacaan mereka tidak ada apa-apanya, demikian pula shalat dan puasa kamu dibandingkan dengan shalat dan puasa mereka tidak ada apa-apanya. Mereka mengira bahwa Al Qur'an itu hujjah yang membela mereka, padahal ia adalah hujah yang menghancurkan alasan mereka. Shalat mereka tidak sampai ke tenggorokan, mereka lepas dari islam sebagaimana melesatnya anak panah dari buruannya". (HR Abu Dawud).<br />
<br />
Bahkan merekapun membawakan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, namun difahami dengan pemahaman yang tidak benar, sabda Nabi:<br />
<br />
يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ..<br />
<br />
"Akan ada di akhir zaman suatu kaum yang usianya muda, dan pemahamannya dangkal, mereka mengucapkan perkataan manusia yang paling baik (Rasulullah), mereka lepas dari islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya, iman mereka tidak sampai ke tenggorokan..". (HR Bukhari).<br />
<br />
Pemikiran takfiri (mudah mengkafirkan) adalah pemikiran yang ditakutkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk menimpa umatnya, karena ia berakibat yang tidak bagus dan merugikan islam dan kaum muslimin bahkan merusak citra islam dan mengotori keindahannya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengecam keras khawarij dalam hadits-haditsnya, Abu Ghalib berkata:<br />
<br />
رَأَى أَبُو أُمَامَةَ رُءُوسًا مَنْصُوبَةً عَلَى دَرَجِ مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ كِلَابُ النَّارِ شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ ثُمَّ قَرَأَ { يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ } إِلَى آخِرِ الْآيَةِ<br />
<br />
قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أَوْ أَرْبَعًا حَتَّى عَدَّ سَبْعًا مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ.<br />
<br />
"Abu Umamah melihat kepala-kepala (kaum khawarij) yang dipancangkan di jalan Masjid Damaskus, Abu Umamah berkata: "Anjing-anjing Neraka, seburuk-buruknya orang yang terbunuh dikolong langit, dan sebaik-baiknya yang dibunuh adalah orang yang dibunuh oleh mereka (khawarij), kemudian beliau membaca Ayat: "Pada hari wajah-wajah menjadi putih dan wajah-wajah lain menjadi hitam..". Sampai akhir ayat.<br />
<br />
Aku berkata kepada Abu Umamah: "Engkau mendengarnya dari Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam ?" Beliau menjawab: "Aku mendengarnya sekali, dua kali, tiga kali, empat kali sampai tujuh kali. Bila aku tidak mendengarnya, aku tidak akan menyampaikannya kepada kamu". (HR At Tirmidzi).<br />
<br />
Sifat-sifat khawarij.<br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengabarkan sifat-sifat mereka, sebagiannya telah kita sebutkan di atas, diantara sifat mereka adalah:<br />
<br />
1. Dangkal pemahamannya.<br />
<br />
Telah kita sebutkan di atas, bahwa kaum khawarij suka membawa dalil dari Al Qur'an dan hadits, namun difahami dengan pemahaman sendiri, tidak sesuai dengan apa yang difahami oleh para ulama salafusshalih, walaupun mereka membawakan perkataan ulama, mereka bawakan yang sesuai dengan keinginan mereka saja, atau mengeditnya sedemikian rupa agar terlihat cocok dengan selera mereka sehingga mengelabui orang-orang awam. Tujuan mereka adalah agar pengkafiran mereka kepada kaum muslimin menjadi suatu perkara yang dianggap pasti dan meyakinkan, padahal ia hanyalah berdasarkan dugaan dan sangkaan belaka.<br />
<br />
Diantara contoh kedangkalan pemahaman mereka adalah sebuah kisah dialog ibnu Abbas dengan kaum khawarij, dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Mustadraknya (2/164 no 2656) dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, ibnu Abbas berkata:<br />
<br />
Ketika kaum Haruriyah (Khawarij) keluar dan berkumpul di suatu tempat, jumlah mereka sekitar enam ribu. Aku mendatangi Ali seraya berkata: "Wahai Amirul Mukminin, akhirkanlah shalat dzuhur, barangkali aku dapat berbicara dengan mereka". Ali berkata: "Aku mengkhawatirkan keselamatanmu". Aku berkata: "Tidak perlu khawatir". Aku pun pergi menemui mereka dan aku memakai pakaian Yaman yang paling bagus kemudian aku mengucapkan salam kepada mereka.<br />
<br />
Mereka berkata: "Selamat datang wahai ibnu Abbas, pakaian apa yang engkau pakai?!! Aku menjawab: "Apa yang kalian cerca dariku, padahal aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah memakai pakaian yang paling bagus, dan telah turun ayat:<br />
<br />
ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭﭮ<br />
<br />
"Katakan (Muhammad), siapakah yang berani mengharamkan perhiasan dari Allah dan rizki yang baik yang Allah keluarkan untuk hamba-hambaNya ?" (Al A'raaf: 32).<br />
<br />
Mereka berkata: "Lalu ada apa engkau datang kemari ?"<br />
<br />
Aku menjawab: "Aku mendatangi kamu dari sisi para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari kalangan Muhajirin dan Anshar untuk menyampaikan apa yang mereka katakan dan apa yang mereka kabarkan, kepada mereka Al Qur'an diturunkan, dan merekalah yang paling memahaminya, dan tidak ada diantara kalian yang menjadi shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam".<br />
<br />
Sebagian mereka berkata: "Jangan berdialog dengan kaum Quraisy, karena Allah Ta'ala berfirman:<br />
<br />
ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ<br />
<br />
"Tetapi mereka adalah kaum yang suka bertengkar". (Al Ahqaf: 58).<br />
<br />
Ibnu Abbas berkata: "Aku belum pernah melihat suatu kaum yang sangat bersungguh-sungguh beribadah dari mereka, wajah-wajahnya pucat karena begadang malam (untuk shalat), dan tangan serta lutut mereka menjadi hitam (kapalan)".<br />
<br />
Sebagian mereka berkata: "Demi Allah, kami akan berbicara dengannya dan mendengarkan apa yang ia katakan".<br />
<br />
Ibnu Abbas berkata: "Kabarkan kepadaku, apa alasan kalian memerangi anak paman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (Ali bin Abi Thalib), serta kaum Muhajirin dan Anshar?"<br />
<br />
Mereka berkata: "Tiga perkara".<br />
<br />
Ibnu Abbas berkata: "Apa itu?"<br />
<br />
Mereka berkata: "Ia telah berhukum kepada manusia dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman:<br />
<br />
ﮮ ﮯ ﮰ ﮱﯓ<br />
<br />
"Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah". (Al An'am: 57).<br />
<br />
Ibnu Abbas berkata: "Ini yang pertama".<br />
<br />
Mereka berkata: "Ia telah memerangi namun tidak menawan tidak juga mengambil ghanimah (harta rampasan perang), jika yang ia perangi itu orang-orang kafir, maka mereka halal ditawan dan dirampas hartanya. Dan jika yang ia perangi adalah kaum mukminin, maka tidak halal memerangi mereka".<br />
<br />
Ibnu Abbas berkata: "Ini yang kedua, lalu apa yang ketiga?"<br />
<br />
Mereka berkata: "Ia telah menghapus nama amirul mukiminin dari dirinya, jika dia bukan amirul mukminin berarti ia adalah amirul kafirin".<br />
<br />
Ibnu Abbas berkata: "Apa ada alasan lain?"<br />
<br />
Mereka berkata: "Cukup itu saja".<br />
<br />
Ibnu Abbas berkata: "Bagaimana pendapat kalian, jika aku membacakan kitabullah dan sunnah Nabi-Nya yang dapat meluruskan pemahaman kalian, apakah kalian ridla?"<br />
<br />
Mereka berkata: "Ya".<br />
<br />
Ibnu Abbas berkata: "Adapun perkataan kalian bahwa Ali berhukum kepada manusia dalam urusan Allah, bukankah Allah menyuruh mengembalikan kepada hukum manusia dalam seperdelapan seperempat dirham, tentang masalah kelinci dan hewan buruan lainnya?" Allah berfirman:<br />
<br />
ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ<br />
<br />
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barang siapa yang membunuhnya diantara kamu secara sengaja, maka dendanya adalah mengantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, menurut putusan hukum dua orang yang adil diantara kamu..". (Al Maidah: 95).<br />
<br />
Maka saya bertanya kepada kalian dengan nama Allah, apakah hukum manusia untuk kelinci dan binatang buruan lainnya lebih utama, ataukah hukum manusia untuk menjaga darah dan perdamaian diantara mereka?"<br />
<br />
Dalam ayat lain, Allah menyuruh mengembalikan hukum kepada manusia mengenai pertikaian suami istri, Allah berfirman:<br />
<br />
ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎﮏ<br />
<br />
"Dan bila kamu mengkhawatirkan perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (orang yang akan menghukumi) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga wanita. Jika kedua orang hakam ini bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu". (An Nisaa: 35).<br />
<br />
Allah menjadikan manusia sebagai hukum yang dipercaya. Apakah aku telah selesai menjawab alasan pertama ini?<br />
<br />
Mereka berkata: "Ya".<br />
<br />
Ibnu Abbas berkata: "Adapun perkataan kalian bahwa Ali memerangi namun tidak menawan dan tidak mengambil ghanimah, apakah kamu mau menawan ibumu Aisyah kemudian halal disetubuhi sebagaimana tawanan lainnya?? Jika kamu melakukan itu, maka kamu telah kafir. Dan jika kamu berkata bahwa Aisyah bukan ibu kita (kaum muslimin), maka kamupun telah kafir, jadi kamu berada diantara dua kesesatan, mana saja yang kamu pilih, maka kamu tetap sesat".<br />
<br />
Maka sebagian mereka melihat kepada sebagian lainnya. Lalu aku berkata: " Apakah aku telah selesai menjawab alasan ini?<br />
<br />
Mereka menjawab: "Ya".<br />
<br />
Ibnu Abbas berkata: "Adapun perkataan kalian bahwa Ali menghapus nama amirul muminin darinya, maka aku akan bawakan apa yang kalian ridlai. Bukankah kalian telah mendengar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada hari perdamaian Hudaibiyah, menulis surat kepada Suhail bin Amru dan Abu Sufyan bin Harb, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Tulislah hai Ali: "Ini adalah isi perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad Rasulullah".<br />
<br />
Namun kaum Musyrikin berkata: "Tidak! Demi Allah kami tidak meyakinimu sebagai rasulullah, jika kami meyakinimu sebagai rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ya Allah, Engkau yang mengetahui bahwa aku adalah rasul-Mu, tulislah hai Ali: " Ini adalah isi perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad bin Abdillah".<br />
<br />
Demi Allah, bukankah Rasulullah lebih baik dari Ali ketika menghapus nama rasul darinya?" ibnu Abbas berkata: "Maka bertaubatlah sekitar dua ribu orang diantara mereka, dan sisanya terbunuh di atas kesesatan".<br />
<br />
2. Keras dan kasar.<br />
<br />
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyifati kaum khawarij bahwa mereka adalah kaum yang kasar lagi keras perangainya, beliau bersabda:<br />
<br />
سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ أَشِدَّاءُ أَحِدَّاءُ ذَلِقَةٌ أَلْسِنَتُهُمْ بِالْقُرْآنِ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ أَلَا فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ فَأَنِيمُوهُمْ ثُمَّ إِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ فَأَنِيمُوهُمْ فَالْمَأْجُورُ قَاتِلُهُمْ<br />
<br />
"Akan keluar dari umatku beberapa kaum yang keras lagi kasar, lisan-lisan mereka fasih membaca Al Qur'an, namun tidak sampai ke tenggorokan mereka". (HR Ahmad dan lainnya).<br />
<br />
3. Tidak menghormati ulama kibar.<br />
<br />
Pendahulu mereka tidak menghormati Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahkan menganggap Rasulullah tidak berbuat adil, Abu Sa'id Al Khudri berkata:<br />
<br />
بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ ذَاتَ يَوْمٍ قِسْمًا فَقَالَ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ قَالَ وَيْلَكَ مَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ فَقَالَ عُمَرُ ائْذَنْ لِي فَلْأَضْرِبْ عُنُقَهُ قَالَ لَا إِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمُرُوقِ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ<br />
<br />
"Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membagi-bagikan harta (dari Yaman), Dzul Khuwaishirah seorang laki-laki dari bani Tamim berkata: "Wahai Rasulullah berbuat adillah! Beliau bersabda: "Celaka kamu, siapa yang dapat berbuat adil jika aku tidak berbuat adil". Umar berkata: "Idzinkan saya menebas lehernya". Beliau bersabda: "Jangan, sesungguhnya dia akan mempunyai teman-teman yang shalat dan puasa kalian sepele dibandingan dengan shalat dan puasa mereka, mereka lepas dari islam seperti lepasnya anak panak dari buruannya". (HR Bukhari).<br />
<br />
Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, di zaman Ali bin Abi Thalib kaum khawarij muncul, dan mereka tidak menghormati para ulama shahabat seperti ibnu Abbas dan shahabat-shahabat lainnya, sebagaimana dalam kisah dialog ibnu Abbas dengan khawarij yang telah disebutkan di atas. Sifat ini kita lihat tidak jauh berbeda dengan kaum khawarij di zaman ini yang melecehkan para ulama besar seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Al Bani, Syaikh 'Utsaimin dan ulama lainnya, dan meledeknya sebagai ulama penjilat atau ulama yang tidah faham realita dan ejekan-ejekan lainnya. Allahul musta'an.<br />
<br />
4. Mudah mengkafirkan pelaku dosa besar terutama negara islam yang tidak berhukum dengan hukum Allah.<br />
<br />
Di zaman Ali bin Abi Thalib dahulu, mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan kaum muslimin yang tidak setuju dengan pendapat mereka, dengan alasan bahwa Ali berhukum kepada manusia, sedangkan hukum itu milik Allah sebagaimana dalam kisah ibnu Abbas yang lalu, mereka berdalil dengan ayat:<br />
<br />
ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ<br />
<br />
"Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, mereka adalah orang-orang yang kafir". (Al Maidah: 44).<br />
<br />
Ibnu Hajar, Fathul Baari 9/72.<br />
<br />
Ibnu Katsir, Fadla-il Al Qur'an 1/114.<br />
<br />
Ibnu Baz, Majmu' fatawa 9/290.<br />
<br />
Faidlul Qadiir 4/275.<br />
<br />
Dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Silsilah Shahihah no 3201.<br />
<br />
Lihat bagaimana mereka membawakan ayat tersebut untuk ibnu Abbas seorang ulama shahabat, betapa dangkalnya pemahaman mereka!!<br />
<br />
Yaitu ketika terjadi perdamaian antara pasukan Ali dan pasukan Mu'awiyah, dimana Ali mendelegasikan Abu Musa, sedangkan delegasi dari pihak Mu'awiyah adalah Amru bin Al 'Ash. Perbuatan ini difahami oleh kaum khawarij sama dengan menyerahkan hukum kepada manusia, padahal hukum itu milik Allah, betapa piciknya mereka. Allahul musta'an. Demikianlah bila hawa nafsu dan kebodohan berbicara, merusak dunia dan agama.<br />
<br />
Maksudnya berperang melawan pasukan Mua'wiyah dalam perang shiffin dan melawan pasukan Aisyah dalam perang Jamal, dan peperangan mereka karena ijtihad dan juga perbuatan provokator yang mengadu domba untuk menghancurkan islam.<br />
<br />
HR Ahmad dalam musnadnya dari jalan Utsman Asy Syahham haddatsani Muslim bin Abu Bakrah dari Ayahnya yaitu Abu Bakrah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Qultu: Sanad ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.<br />
<br />
(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-67907236121248252892016-10-06T21:11:00.000-07:002016-10-06T21:11:05.725-07:00HAKIKAT NABI KHIDIR, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anKisah Nabi Khidir ‘alaihissalam sudah sangat terkenal dan masyhur dikalangan kaum muslimin, karena telah ada dalam al qur’an surat al kahfi ayat 60 – 82.<br />
<br />
Beliau adalah teman Nabi Musa bin Imran ‘alaihissalam dan tidak benar orang yang mengklaim bahwa beliau bukan teman Nabi Musa bin Imran, sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhary dan Muslim dari Sa’id bin Jubair beliau berkata : saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas bahwa Nufa al bakaaly mengklaim bahwa Musa yang berjumpa dengan Nabi Khidir bukanlah Musa bani Israil akan tetapi Musa yang lainnya. Lalu beliau menjawab :” Musuh Allah itu telah berdusta (sangat salah) “.<br />
<br />
Nama beliau adalah Balyaa bin Milkan bin Faaligh bin ‘Aabir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh ‘alaihissalam menurut pendapat yang masyhur dari para ahli sejarah (lihat Syarah sahih Muslim 15/134), kunyah beliau adalah Abul’Abbas akan tetapi lebih terkenal dengan gelar Al Khodhir atau Al Khidhr (orang indonesia mengucapkannya dengan Khidir) yang bermakna hijau, disebut demikian karena dia duduk di tanah Yang tandus kemudian tiba-tiba tanah tersebut berguncang dan menjadi hijau sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh imam Bukhary dalam sahihnya (no. 3402).<br />
<br />
Apakah beliau seorang Nabi atau wali ?<br />
<br />
Kaum muslimin berbeda pendapat dalam hal ini, sebagian mereka berpendapat bahwa beliau adalah malaikat tapi pendapat ini lemah dan aneh sebagaimana yang dikatakan oleh imam Nawawi dan Ibnu Katsir. Sebagian lagi berpendapat bahwa beliau adalah wali dan ini adalah pendapat kaum sufi, akan tetapi pendapat inipun lemah.<br />
<br />
Kaum sufi berusaha membela pendapat yang kedua tersebut untuk mengukuhkan pendapatnya yang batil bahwa wali lebih tinggi kedudukannya dari nabi. Subhanallah !!<br />
<br />
Sebagian lagi berpendapat bahwa beliau adalah nabi dan ini adalah pendapat ahlussunnah wal jama’ah mereka berhujjah dengan kisah nabi Musa dengan Nabi Khidir ketika membocori perahu, membunuh anak kecil dan menegakkan sebuah dinding rumah yang hampir roboh, kemudian setelah itu Allah Ta’ala mengkisahkan Perkataan Nabi Khidir :<br />
<br />
رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِيْ<br />
<br />
“ sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri “. (QS Al Kahfi : 82).<br />
<br />
Ibnu Katsir berkata dalam al bidayah wannihayah (1/328) :” makna ayat ini ; tidaklah saya lakukan itu menurut kemauan saya, akan tetapi saya diperintahkan untuk itu dan mendapatkan wahyu “.<br />
<br />
Hal ini menunjukkan kenabiannya karena Allah menyatakan bahwa tidak ada yang diberi tahu ilmu gaib kecuali rosul yang diridloi, firman-Nya :<br />
<br />
عَالِمَ الغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرْ عَلىَ غَيْبِهِ أَحَدًا إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ<br />
<br />
“ (Dia adalah Rabb) yang Mengetahui yang gaib, maka dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada RosulNya yang diridloi ..”. (QS Al jinn : 26-27).<br />
<br />
Pendapat inilah yang benar yang wajib diikuti dan dikuatkan oleh para ulama besar seperti Ibnu Hajar Al ‘asqalaany rahimahullah, Ibnu Katsir dan ulama lainnya.<br />
<br />
Masih hidupkah Nabi Khidir ?<br />
<br />
Sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Khidir masih hidup sebagaimana yang dikatakan oleh imam Nawawi, Ibnu Shalah, As Suyuthy dan Ats Tsa’laby. Akan tetapi dalil mereka sangat rapuh tidak bisa dijadikan hujah. Berikut ini kami paparkan kepada para pembaca dalil mereka beserta bantahannya.<br />
<br />
1.Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam al kamil bahwa ketika Rosulullah di dalam masjid…(lalu disebutkan dalam riwayat ini) seorang laki-laki berkata kepada Anas bin Malik : pergilah dan katakanlah kepada beliau sesungguhnya Allah telah mengutamakan anda atas seluruh para nabi….lalu para sahabat pergi dan melihatnya ternyata dia adalah Khidir.<br />
<br />
BANTAHAN<br />
<br />
Sanad hadits ini memiliki dua cacat :<br />
<br />
Pertama : Abdullah bin Nafi’ lemah tidak dapat diterima, Ali bin Madini berkata : dia suka meriwayatkan riwayat-riwayat yang mungkar “. Bukhary berkata : haditsnya mungkar “.<br />
<br />
Kedua : Katsir bin ‘Amru bin Auf seorang perawi<br />
<br />
Yang lemah, bahkan tertuduh sebagai pendusta “.<br />
<br />
2. Ibnu Asakir meriwayatkan dari jalan waddlah bin ‘Abbad Al kufi dan juga dari jalan Abu Dawud dari Anas bin Malik berkata :” suatu malam aku keluar bersama nabi salallahu ‘alaihi wasallam… (lalu disebutkan didalamnya) seorang lelaki berkata :” selamat datang wahai utusan Rosulullah….katakanlah kepada beliau :” wahai Rosulullah, Khidir mengucapkan salam…”.<br />
<br />
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dengan matan yang serupa diatas.<br />
<br />
BANTAHAN.<br />
<br />
a). adapun jalan wadlah dikatakan oleh imam Baihaqy :” sanad ini sangat lemah”.<br />
<br />
b). adapun jalan Abu dawud (namanya Nufai bin al harits al a’ma) dinyatakan pendusta dan pemalsu hadits oleh Ibnu Katsir.<br />
<br />
c). adapun riwayat Ibnu Syahin, dalam sanadnya ada rawi yang bernama Abu Salamah Muhammad bin Abdullah, Ibnu Thahir menyatakan bahwa ia seorang pendusta.<br />
<br />
3.Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas konon Nabi bersabda :” Khidir dan Ilyas bertemu setiap tahun di musim haji…(HR Ibnu ‘Asakir, Daruqathny dan Al ‘Uqaily).<br />
<br />
BANTAHAN<br />
<br />
Semua riwayat tersebut berasal dari jalan Muhammad bin Ahmad bin Zaid sedangkan ia seorang yang lemah.<br />
<br />
4.Ibnul Jauzy meriwayatkan dari jalan Mahdi bin Hilal dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abbas serupa dengan hadits diatas.<br />
<br />
BANTAHAN<br />
<br />
Imam Sakhawy berkata :” Riwayat Mahdi bin Hilal dari Ibnu Juraij lebih sangat lemah dari pada riwayat Al Hasan bin Rizin dari Ibnu Juraij “. (al maqashidul hasanah 21-22).<br />
<br />
5.Ibnu Abi Hatim dan Imam Syafi’I meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata :” ketika Rosulullah Sallallahu’alaihi wasallam wafat dan ta’ziyah berdatangan, ada seorang yang datang, para sahabat mendengar suaranya tapi tidak melihat orangnya, dia berkata :” assalamu ‘alaikum ahlal bait warahmatullahi wabarakatuh ….”. Ali berkata :” Tahukah kamu siapa dia ? Dia adalah Khidir.<br />
<br />
BANTAHAN<br />
<br />
Ibnu Katsir berkata dalam Al Bidayah wannihayah :” Guru Imam Syafi’I yang bernama Al Qasim Al ‘Umari seorang rawi yang matruk. Ahmad bin Hambal dan Ibnu Ma’in berkata :” Dia tukang berdusta “, Ahmad menambahkan :” dia suka memalsukan hadits “.<br />
<br />
Ibnu Katsir melanjutkan :” Juga diriwayatkan dari jalan lain yang lemah, dari ja’far bin Muhamad, dari bapaknya dari kakeknya, tetapi tidak sahih (mursal) “. (1/332).<br />
<br />
Ibnu Hajar memasukkan hadits tersebut ke dalam hadits-hadits yang lemah. Lihat Fathul Bary 6/435. dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan bahwa Khidir masih hidup, tapi semuanya lemah dan palsu.<br />
<br />
6.Banyaknya cerita dan hikayat tentang orang-orang shalih bertemu dengan nabi Khidir.<br />
<br />
BANTAHAN<br />
<br />
Pertama : Nabi Khidir tidaklah memiliki tanda khusus, sehingga orang yang melihatnya mengetahui bahwa dia adalah khidir.<br />
<br />
Kedua : pengakuan seseorang bahwa dia khidir tidaklah dapat memastikan bahwa ia adalah khidir sebenarnya, karena mungkin saja ia dusta Untuk tujuan tertentu, atau ia adalah setan yang menjerumuskan manusia ke lembah kesesatan.<br />
<br />
Dalil Nabi Khidir telah wafat.<br />
<br />
Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa dalil Khidir sudah tidak ada di dunia lagi adalah empat perkara : yaitu Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ dan akal.<br />
<br />
1. Dalil dari Al Qur’an yaitu firman Allah :<br />
<br />
وَمَا جَعَلْناَ لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمً الخَالِدُوْنَ<br />
<br />
“ Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (muhamad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ? “. (QS Al Anbiyya : 34).<br />
<br />
Ayat tersebut menyebutkan secara gamblang bahwa tidak ada seorang pun yang hidup kekal sebelum Nabi Muhamad Sallallahu ‘alaihi wasallam, ini menunjukkan bahwa Khidir telah tiada.<br />
<br />
2. Dalil dari As Sunnah.<br />
<br />
a).sabda Rosulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam :<br />
<br />
أرأيتكم ليلتكم هذه فإن على رأس مئة سنة منها لا يبقى على ظهر<br />
<br />
االأرض ممن هو اليوم عليها أحد<br />
<br />
“ Bagaimana pendapat kamu tentang malam kamu ini, sesungguhnya pada penghujung seratus tahun ini, tidak akan ada seorang pun tinggal di atas bumi dari orang-orang yang hari ini masih hidup diatasnya “. (HR Bukhary & Muslim).<br />
<br />
Maksudnya setelah seratus tahun dari malam itu, semua orang yang hidup waktu itu akan mati semuanya tanpa terkecuali. Sedangkan sekarang sudah lebih dari 1000 tahun.<br />
<br />
b. sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam :<br />
<br />
و الذي نفسي بيده لو أن موسى كان حيا ما وسعه إلا اتباعي<br />
<br />
“ Demi (Allah) yang jiwaku di tanganNya, seandainya Musa masih hidup, dia harus mengikutiku “. (HR Ahmad, hasan).<br />
<br />
Demikian pula jika Nabi khidir masih hidup, pastilah beliau mengikuti Nabi Muhammad, melakukan shalat jum’at, dan berjama’ah di belakang beliau dan berjihad bersama beliau, karena risalah nabi Muhammad adalah untuk seluruh manusia dan jin tanpa terkecuali. Dan tidak ada satupun nukilan bahwa Khidir ada bersama para sahabat, shalat berjama’ah, berjihad dan lainnya.<br />
<br />
3. ijma’ ulama peneliti.<br />
<br />
Para ulama peneliti dari kalangan ahli hadits dan lainnya menguatkan pendapat bahwa Khidir sudah wafat, sebagaiamana para Nabi dan orang-orang shalih dahulu wafat. Diantara mereka adalah : Imam Ahmad bin Hambal, imam Bukhary, Ali bin Musa Ar Ridlo, Ibrahim bin Ishaq Al Harbi, Abul Husain bin Al Munadi, Ibnul Jauzi, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan banyak lagi yang lainnya.<br />
<br />
4. Adapun akal maka dari berbagai segi :<br />
<br />
· Orang yang menetapkan kehidupan Khidir menyatakan bahwa Khidir adalah anak nabi Adam. Pernyataan ini tidak dapat diterima karena<br />
<br />
Riwayat ini tidak sahih, karena berasal dari jalan Ibnu Ishaq dan ia seorang mudallis, juga ia meriwayat dari orang-orang yang tak dikenal.<br />
<br />
Seandainya beliau anak nabi Adam tentulah bentuk tubuhnya sangat tinggi dan sangat besar, karena Allah menciptakan nabi Adam setingi 60 hasta (+_ 30 m), dan manusia terus berkurang tinggi & besarnya sampai seperti sekarang (HR Bukhary dan Muslim).<br />
<br />
· Ibnul Jauzi berkata :” seandainya beliau hidup sebelum nabi Nuh, pastilah beliau naik kapal bersama nabi Nuh, padahal tidak ada seorangpun menukilkan hal ini.<br />
<br />
· para ulama bersepakat bahwa setelah nabi Nuh turun dari kapal, matilah orang-orang yang bersama beliau dan keturunan mereka, dan tidak tersisa kecuali keturunan beliau.<br />
<br />
· pendapat bahwa Khidir masih hidup adalah pendapat atas nama Allah tanpa ilmu, karena seandainya benar tentulah dikabarkan oleh Allah, dan rosul-Nya karena hal itu merupakan perkara luar biasa dan menakjubkan sehingga sepantasnya disebutkan oleh Allah dalam kitabNya.<br />
<br />
· bahwa pegagan orang yang berkeyakinan masih hidupnya Khidir, hanyalah hikayat dan cerita dari seseorang yang katanya melihat Khidir, padahal Khidir tidak memiliki tanda husus yang bisa dikenal.<br />
<br />
· Jika Khidir masih hidup, tentulah beliau berjihad melawan orang-orang kafir, ribath (berjaga/ronda) di jalan Allah, menghadiri shalat jum’at dan shalat jama’ah bersama Rosulullah dan kaum musimin. Dan hal itu jauh lebih utama dari pada berkelana di padang sahara, dan tempat-tempat sepi.<br />
<br />
Keyakinan sesat.<br />
<br />
Orang-orang sufi berkeyakinan bahwa wali itu lebih tinggi derajatnya dari para nabi sehingga seorang wali boleh keluar dari syari’at nabi. Mereka berdalil dengan kisah nabi Khidir bersama nabi Musa dari sudut bahwa Khidir adalah wali bukan nabi, sedangkan beliau mempunyai pengetahuan yang tidak diketahui oleh nabi Musa.<br />
<br />
Orang-orang sufi menukil dari Abu Yazid Al Bushtamy yang berkata :” demi Allah, panjiku lebih agung dari panji Muhammad sallalahu ‘alaihi wasallam. Panjiku berasal dari cahaya dimana dibawahnya terdapat jin dan manusia yang seluruhnya adalah para nabi “. (lathaiful minan 1/124 karya Asy Sya’rani, lihat sejarah hitam tasawuf hal. 200 karya Dr. Ihsan Ilahi Dzahir).<br />
<br />
Seorang sufi menegaskan :<br />
<br />
Kedudukan nabi di barzakh<br />
<br />
Di atas rosul dan di bawah wali<br />
<br />
(Ath Thabaqat Al Kubra 1/68 karya Sya’rany, lihat sejarah hitam tasawuf hal. 200).<br />
<br />
Itulah perkataan orang-orang sufi yang amat sesat dan menyelisihi ijma’ ulama yang menyatakan bahwa wali dibawah nabi dan rosul serta tidak boleh seorangpun keluar dari syari’at Rosulullah, barang siapa yang keluar atau meyakini bolehnya seorang wali keluar dari syari’at Rosul maka dia kafir sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama islam.<br />
<br />
Syeikhul islam Ibnu Taimiyah telah membantah keyakinan tersebut, katanya :” sebagian mereka (orang-orang sufi) berhujah dengan kisah pertemuan Musa dengan Khidir. Mereka menyangka bahwa Khidir telah keluar dari syari’at nabi Musa. Dalam hal ini mereka telah tersesat dengan dua alasan :<br />
<br />
Pertama : bahwa Khidir sebenarnya tidak keluar dari syari’at, bahkan apa yang dilakukannya diperbolehkan menurut syari’at nabi Musa. Itulah sebabnya ketika Khidir menjelaskan alasan-alasan tindakannya, nabi Musa membenarkannya. Walaupun pertama kali nabi Musa mengingkari tapi hal itu karena beliau belum mengerti alasan tindakan nabi Khidir, tapi setelah Khidir menjelaskan alasan tindakannya, beliaupun membenarkannya.<br />
<br />
Kedua : bahwa Khidir bukan termasuk Umat nabi Musa, ia tidak berkewajiban mengikuti Musa. Bahkan Khidir mengatakan :” saya memiliki suatu ilmu yang diajarkan oleh Allah kepadaku yang tidak kamu ketahui. Dan kamupun memiliki suatu ilmu yag diajarkan Allah kepadamu yang aku tidak ketahui “.<br />
<br />
Hal itu karena nabi Musa tidak diutus untuk seluruh manusia, sebab nabi pada waktu itu hanya diutus untuk kaumnya sendiri saja. Sedangkan nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam diutus untuk seluruh jin dan manusia. Maka tidak dibenarkan ada seorangpun yang boleh keluar dari ketaatan kepada nabi Muhamad, baik secara lahir maupun secara batin “.(majmu’ fatawa 13/266).<br />
<br />
Ibnu ‘Abdil ‘Izz rahimahullah berkata :” adapun orang yang bergantung kepada kisah Musa dan Khidir dalam rangka membolehkan penggantian wahyu dengan ilmu laduni, maka sebenarnya ia adalah seorang mulhid (kafir) zindiq (menyembunyikan kekafiran).<br />
<br />
Sesungguhnya Musa tidak diutus kepada Khidir, demikian pula sebaliknya. Karena itu Khidir bertanya kepada Musa :” kamukah Musa Bani Israil ?”. sedangkan Nabi Muhammad diutus untuk seluruh jin dan manusia.<br />
<br />
Seandainya Musa dan Isa hidup, tentu keduanya menjadi pengikut Muhammad. Dan ketika kelak beliau turun ke bumi, ia akan berhukum berdasarkan syari’at Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam.<br />
<br />
Oleh karena itu barang siapa yang beranggapan bahwa hubungan dirinya dengan Muhammad ibarat Khidir dengan Musa (maksudnya tidak perlu terikat dengan syari’at Muhammad -pen). atau membolehkan seseorang mempunyai keyakinan demikian, maka hendaklah ia memperbaharui keislamannya dan mengulang syahadatnya karena ia telah keluar dari islam secara total.<br />
<br />
Jelas tidak mungkin ia disebut wali Allah, akan tetapi ia adalah wali setan “. (Syarah ‘Aqidah Thahawiyyah hal 511, takhrij Syeikh Al Bany).<br />
<br />
(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-53412900921082127972016-10-06T21:10:00.000-07:002016-10-06T21:10:26.191-07:00Kaidah-kaidah penting seputar tafsir shahabat, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anAda beberapa kaidah penting yang berhubungan dengan tafsir para shahabat yang mesti kita ketahui, diantaranya adalah :<br />
<br />
Kaidah pertama : Perselisihan shahabat dalam tafsir kebanyakan adalah perselisihan yang bersifat pariatif.<br />
<br />
Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Perselisihan diantara salaf dalam tafsir adalah sedikit, dan perselisihan mereka di dalam hukum lebih banyak dari perselisihan mereka di dalam tafsir, dan mayoritas perselisihan yang shahih dari mereka adalah dari jenis perselisihan tanawwu’ (pariatif) bukan perselisihan tadlod (kontradiktif). Dan ia ada dua :<br />
<br />
Pertama : Setiap mereka mengungkapkan dengan ungkapan yang berbeda dengan ungkapan temannya yang menunjukkan kepada makna yang berbeda dengan makna temannya namun maksudnya adalah satu.<br />
<br />
Contohnya adalah perbedaan ungkapan mereka dalam menafsirkan “Shirotul mustaqim” sebagian mereka menafsirkan bahwa ia adalah Al Qur’an dan sebagian mereka menafsirkan bahwa ia adalah islam. Dua penafsiran ini tidak bertentangan karena agama islam adalah mengikuti Al Qur’an. Demikian pula orang yang menafsirkan bahwa ia adalah sunnah dan jama’ah, atau jalan ubudiyah, atau ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya, mereka semua mengisyaratkan kepada satu dzat akan tetapi setiap mereka memberikan sifat yang berbeda dengan sifat yang yang diberikan oleh orang lain.<br />
<br />
Kedua : Setiap mereka menyebutkan sebagian jenis dari nama yang umum dalam rangka memberikan contoh/permisalan bukan dalam rangka memberikan definisi atau batasan dalam keumuman dan kekhususannya.<br />
<br />
Contohnya adalah penafsiran mereka mengenai firman Allah Ta’ala :<br />
<br />
ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ<br />
<br />
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan idzin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir 32).<br />
<br />
Dan telah diketahui bahwa orang yang menzalimi dirinya mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban dan melanggar keharaman. Dan yang pertengahan mencakup melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman dan As Sabiq (orang yang mendahului) mencakup orang yang mendekatkan diri dengan hasanat selain kewajiban yang ia lakukan.<br />
<br />
Kemudian setiap mereka menyebutkan ini pada salah satu macam dari macam-macam ketaatan, seperti perkataan seseorang: “As Sabiq adalah yang sholat di awal waktu, dan yang pertengahan adalah orang yang sholat di dalam waktunya, dan zalim adalah orang yang mengakhirkan sholat ashar sampai matahari menguning.”<br />
<br />
Kaidah kedua : Pendapat seorang shahabat yang tidak diketahui adanya penyelisihan dari shahabat lain adalah hujjah.<br />
<br />
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Apabila pendapat seorang shahabat tidak diselisihi oleh shahabat lain maka (tidak lepas dari dua keadaan) (1) pendapat tersebut terkenal di kalangan shahabat atau (2) tidak terkenal. Apabila terkenal maka myoritas fuqoha menyatakan bahwa ia adalah ijma’ dan hujjah dan sebagian fuqoha berpendapat bahwa ia adalah hujjah namun bukan ijma’.<br />
<br />
Dan apabila tidak terkenal atau tidak diketahui apakah ia terkenal atau tidak, maka para ulama berbeda pendapat apakah ia hujjah atau bukan; pendapat mayoritas ulama bahwa ia adalah hujjah, ini adalah pendapat mayoritas hanafiyah sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhammad bin Al Hasan dan ia juga menyebutkan nash dari perkataan Abu Hanifah, dan ini juga pendapat Malik dan pengikutnya, dan ini juga pendapat Ishaq bin Rohawaih dan Abu Ubaid dan ini juga yang dinyatakan oleh imam Ahmad dalam beberapa tempat dan dipilih oleh mayoritas pengikutnya, dan ini juga yang dinyatakan oleh imam Asy Syafi’I dalam qoul (pendapat) dahulu dan barunya… imam Syafi’I dalam pendapat barunya menyatakan dengan tegas dari riwayat Rabie’ dari beliau bahwa pendapat shahabat adalah hujjah yang harus dipegang.<br />
<br />
Imam Asy Syafi’I berkata: “Pendapat shahabat apabila berselisih kami pegang yang sesuai dengan Al Qur’an dan sunnah atau ijma’ karena sesuai dengan qiyas, dan apabila pendapat shahabat itu tidak diketahui adanya penyelisihan maka aku tetap mengikuti pendapatnya apabila aku tidak menemukan Al Qur’an tidak juga dalam As Sunnah atau ijma’ tidak juga yang semakna dengannya yang bisa dijadikan hukum atau ditemukan qiyas bersama pendapat tersebut.”<br />
<br />
Kaidah ketiga : Penafsiran shahabat yang tidak dikenal suka mengambil dari Ahli kitab yang bukan dalam tempat ijtihad tidak pula penukilan dari bahasa arab hukumnya adalah marfu’.<br />
<br />
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hafidzahullah berkata: “Sesungguhnya perkataan shahabat yang tidak dikenal suka mengambil dari Ahli Kitab dan bukan berasal dari ro’yu, seperti pengabaran tentang sesuatu yang ghaib maka ia dihukumi marfu’ sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun shahabat itu tidak menyatakan penisbatannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti perkataan shahabat mengenai tanda-tanda hari kiamat, adzab qubur, tentang surga dan Neraka, dan sebab turunnya ayat dari shahabat yang tidak suka mengambil dari Ahli kitab seperti ibnu Mas’ud, Umar dan lainnya jika mereka mengatakan seuatu perkataan yang tidak mungkin diketahui dari ijtihad atau akal, maka perkataan seperti ini adalah hujjah yang dihukumi marfu’.<br />
<br />
Bahkan Al Hakim dalam kitabnya “Ulumul hadits” memasukkan penafsiran shahabat dalam hukum marfu’ namun pendapat ini tidak benar, Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memberikan koreksi terhadap pendapat tersebut dalam kitab “An Nukat ‘ala ibnu Sholah” (2/20) beliau berkata: “Yang benar bahwa batasan penafsiran shahabat jika termasuk perkara yang bukan lapangan ijtihad tidak pula dinukil dari lisan arab maka hukumnya adalah marfu’ dan jika tidak demikian maka tidak, seperti pengabaran tentang kabar umat terdahulu…”.<br />
<br />
Beliau berkata lagi: “Adapun apabila penafsiran itu berhubungan dengan hukum syari’at, boleh jadi tafsir itu diambil dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dan bisa juga dari kaidah-kaidah sehingga tidak bisa dipastikan kemarfu’annya, demikian juga penafsiran tentang kosa kata, maka ini adalah penukilan tentang lisan arab secara khusus sehingga tidak dipastikan kemarfu’annya, dan pendapat yang kami perinci ini yang dijadikan sandaran banyak ulama-ulama besar.”<br />
<br />
Kaidah keempat : Apabila para shahabat berbeda pendapat menjadi dua pendapat misalnya maka tidak boleh kita mengadakan pendapat yang ketiga.<br />
<br />
Syaikhul islam ibnu Taimiyah ketika menyebutkan kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan Al Qur’an beliau berkata: “Yang paling besar kesalahannya dari mereka semua adalah orang yang maksud tujuannya adalah bukan untuk mengetahui apa yang Allah inginkan, akan tetapi tujuannya adalah menta’wil ayat untuk membantah lawannya yang berhujah dengan ayat tersebut, dan mereka jatuh ke dalam berbagai macam tahrif (merubah-rubah Al Qur’an) sehingga diantara mereka ada yang membolehkan menafsirkan ayat dengan penafsiran yang berlawanan dengan tafsir salaf, mereka berkata,”Apabila manusia (shahabat) berselisih dalam menafsirkan ayat menjadi dua pendapat maka boleh bagi orang setelahnya untuk mengadakan pendapat yang ketiga, berbeda bila mereka berselisih dalam sebuah hukum menjadi dua pendapat.<br />
<br />
Ini adalah sebuah kesalahan, karena mereka (para shahabat) apabila bersepakat bahwa makna sebuah ayat adalah ini atau ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa maksud ayat itu selain dua tadi berarti ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) mereka. Inilah tata cara orang yang maksudnya hanya untuk membantah bukan dalam rangka mengetahui apa yang diinginkan oleh ayat tersebut, jika tidak demikian maka bagaimana umat (para salaf) akan sesat dalam memahami Al Qur’an dan penafsiran mereka semua tidak benar, lalu orang-orang yang terakhir mengetahui makna yang diinginkan ?!<br />
<br />
Abul Mudzofar As Sam’ani berkata: “Yang shahih adalah haram mengadakan pendapat yang ketiga, karena ijma’ mereka diatas dua pendapat adalah ijma untuk mengharamkan pendapat selainnya, dan kita tidak boleh menyelisihi ijma’ diatas satu pendapat karena ia mengandung pengharaman pendapat selainnya, demikian juga ijma’ mereka di atas dua pendapat juga mengandung pengharaman pendapat selainnnya.<br />
<br />
Dan yang menunjukkan kepada pendapat ini juga adalah adakan pendapat yang ketigatang orang-orang yang terakhir mengetahui an sesat dalam memahami Al Qur'etahui gadabahwa kebenaran tidak akan keluar dari ijma’, kalaulah diperbolehkan mengadakan pendapat yang ketiga yang tidak diyakini oleh mereka (kedua pendapat tadi) berarti kebenaran telah keluar dari pendapat mereka, sehingga boleh jadi kebenaran itu ada pada pendapat yang ketiga dan ini jelas membatalkan ijma’.”<br />
<br />
Kaidah kelima : Penafsiran shahabat apabila bertentangan dengan penafsiran Rosulullah maka dikompromikan terlebih dahulu, bila tidak bisa maka penafsiran Rosulullah lebih didahulukan.<br />
<br />
Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu berkata: “Apabila tafsir hadits bertentangan dengan penafsiran shahabat atau tabi’in, maka kita harus mengkompromikan dua penafsiran tadi, dan jika tidak memungkinkan maka yang wajib adalah mendahulukan penafsiran Rosul shallallahu ‘alaihi wasallam karena beliau lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala. Contohnya adalah tafsir firman Allah Ta’ala :<br />
<br />
ﰝ ﰞ ﰟ ﰠ<br />
<br />
“Pada hari disingkapkannya betis.” (Al Qolam : 42).<br />
<br />
Imam Bukhari menafsirkan ayat itu dengan hadits :<br />
<br />
يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ<br />
<br />
“Rabb kita menyingkapkan betisnya, maka sujudlah kepada-Nya semua mukmin dan mukminah.” (HR Bukhari).<br />
<br />
Namun dalam sebuah riwayat, ibnu Abbas menafsirkan bahwa maknanya adalah hari yang amat susah, jika riwayat ini shahih tidaklah bertentangan dengan hadits itu, maka maknanya adalah bahwa pada hari kiamat Allah menyingkapkan betisnya dan hari itu adalah hari yang amat susah, atau mungkin kita katakan bahwa ibnu Abbas belum sampai kepadanya hadits Abu Sa’id Al Khudri tadi.”<br />
<br />
Kaidah keenam : Memeriksa keabsahan riwayat tafsir shahabat.<br />
<br />
Contohnya adalah tafsir firman Allah Ta’ala :<br />
<br />
ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ<br />
<br />
“Tidak juga orang yang junub kecuali yang menyeberang jalan.” (An Nisaa : 43).<br />
<br />
Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat menafsirkan maknanya adalah Kecuali engkau melewat di masjid, namun riwayat ini dla’if karena di dalamnya ada perawi yang bernama Abu Ja’far Ar Razi, ia lemah. Demikian pula ibnu mas’ud menafsirkannya dengan penafsiran ibnu Abbas tadi akan tetapi sanadnya juga lemah karena ia diriwayatkan dari jalan Abi Ubaidah dari ibnu Mas’ud, sedangkan Abu Ubaidah tidak mendengar dari ibnu Mas’ud sehingga sanadnya terputus.<br />
<br />
Dan tentunya kritik sanad haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiyah dalam ilmu hadits dan tidak boleh dimasuki oleh hawa nafsu, karena banyak tafsir shahabat yang dianggap lemah karena tidak sesuai dengan hawa nafsu, contohnya adalah tafsir ibnu Abbas terhadap ayat “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka ia termasuk orang-orang kafir.” (Al Maidah : 44), Bahwa kufur di dalam ayat ini maksudnya adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari millah islam ia adalah kufur dibawah kufur. Riwayat ini dilemahkan oleh kaum khowarij di zaman ini, padahal riwayat ibnu Abbas ini adalah shahih, penjelasannya sebagai berikut :<br />
<br />
Bahwa atsar tersebut diriwayatkan dari dua jalan ; jalan Thowus dari Ibnu ‘Abbas dan Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas.<br />
<br />
Adapun jalan thowus diriwayatkan oleh Ahmad dalam al iman (4/160/1416 dicetak dalam assunnah oleh Abu Bakar Al Khollal) Muhammad bin Nashr Al Marwazi dalam ta’dhim qodr sholah (2/521/569), Ibnu ‘Abdil Barr dalam attamhid (4/237), Al Hakim (2/313) dan lainnya dari jalan Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujair dari Thowus dari Ibnu ‘Abbas. Al Hakim berkata :” Hadits shohih sanadnya dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim “. Dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Syeikh Al Bani berkata :” hak keduanya untuk berkata : sesuai dengan syarat syaikhoin, karena sanadnya demikian… (silsilah shohihah 6/113). Akan tetapi di dalam sanadnya ada Hisyam bin Hujair, ia diperbincangkan oleh para ulama, kata Ibnu Syubrumah :” Tidak ada di makkah orang seperti dia “. Kata Al Ijli :” Tsiqoh “. Kata Ibnu Ma’in :” Sholih”. Kata Abu Hatim :” Yuktabu haditsuhu “. Kata Ibnu Sa’ad :” Tsiqoh lahu ahadiits “. Kata Ibnu Syahin :”tsiqoh”. Kata As Saji :” Shoduq “. Kata Adz Dzahabi :” Tsiqoh”. Kata Al Hafidz :” Shoduq lahu auham “. Dan di dlo’ifkan oleh Yahya Al Qoththon, imam Ahmad dan Ibnu Ma’in dalam satu riwayat. Sementara Bukhari dan Muslim berhujjah dengannya di dalam shahihnya.<br />
<br />
Kesimpulannya bahwa Hisyam bin hujair adalah shoduq dan haditsnya hasan, akan tetapi ia tidak sendirian, tapi di mutaba’ah oleh Abdullah bin Thowus seorang rawi yang tsiqoh dari ayahnya dari Ibnu ‘Abbas dengan lafadz :” ia adalah kufur, akan tetapi tidak seperti kufur kepada Allah dan hari akhirat “. Dikeluarkan oleh Sufyan Ats Tsauri dalam tafsirnya (101/241). Adapun yang dikatakan muhaqqiq Sunan Sa’id bin Manshur bahwa terputus antara Sufyan dan Ibnu Thowus, maka itu sebuah kesalahan besar, karena Sufyan mendengar dari Ibnu Thawus dan riwayatnya ada dalam shohih Muslim, dan Sufyan terkadang meriwayatkannya dari Ma’mar dan terkadang dari Ibnu thowus secara langsung. Jadi kesimpulannya sanad ini shohih ditambah dengan mutaba’ah tadi.<br />
<br />
Adapun jalan Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas diriwayatkan oleh Ath Thobari dalam Jami’I al bayan (6/166) dari Al Mutsanna bin Ibrohim Al Amili dan Abu Hatim Ar Rozi dari Abdullah bin Sholih dari Mu’awiyah bin Sholih dari Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas ia berkata :” Barang siapa yang juchud kepada apa yang Allah turunkan maka ia kafir dan barang siapa yang mengakuinya tapi tidak berhukum dengannya maka ia dzolim dan fasiq “. Dan ini adalah sanad yang hasan, dan sebagian orang ada yang menganggapnya cacat dengan alasan bahwa Ali bin Abi tholhah tidak bertemu dengan Ibnu Abbas, akan tetapi telah dijawab oleh banyak ulama diantaranya adalah As Suyuthi dalam al itqon (2/188) ia berkata :” berkata suatu kaum bahwa Ibnu Abi Tholhah tidak mendengar tafsir dari Ibnu Abbas, tapi ia mengambilnya dari Mujahid atau Sa’id bin Jubair, Al Hafidz Ibnu hajar berkata :” Setelah diketahui perantaranya yang ternyata tsiqoh maka hal tersebut tidak berbahaya “.<br />
<br />
Adapun Abdullah bin Sholih walaupun ia mukhtalith di akhir ahayatnya, akan tetapi Al Hafidz Ibnu hajar menyatakan bahwa riwayat Abu Hatim darinya sebelum terjadi takhlit, sehingga riwayatnya shohih.(lihat Hadyu saari hal 414).<br />
<br />
Maka tidak ragu lagi atsar tersebut semakin jelas keshohihannya lebih-lebih ditambah dengan jalan thowus tadi, dan dikuatkan lagi oleh atsar dari Tabi’in besar yaitu Atho bin Abi Robah yang dishohihkan oleh Syeikh Al bani dalam silsilah shohihah (6/114) dan para ulama hadits terdahulu dan sekarang kecuali orang yang jahil terhadap ilmu hadits telah menshohihkan atsar tersebut, diantaranya adalah : Al Hakim dalam mustadrok (2/393), Al Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/64), Ath Thobari dalam jami’nya (6/166-167), Imam Muhammad bin Nashr Al Marwazi dalam ta’dzim qodrish sholah (2/520), Al Baghowi dalam ma’alim tanzil (3/61), Al Qurthubi dalam tafsirnya (6/190), Al buqo’I dalam nadzmud duror (2/460), Shiddiq hasan Khon dalam nailul marom (2/472), Al Qosim bin Sallam dalam al iman (hal 45), Abu Hayyan dalam al bahrul muhith (3/492), Ibnu Baththoh dalam al ibanah (2/723), Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (4/237), Al Qosimi dalam mahasin at takwil (6/1998), Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa (7/312) (7/522), Ibnul Qoyyim dalam madarijussalikin (1/335-336), syeikh Al Bani dalam silsilah shohihah (6/109-116) dan ulama lainnya lebih dari 23 ahli hadits.<br />
<br />
Kaidah ketujuh : Tidak boleh mengadakan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih.<br />
<br />
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata di dalam Mukhtashar Ash Showa’iq Al Mursalah 2/128 : “Sesungguhnya mengadakan sebuah pendapat dalam menafsirkan kitabullah yang bertentangan dengan penafsiran salaf dan para imam berkonskwensi dua perkara : Boleh jadi pendapat tersebut salah atau penafsiran salaf dan para imam yang salah !! tentu orang yang berakal tidak akan merasa ragu bahwa pendapat tersebut lebih layak salah dari penafsiran salaf dan para imam.”<br />
<br />
Al Hafidz ibnu Abdil Hadi dala kitab Ash Shorim Al Munakki hal 427 berkata: “Tidak boleh mengadakan penafsiran ayat atau hadits yang tidak ada di zaman salaf yang tidak mereka ketahui tidak juga mereka jelaskan kepada umat, karena sikap seperti itu mengandung kesan bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran dan telah tersesat jalan lalu datang orang terakhir mengetahui kebenaran tersebut.”<br />
<br />
Diantara contoh penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafushalih adalah penafsiran mengenai firman Allah Ta’ala :<br />
<br />
ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ<br />
<br />
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan kepada manusia.” (Ali Imran : 110).<br />
<br />
Kata “ukhrijat” (dikeluarkan) ditafsirkan dengan makna sebuah tata cara dakwah ke masjid-masjid selama tiga hari atau tujuh hari atau empat puluh hari dan seterusnya, dan penafsiran seperti ini tidak pernah dikenal oleh para ulama terdahulu, tidak juga di dapati di dalam kitab-kitab tafsir, kalaulah itu baik tentu merekalah yang pertama kali mengamalkannya.<br />
<br />
Majmu’ fatawa 13/333-337 dengan ringkas.<br />
<br />
I’lamul muwaqi’in 548-551 tahqiq Syaikh Msyhur Hasan Salman, secara ringkas.<br />
<br />
At Tahqiqot wattanqihat hal 435-436.<br />
<br />
Majmu’ fatawa 15/95.<br />
<br />
Qowathi’ adillah 2/18 cet. Darul kutub ilmiyah.<br />
<br />
Bukhari no 4919.<br />
<br />
Riwayat itu didla’ifkan oleh syaikh Salim dalam kitab Al Minhal Ar Raqraq karena ia adalah riwayat yang mudltharib.<br />
<br />
Kaifa nafhamul qur’an hal 12-13.<br />
<br />
Dirujuk kitab Qurrotul ‘uyun karya Syaikh Salim Al hilali.<br />
<br />
Lihat ilmu ushul bid’a hal 142.<br />
<br />
(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-35841989678810593742016-10-06T21:08:00.000-07:002016-10-06T21:08:48.601-07:00Keikhlasan salafushalih, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anMuhammad bin Al Munkadir berkisah:<br />
<br />
"Suatu malam aku menuju mimbar dipertengahan malam untuk berdo'a, ternyata di sisi tiang ada seseorang yang menutup kepalanya, dan aku mendengarnya berkata: "Ya Rabbi, sesungguhnya kekeringan telah melanda hamba-hamba-Mu, dan aku bersumpah dengan namaMu agar engkau memberikan hujan kepada mereka".<br />
<br />
Ibnul Munkadir berkata: "Tak berapa lama datang awan mendung dan menurunkan hujan". Kejadian ini membuat ibnul Munkadir tertegun, ternyata ada orang yang shalih yang ia tidak kenal di kota Madinah, ibnul Munkadir bergumam: "Orang ini berada di kota Madinah namun aku tidak mengenalnya".<br />
<br />
Ketika imam telah selesai shalat shubuh, orang itu menutup kepalanya dan pergi, dan akupun mengikutinya sampai ia mendatangi rumah Anas, lalu ia masuk ke sebuah tempat. Ibnul Munkadir berkata: "Akupun pulang, dan setelah shalat sunnah, aku datang menemuinya".<br />
<br />
Aku berkata: "Bolehkah aku masuk?"<br />
<br />
Ia berkata: "Masuklah !" akupun masuk, ternyata ia sedang membuat gelas-gelas.<br />
<br />
Aku berkata: "Bagaimana kabarmu pagi ini? Semoga Allah berbuat baik kepadamu." Lalu ia mendekatkan minuman kepadaku, aku berkata: "Sesungguhnya tadi malam aku mendengar sumpahmu kepada Allah, wahai saudaraku, maukah engkau mendapatkan nafkah yang mencukupkanmu dari pekerjaanmu ini, dan lebih membuatmu bersungguh-sungguh mencapai keinginanmu dari kehidupan akhirat?"<br />
<br />
Ia berkata: "Tidak, tapi aku menginginkan selain itu; yaitu jangan kamu sebut aku kepada siapapun, dan jangan kamu sebut kisah tadi malam kepada siapapun sampai aku meninggal, dan janganlah engkau mendatangiku wahai ibnul Munkadir, sebab jika engkau mendatangiku, sama saja engkau membuat aku terkenal pada manusia".<br />
<br />
Aku berkata: "Tapi aku ingin menemuimu".<br />
<br />
Ia berkata: "Temui saja aku di masjid".<br />
<br />
Ibnul Munkadirpun tidak pernah menyebut kisah tersebut sampai ia meninggal. Ibnul Wahb berkata: "Sampai kepadaku bahwa orang itu pindah rumah dan pergi entah kemana. Pemilik rumah berkata: "Allahlah yang menghukumi antara kami dan ibnul Munkadir, karena dia yang membuat orang shalih itu keluar dari rumah kami". (Siyar A'lam An Nubalaa 5/356-357).<br />
<br />
Qultu (Abu Yahya): "Subhanallah! Betapa ikhlasnya mereka, ditawarkan dunia namun ditolak, ia lebih memilih mencari nafkah dengan keringat sendiri, memang itulah tanda keluhuran jiwa dan kebesarannya. Dan yang lebih menakjubkan adalah keikhlasan lelaki itu, yang ia inginkan hanyalah agar amalannya tidak diketahui oleh manusia.. dimana kita dibandingkan mereka? Kita masih suka ketenaran, padahal amal kita amat sedikit.. Allahul musta'an."<br />
<br />
(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-76985826836681474492016-10-06T21:06:00.001-07:002016-10-06T21:06:51.213-07:00Bukti-Bukti Cinta Kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’an1. Membenarkan kabar yang disampaikan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam<br />
<br />
Diantara keimanan yang sangat urgen adalah meyakini bahwa Nabi shallallahu 'alihi wa sallam ma’sum (terjaga) dari kedustaan dan kebohongan, yang konsekuensi dari hari hal ini adalah pembenaran kepada semua yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, baik khabar berita tentang masa silam, masa sekarang, ataupun berita di masa mendatang. Allah berfirman;<br />
<br />
﴿وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىمَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى﴾ (لنجم:1-4)<br />
<br />
Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. 53:1-4)<br />
<br />
﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: من الآية7)<br />
<br />
Apa yang datang dari Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. 59:7)<br />
<br />
Lihatlah kepada derajat yang sangat tinggi yang diraih oleh Abu Bakar As-Siddiq yang beriman kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dengan keimanan yang sesungguhnya.Ia membenarkan seluruh perkataan dengan tanpa keraguan sedikitpun.<br />
<br />
<br />
عن عائشة رضي الله عنها قالت ثم لما أسري بالنبي صلى الله عليه وسلم إلى المسجد الأقصى أصبح يتحدث الناس بذلك فارتد ناس ممن كان آمنوا به وصدقوه وسعى رجال من المشركين إلى أبي بكر رضي الله عنه فقالوا هل لك إلى صاحبك يزعم أنه أسري به الليلة إلى بيت المقدس قال أو قال ذلك قالوا نعم قال لئن قال ذلك لقد صدق قالوا أو تصدقه أنه ذهب الليلة إلى بيت المقدس وجاء قبل أن يصبح فقال نعم إني لأصدقه ما هو أبعد من ذلك أصدقه في خبر السماء في غدوة أو روحة فلذلك سمي أبا بكر الصديق رضي الله عنه<br />
<br />
Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Tatkala Nabi shallallahu 'alihi wa sallam isro’ (dijalankan oleh Allah) menuju ke Masjdil Aqsho, maka dipagi harinya orang-orang membicarakan hal itu. Orang-orang yang tadinya beriman kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan membenarkannya murtad (keluar dari Islam). Beberapa orang dari kaum musyrikin menemui Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau menemui sahabatmu (yaitu Rasulullah), dia menyangka bahwa dirinya tadi malam dijalankan ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsho)?”. Abu Bakar berkata, “Apakah dia mengatakan demikian?”, mereka berkata, “Iya”. Abu Bakar berkata, “Jika ia memang mengatakan demikian maka dia telah jujur!”. Mereka berkata, “Apakah engkau membenarkan perkataannya bahwa dia tadi malam pergi ke Baitul Maqdis kemudian tiba kembali (ke Mekah) sebelum subuh?”, Abu Bakar berkata, “Iya, (bahkan) saya membenarkannya pada perkara yang lebih (aneh) dari pada perkara ini. Saya membenarkannya tentang berita yang ia terima dari langit di pagi hari atau di sore hari”. Oleh karena itu Abu Bakar dinamakan As-Siddhiq (yang selalu membenarkan)”[1]<br />
<br />
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح ثم أقبل على الناس فقال بينا رجل يسوق بقرة إذ ركبها فضربها فقالت إنا لم نخلق لهذا إنما خلقنا للحرث فقال الناس سبحان الله بقرة تكلم فقال فإني أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر وما هما ثم وبينما رجل في غنمه إذ عدا الذئب فذهب منها بشاة فطلب حتى كأنه استنقذها منه فقال له الذئب هذا استنقذتها مني فمن لها يوم السَّبُعِ يوم لا راعيَ لها غيري فقال الناس سبحان الله ذئب يتكلم قال فإني أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر وما هما ثَمَّ<br />
<br />
Dari Abu Hurairoh berkata, “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam sholat subuh kemudian beliau menghadap para jemaah sholat lalu berkata, “Tatkala seseorang menggembala seekor sapi, kemudian diapun menunggangi sapi tersebut dan memukul sapi tersebut. Sapi itupun berkata, “Sesungguhnya aku tidaklah diciptakan untuk ini (untuk ditunggangi), namun aku hanyalah diciptakan untuk membajak.” Orang-orangpun berkata, “Maha suci Allah, sapi berbicara??”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian juga Abu Bakar dan Umar beriman.” Berkata Abu Hurairah, “Dan tatkala itu Abu Bakar dan Umar sedang tidak ada (tidak bersama mereka sholat subuh-pen)”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Dan tatkala seorang penggembala sedang menggembalakan kambing-kambingnya tiba-tiba datang serigala dan membawa lari seekor kambingnya. Maka sang penggembalapun mengejar serigala tersebut dan sepertinya dia berhasil membebaskan kambing tersebut dari cengkraman serigala. Sang serigala tersebut berkata kepada sipenggembala, “Engkau telah membebaskan kambing itu dariku, maka siapakah yang akan menunggui (memperhatikan) kambing ini selain aku pada hari dimana singa datang mengambil kambing ini?[2]” Orang-orangpun berkata, “Maha suci Allah, serigala berbicara?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian juga Abu Bakar dan Umar beriman”. Berkata Abu Hurairah, “Tatkala itu Abu Bakar dan Umar sedang tidak hadir”[3]<br />
<br />
Berkata Ibnu Hajar, “Kemungkinan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam mengatakan demikian (padahal Abu Bakar dan Umar tatkala itu tidak hadir-pen) karena Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam tahu akan besarnya keimanan mereka berdua dan kuatnya keyakinan mereka”[4]. Beliau juga berkata, “…Dan kemungkinan juga beliau berkata demikian karena mereka berdua akan membenarkan khabar tersebut jika mereka mendengarnya dengan tanpa keraguan”[5]<br />
<br />
Coba seandainya kita sampaikan hadits ini kepada orang-orang yang mengagungkan akal mereka, tentu kita akan dapati banyak diantara mereka yang menolak hadits ini. Mungkin diantara mereka akan ada yang berkata “Bagaimana hewan bisa berbicara?, mana akalnya?”, ataupun diantara mereka ada yang mengatakan “Hadits ini lemah karena tidak masuk akal, meskipun dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari!!.”[6]<br />
<br />
Padahal Allah mampu untuk melakukan semuanya, jangankan hewan yang masih memiliki otak dan lisan bahkan tangan dan kakipun serta kulit yang tidak berotak dan tidak berlisan akan berbicara pada hari kiamat sebagaimana firman Allah:<br />
<br />
﴿الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾ (يّـس:65)<br />
<br />
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. 36:65)<br />
<br />
﴿وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴾ (فصلت:21)<br />
<br />
Dan mereka berkata kepada kulit mereka:"Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami"<br />
<br />
Kulit mereka menjawab:"Allah yang telah menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan". (QS. 41:21)<br />
<br />
Apakah mereka menolak ayat-ayat ini karena menurut mereka tidak masuk akal??<br />
<br />
Berkata Ibnul Qoyyim, “Maka adab yang paling tertinggi terhadap Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam adalah pasrah menerima apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, mematuhi dan menjalankan perintahnya, menerima dan membenarkan berita yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tanpa mempertentangkannya dengan khayalan yang batil yang dinamakan “masuk akal” atau menolaknya karena syubhat atau ragu atau mendahulukan pendapat orang-orang dan kotoran-kotoran otak mereka diatas berita yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam…”[7]<br />
<br />
Di zaman sekarang ini banyak orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan alasan bertentangan dengan akal. Apakah mereka lupa bahwa Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tidaklah berbicara kecuali dengan bimbingan Allah?? Apakah akal mereka yang lemah itu hendak mereka gunakan untuk menimbang kebenaran berita yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam??.<br />
<br />
Penolakan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam semakin banyak jika hadits-hadits tersebut berkaitan dengan perkara-perkara goib. Mereka yang menentang hadits-hadits Nabi tersebut mengukur kebenaran hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dengan akal mereka yang lemah. Mereka mengqiaskan (mengukur) perkara yang ghoib dengan hal-hal yang mereka lihat di alam nyata. Tentunya ini adalah kesalahan yang sangat fatal karena akal yang sehatpun tidak menerima bahwa alam ghaib disamakan dengan alam nyata. Inilah yang telah menimpa para pendahulu mereka dari kalangan orang-orang musyrik yang menolak dengan akal mereka berita isro’nya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho dalam satu malam. Demikianlah syaitan senantiasa menggelincirkan umat ini dari jalan kebenaran.<br />
<br />
Lihatlah perkataan Umar bin Al-Khottob yang telah dijamin masuk surga, yang syaitan tidak berani bertemu dengannya, yang telah diberi oleh Allah kecerdasan dan ilmu yang tinggi, lihatlah perkataan beliau:<br />
<br />
قال يا أيها الناس اتهموا الرأي على الدين فلقد رأيتني أرد أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم برأيي اجتهادا فوالله ما آلو عن الحق وذلك يوم أبي جندل والكتاب بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وأهل مكة فقال اكتبوا بسم الله الرحمن الرحيم فقالوا ترانا قد صدقناك بما تقول ولكنك تكتب باسمك اللهم فرضي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبيت حتى قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم تراني أرضى وتأبى أنت قال فرضيت<br />
<br />
“Wahai manusia sekalian, curigailah pemikiran kalian dalam permasalahan agama[8]. Sungguh aku telah membantah perintah Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan pendapatku (pemikiranku) karena aku berijtihad. Demi Allah aku bersungguh-sungguh (berijtihad dengan pemikiranku itu) untuk menuju kepada kebenaran. Hal itu terjadi pada waktu kejadian Abu Jandal[9], tatkala buku di antara Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan penduduk Mekah (yaitu orang-orang musyrik), lalu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tulislah Bismillahirrohmanirrahim!”, mereka berkata, “Apakah engkau mengira kami telah membenarkan engkau (adalah utusan Allah)?, tapi engkau tulis saja “Bismikallahumma”. Lalu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam rela dengan hal itu, adapun aku tidak setuju, hingga Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata kepadaku “Engkau melihat aku telah ridha (setuju) lantas engkau enggan?”. Umar berkata, “Maka akupun rela”[10]<br />
<br />
Ungkapan seperti ini juga diucapkan oleh para sahabat yang lain, diantaranya Sahl bin Hunaif, beliau berkata:<br />
<br />
أيها الناس اتهموا أنفسكم فإنا كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الحديبية ولو نرى قتالا لقاتلنا فجاء عمر بن الخطاب فقال يا رسول الله ألسنا على الحق وهم على الباطل فقال بلى فقال أليس قتلانا في الجنة وقتلاهم في النار قال بلى قال فعلام نعطي الدنية في ديننا أنرجع ولما يحكم الله بيننا وبينهم فقال يا بن الخطاب إني رسول الله ولن يضيعني الله أبدا فانطلق عمر إلى أبي بكر فقال له مثل ما قال للنبي صلى الله عليه وسلم فقال إنه رسول الله ولن يضيعه الله أبدا فنزلت سورة الفتح فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم على عمر إلى آخرها فقال عمر يا رسول الله أو فتح هو قال نعم<br />
<br />
“Wahai manusia sekalian, curigailah diri kalian, sesungguhnya kami bersama Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam pada waktu terjadi perjanjian Hudaibiyah[11] dan jika menurut kami adalah berperang maka kami akan berperang. Lalu datanglah Umar bin Al-Khottob dan berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka berada di atas kebatilan?”, Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita (jika kita memerangi mereka) masuk surga dan orang-orang yang terbunuh dari mereka masuk neraka?”, Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Jika demikian, lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?, apakah kita kembali ke Madinah padahal Allah belum memutuskan perkara antara kita dengan mereka?”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Wahai Ibnul Khottob, sesungguhnya aku adalah utusan Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya”. Lalu Umar pergi ke Abu Bakar dan ia berkata kepadanya apa yang telah dikatakannya kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, Abu Bakarpun berkata kepaanya, “Sesungguhnya ia adalah utusan Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakannya selamanya”. Lalu turunlah surat Al-Fath dan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam membacakannya kepada Umar hingga akhir surat, lalu berkata Umar, “Wahai Rasulullah, apa itu adalah Al-Fath (kemenangan kita di Mekah kelak)?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam menjawab, “Iya”[12]<br />
<br />
Ali bin Abi Tholib berkata,<br />
<br />
لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه وقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح على ظاهر خفيه<br />
<br />
“Jika seandainya agama itu (hanya sekedar) bersandar dengan akal maka bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap (tatkala wudlu-pen) daripada bagian atas khuf. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khufnya”[13]<br />
<br />
Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah[14],<br />
<br />
فيا ليت شعرى بأي عقل يوزن الكتاب والسنة فرضى الله عن الإمام مالك بن أنس حيث قال أو كلما جاءنا رجل أجدل من رجل تركنا ما جاء به جبريل الى محمد لجدل هؤلاء<br />
<br />
“Seandainya saya tahu dengan dengan akal siapakah hendak ditimbang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam?, Semoga Allah meridhai Imam Malik bin Anas tatkala beliau berkata, “Apakah setiap datang orang yang lebih pandai bedebat daripada orang yang lain lantas kita tinggalkan apa yang diturunkan Jibril kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alihi wa sallam karena kepandaian debat mereka??”[15]<br />
<br />
<br />
<br />
2. Mengagungkan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan tidak menentangnya dengan pendapat sendiri<br />
<br />
Diantara bukti yang paling kuat yang menunjukkan kecintaan seseorang kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yaitu pengagungan terhadap sabda-sabda dan wejangan-wejangan beliau dan tidak menentang keputusan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam. Inilah yang telah direalisasikan oleh para sahabat dan para imam kaum muslimin sepeninggal para sahabat.<br />
<br />
Allah berfirman:<br />
<br />
﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾ (الأحزاب:36)<br />
<br />
Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. 33:36)<br />
<br />
﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً﴾ (الأحزاب:21)<br />
<br />
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21)<br />
<br />
﴿وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلاغُ الْمُبِينُ﴾ (النور: من الآية54)<br />
<br />
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS 24:54)<br />
<br />
﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63)<br />
<br />
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. 24:63)<br />
<br />
﴿أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِداً فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ﴾ (التوبة:63)<br />
<br />
Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasannya barangsiapa menentang Allah dan Rasuil-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itulah adalah kehinaan yang besar. (QS. 9:63)<br />
<br />
Berkata Al-Humaidi, “Kami sedang bersama Imam Asy-Syafi’i, lalu datanglah seseorang dan bertanya tentang suatu permasalahan. Maka As-Syafi’i berkata, “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam telah memutuskan permasalahan ini dengan hukum demikian dan demikian”. Orang itu berkata kepada Imam As-Syafi’i, “Bagaimana menurut pendapat Anda?”, maka Imam As-Syafii berkata,<br />
<br />
سبحان الله!! تراني في كنيسة؟! تراني في بيعة؟! ترى على وسطي زُنَّارًا؟! أقول لك قضى فيها رسول الله وأنت تقول: ما تقول أنت؟!<br />
<br />
“Maha suci Allah, apakah engkau sedang melihatku di gereja?!, apakah engkau sedang melihatku di tempat ibadah orang-orang yahudi?!, apakah engkau melihat di pinggangku ada zunnar (yaitu sabuk yang dipakai oleh orang-orang Nasrani)?!. Aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam memutuskan perkara ini dengan hukuman demikian dan demikian lantas engkau berkata “Bagaimana menurut pendapatmu?”?![16]<br />
<br />
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ مُغَفَّلٍ : نَهَى النَّبِيُّ عَنِ الْخَذْفِ وَقَال((إِنَّهَا لاَتَصْطَادُ صَيْدًا وَلاَ تَنْكَأُ عَدُوًا وَلَكِنَّهَا تَفْقَأُ الْعَيْنَ وَتَكْسِرُ السِّنَّ)) فَقَالَ رَجُلٌ : وَمَا بَأْسُ هَذَا؟ فَقَالَ : إِنِّي أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَتَقُوْلَ هَذَا؟ وَاللهِ لاَأُكَلِّمُكَ أَبَدًا<br />
<br />
Dari Abdullah bin Mugoffal bahwasanya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam melarang khadzf (mengutik dengan kerikil tatkala berburu untuk melukai hewan buruan-pen) dan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya khadzf (kutikan) itu tidaklah menghasilkan hewan buruan, juga tidak mematikan musuh, namun hanya membutakan mata dan mematahkan gigi”. Orang itupun berkata kepada Abdullah, “Memangnya kenapa dengan khadzf?”, maka Abdullah berkata, “Saya menyampaikan kepada engkau hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam lalu engkau berkata demikian?, demi Allah saya tidak akan berbicara denganmu selamanya!”.[17]<br />
<br />
Imam An Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan pemboikotan terhadap ahlul bid’ah dan pelaku kefasikan dan penentang sunnah setelah dijelaskan kepadanya, dan boleh memboikotnya secara terus menerus. Adapun larangan dari memboikot seorang muslim lebih dari tiga hari hanyalah berlaku pada orang yang bersalah karena kepentingan pribadi atau karena persoalan kehidupan dunia. Adapun para ahlul bid’ah dan semisal mereka maka pemboikotan terhadap mereka dilakukan secara terus menerus.[18] Padahal disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa pria yang diboikot oleh Abdullah tersebut merupakan kerabat keluarga beliau.<br />
<br />
Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menunjukan akan bolehnya memboikot orang yang menyelisihi sunnah meninggalkan berbicara dengannya, dan hal ini tidak termasuk dalam larangan dari memboikot (saudara sesama muslim) lebih dari tiga hari, karena larangan tersebut hanyalah jika berkaitan dengan pemboikotan karena perkara pribadi”[19]<br />
<br />
Dari Salim bin Abdillah, bahwasanya Abdullah bin Umar berkata:<br />
<br />
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : ((لاَتَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأَنَّكُمْ إِلَيْهَا)). فَقَالَ بِلاَلُ بْنِ عَبْدِ الله : وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ.<br />
<br />
فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدِ الله فَسَبَّهُ سَبًّا شَدِيْدًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطٌ, وَقَالَ : أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُلِ اللهِ وَتَقُوْلُ : وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ<br />
<br />
Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian pergi ke mesjid-mesjid jika mereka telah meminta idzin kepada kalian” Lalu berkatalah Bilal bin Abdullah bin Umar (yaitu putra Abdullah bin Umar-pen), “Demi Allah kami akan melarang mereka (ke mesjid)”. Maka Abdullah bin Umarpun menghadap kepadanya lalu mencelanya dengan celaan yang sangat keras yang saya sama sekali tidak pernah mendengar ia mencela seperti itu, lalu berkata, “Saya mengabarkan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam lantas engkau berkata “Demi Allah kami akan melarang mereka”??”[20] Dalam satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim فَضَرَبَ فِيْ صَدْرِهِ “Maka Abdullahpun memukul dadanya”<br />
<br />
Imam Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan hukuman terhadap orang yang protes terhadap sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan yang membantah sunnah dengan pemikirannya. Hadits ini juga menunjukan (bolehnya) hukuman seorang bapak kepada anaknya walaupun sang anak telah dewasa”[21]<br />
<br />
Berkata Ibnu Hajar[22], “Tidaklah Abdullah mengingkari putranya Bilal dengan pengingkaran yang sangat keras karena Bilal secara langsung menyelisihi hadits, namun kalau seandainya Bilal berkata misalnya “Sesungguhnya zaman sudah berubah, dan sebagian wanita terkadang nampak dari mereka keinginan pergi ke mesjid namun ternyata mereka punya maksud yang lain” maka yang nampak Abdullah bin Umar tidak akan mengingkarinya (sedemikian rupa) sebagaimana yang diisyaratkan oleh Aisyah[23]”<br />
<br />
Beliau juga berkata, “Dan diambil (faedah) dari pengingkaran Abdullah kepada putranya yaitu pemberian hukuman dan pelajaran kepada orang yang menentang sunnah Nabi dengan berlandaskan pikirannya dan kepada orang alim namun mengikuti hawa nafsunya, dan bolehnya seorang bapak memberi hukuman dan pelajaran kepada anaknya walaupun sang anak telah besar dan dewasa jika ia mengucapkan suatu perkataan yang tidak pantas, serta bolehnya memberi hukuman dengan menghajr (memutuskan hubungan). Telah datang riwayat dari jalan Ibnu Abi Najiih dari Mujahid pada Musnad Imam Ahmad فَمَا كَلَّمَهُ عَبْدُاللهِ حَتَى مَاتَ (Maka Abdullah bin Umar tidak pernah berbicara kepada anaknya (Bilal) hingga wafat)[24]. Jika riwayat ini shahih maka ada kemungkinan bahwa salah satu dari keduanya tidak lama kemudian meninggal setelah terjadinya kisah ini.”[25]<br />
<br />
عن عطاء بن يسار : أن رجلا باع كِسرة من ذهب أو ورق بأكثر من وزنها، فقال له أبو درداء : سمعت رسول الله يقول: ((يُنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذَا إِلاَّ مَثَلا بِمَثَلٍ)). فقال الرجل: ما أرى بمثل هذا بأسًا. فقال أبو درداء : من يعذرني من فلان؟، أحدثه عن رسول الله ويخبرني عن رأيه، لا أساكنه بأرض أنت بها<br />
<br />
Dari ‘Ato bin Yasar, ada seseorang yang menjual sepotong (sebongkah) emas atau perak dengan harga yang lebih berat dari berat bongkahan tersebut. Maka Abu Darda’pun berkata kepadanya, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata ((Dilarang dari yang seperti ini kecuali sama beratnya )antara emas atau perak yang di jual (di tukar) dengan perak atau emas yang di jadikan sebagai pembayar)). Orang tersebut berkata, “Menurut saya tidak mengapa”. Maka Abu Darda’pun berkata kepadanya, “Siapa yang menghalangiku dari orang ini?, aku sampaikan kepadanya hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam lantas dia menyampaikan kepadaku pendapatnya (yang menentang hadits). Saya tidak akan tinggal di tempat yang kamu berada di situ”[26]<br />
<br />
عن الأعرج قال : سمعت أبا سعيد الخدري يقول لرجل: أتسمعني أحدث عن رسول الله أنه قال: ((لاَ تَبِيْعُوْا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمِ إِلاَّ مَثَلا بِمَثَلٍ، وَ لاَ تَبِيْعُوْا مِنْهَا عَاجِلاَ بِآجِلٍ)) ثم أنت تفتي بما تفتي؟، والله لايؤويني وإياك ما عشت إلا المسجد!"<br />
<br />
Dari Al-A’roj berkata, “Saya mendengar Abu Said Al-Khudri berkata kepada seseorang, “Tidakkah engkau mendengarkan perkataanku?, aku sampaikan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bahwasanya ia bersabda ((Janganlah kalian menjual dinar dengan dinar atau dirham dengan dirham kecuali jika sama sama berat timbangannya, dan janganlah kalian menjualnya dengan tidak kontan)), kemudian engkau berfatwa dengan fatwamu (yang menyelisihi hadits)??. Demi Allah kita tidak akan berada di bawah satu atap selama hidupku kecuali di mesjid”[27]<br />
<br />
Berkata Al-Hakim, :”Saya mendengarnya –yaitu Abu Bakar As-Shibgi (wafat pada tahun 342 H)- tatkala dia sedang berbicara dengan seorang ahli fikih, dia berkata, “Sampaikanlah kepada kami riwayat hadits dari jalan Sulaiman bin Harb!”. Maka ahli fiqh itu berkata, حَدَّثَنَا دَعْنَا مِنْ “Tinggalkan kami dari perkataan حَدَّثَنَا (Telah menyampaikan kepada kami), إِلَى مَتَى حَدَّثَنَا وَ أَخْبَرَنَاsampai kapan terus (kita sibuk dengan) حَدَّثَنَا dan أَخْبَرَنَا (Telah mengabarkan kepada kami)??. Maka Abu Bakar As-Sibgi berkata, يا هذا لست أشُمُّ من كلامك رائحة الإِيْمَانِ، وَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تدخل دَاري “Wahai fulan, saya tidak mencium dari perkataanmu bau kaimanan, dan tidak halal bagi engkau memasuki rumahku”. Kemudian diapun memboikot ahli fikh tersebut hingga dia wafat.[28]<br />
<br />
Abul Husain At-Thobsi berkata, “Saya mendengar Abu Sa’id Al-Ashthikhri berkata –dan tatkala itu datang seseorang kepadanya dan bertanya kepadanya, “Apakah boleh beristinja’ dengan tulang?- maka ia (Abu Sa’id) menjawab, “Tidak boleh”. Orang itu berkata, “Kenapa tidak boleh?”, ia berkata, “Karena Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda ((هُوَ زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنَ الْجِنِّ)) “Dia adalah bekal (makanan) saudara-saudara kalian dari golongan jin”. Orang itu menimpali, “Bukankah manusia lebih mulia daripada jin?” ia berkata, “Tentu manusialah yang lebih mulia”. Orang itu berkata, “Jika demikian, lantas mengapa boleh beristinja’ dengan air, padahal air adalah minuman manusia?”, iapun menerjang orang itu dan memegang lehernya dan berkata “Wahai zindik (munafik), engkau menentang sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam??. Lalu ia (Abu Sa’id) mencekik orang itu, kalau tidak segera saya cegah mungkin ia telah membunuh orang itu”[29]<br />
<br />
Ibnul Qoyyim berkata, “Apakah ada diantara para sahabat yang tatkala mendengar hadits Nabi lantas memabantahnya dengan qiyasnya?, atau dengan perasaannya?, atau dengan pendapatnya?, atau dengan akalnya?, atau dengan siasat politiknya???...apakah ada diantara mereka yang lebih mendahulukan akal atau qiyas atau perasaan atau politik atau taklid dari pada hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam ??... Sungguh Allah telah memuliakan dan mensucikan dan menjaga mata mereka dari melihat wajah orang yang demikian halnya (yang menentang hadits Nabi dengan akal atau perasaannya) atau membiarkan ada orang seperti ini dizaman mereka.<br />
<br />
Umar bin Khottob telah memberi hukuman pedang kepada orang yang mendahulukan pendapatnya dari pada hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan berkata, “ini adalah pendapatku”.<br />
<br />
Ya Allah… bagaimana jika Umar melihat apa yang kita lihat sekarang ini?? Jika Umar menyaksikan musibah yang menimpa kita berupa sikap mengedepankan pendapat si fulan dan si fulan dari pada perkataan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang terjaga dari kesalahan?? Bagaimana jika Umar melihat penentangan orang-orang yang menampilkan pendapat-pendapat mereka dan lebih mengedepankan pendapat dan pemikiran mereka daripada perkataan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam?? Hanyalah Allah tempat meminta pertolongan, Dari Dialah kita diciptakan dan kepadaNyalah kita kembali”.[30]<br />
<br />
Allah berfirman:<br />
<br />
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ﴾ (الحجرات:2)<br />
<br />
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dam janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. 49:2)<br />
<br />
Berkata Ibnul Qoyyim mengomentari ayat ini, “Maka Allah memperingatkan orang-orang mukmin dari terhapusnya amalan mereka jika mereka mengeraskan suara mereka di hadapan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam sebagaimana mereka mengeraskan suara mereka diantara mereka.<br />
<br />
Dan terhapusnya amalan dalam permasalahan ini bukanlah dikarenakan kemurtadan tetapi dikarenakan kemaksiatan yang bisa menghapuskan amal padahal pelakunya tidak merasa. Bagaimana pula dengan orang yang mengedapankan perkataan, petunjuk, dan jalan selain Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam diatas perkataan, petunjuk, dan jalan Rasulullah??, bukankah orang seperti ini juga telah menghapus amalannya dan dia dalam keadaan tidak sadar??[31]<br />
<br />
<br />
<br />
3. Tidak mengedapankan perkataan siapapun diatas perkataan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam<br />
<br />
As-Sya’bi berkata kepada seseorang, مَا حدَّثُوك عن رسول الله فخذ به وما قالوه برأيهم فَأَلْقِهِ في الحُشِّ “Apa saja yang mereka sampaikan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam maka ambillah dan apa saja yang mereka katakan dari pendapat mereka maka buanglah di jamban (tempat buang air)[32]<br />
<br />
Berkata Umar bin Abdilaziz, لارأْيَ لأَحَدٍ مع سنةٍ سنَّهَا رسولُ الله “Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[33]<br />
<br />
Imam As-Syafi’I berkata, أَجْمعَ الناسُ على أنَّ من استبانتْ له سنةٌ عن رسول الله لم يكن له أنْ يَدَعَها لِقول أحد من النَّاس “Manusia telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti perkataan (pendapat) seseorang”. Dan telah sah bahwasanya beliau juga pernah berkata, لا قول لأَحَدٍ مع سنةِ رسولِ الله “Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[34]<br />
<br />
Berkata Ibnu Khuzaimah, , لا قول لأَحَدٍ مع رسولِ الله إِذَا صَحَّ الْخَبَرُ غنه “Tidak dipandang perkataan siapapun jika telah sah sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[35]<br />
<br />
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi berhaji tamattu’[36], maka Urwah bin Az-Zubair berkata, “Abu Bakar dan Umar melarang tamattu’”. Ibnu Abbas menimpali perkataannya, أُرَاهُم سَيَهْلَكُوْنَ، أَقُوْلُ قَالَ النَّبِيُّ وَيَقُوْلُوْنَ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَ عُمَرُ “Aku melihat mereka akan binasa, aku menyampaikan kepada mereka “Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda demikian”, namun mereka berkata “Abu Bakar dan Umar melarang.”[37]<br />
<br />
Dalam riwayat yang lain beliau berkata, يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ، أَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُونَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ؟؟! “Hampir saja menimpa kalian hujan batu dari langit, aku berkata “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata demikian” lantas kalian berkata, “Abu Bakar dan Umar berkata demikian dan demikian”[38]<br />
<br />
Berkata Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, “Abu Bakar dan Umar adalah orang yang paling terbaik dari umat ini, dan yang paling dekat kepada kebenaran. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda إِنْ يُطِيْعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا “Jika mereka patuh kepada Abu Bakar dan Umar maka mereka akan mendapat petunjuk”[39], dan diriwayatkan juga dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda اِقْتَدَوْا بِالَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ “Teladanilah dua orang sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan Umar!”[40]. Beliau shallallahu 'alihi wa sallam juga bersabda عَلَيْكُمْ بِسُنّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَجَذَِ “Wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Berpegangteguhlah dengannya dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian”[41]. Dan tidak pernah diketahui dari Abu Bakar dan Umar bahwasanya keduanya menyelisihi hadits yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan akal mereka berdua. Maka jika ada orang yang menghadapkan hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar maka dikawatirkan akan turun hujan batu dari langit bagaimana lagi dengan orang yang menentang hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan membawakan perkataan orang yang jauh di bawah derajat mereka berdua?? Padahal perbedaan antara orang tersebut dengan Abu Bakar dan Umar seperti bedanya langit dan bumi??, tentunya hukumannya lebih parah lagi.[42]”<br />
<br />
Berkata Salim bin Abdillah,<br />
<br />
إني لجَاَلِسٌ مع ابن عمر في المسجد إذ جاءه رجل من إهل الشام فسأله عن التمتع بالعمرة إلى الحج؟ فقال ابن عمر : حسن جميل. فقال: فإن أباك كان ينهى عن ذلك؟ فقال: ويلك! فإن كان أبي قد نهى عن ذلك وقد فعله رسول الله وأمر به، فبقول أبي تأخذ أم بأمر رسول الله؟ قال بأمر رسول الله. فقال : فقم عني<br />
<br />
“Aku sedang duduk bersama Ibnu Umar di masjid tiba-tiba datang seseorang dari penduduk negeri Syam, lalu dia bertanya kepada Ibnu Umar tentang umrah bersama haji?, maka Ibnu Umar berkata, “(Ini adalah perkara yang) baik dan bagus”. Orang itu berkata, “Tapi ayahmu (yaitu Umar bin Al-Khottob) dulu melarang perkara ini?”. Ibnu Umar berkata, “Celaka engkau, jika ayahku telah melarang perkara ini dan perkara ini telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan telah memerintahkannya maka perkataan ayahku yang kau pegang ataukah perintah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam?!”. Orang itu berkata, “Perintah Nabi”. Ibnu Umar lalu berkata, “Menyingkirlah dariku!!”.[43]<br />
<br />
Berkata Abu As-Saib, “Kami berada bersama Imam Waki’ lalu beliau berkata kepada seseorang yang termasuk ahlu ro’yi أَشْعَرَ رَسُوْلُ اللهِ “Rasulullah berbuat isy’ar[44]”. Orang itupun menimpali, “Tapi Abu Hanifah berpendapat bahwa isy’ar itu adalah mutslah (penyiksaan dengan mencincang)”. Kemudian orang itu melanjutkan perkataannya, “Telah datang dari Ibrahim An-Nakho’i bawhasanya dia berkata, “Isy’ar itu mutslah”. Maka akupun melihat Imam Waki’ marah besar dan berkata: أَقُوْلُ لَك ٌَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ؟؟ مَا أَحَقَّكَ بِأَنْ تُحْبَسَ ثُمَّ لاَتَخْرُجَ حَتَّى تَنْزِعَ عَن قَوْلِكَ “Aku berkata kepadamu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda demikian lantas engkau berkata Ibrahim berkata demikian..!!, engkau sungguh sangat pantas untuk dipenjara kemudian tidak keluar dari penjara tersebut hingga engkau mencabut perkataanmu ini!”[45]<br />
<br />
Berkata Imam Ahmad:<br />
<br />
عجِبتُ من قَومٍ عرَفوا الإسنادَ وَصِحَّتَهُ يذهبون إلى رَأْيِ سُفيانَ واللهُ يقول : ﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63). أتدري ما الفتنة؟ الفتنة شرك، لعله إذا ردَّ بعضَ قوله أَن يقعَ في قلبه شيء من الزيغ فَيهْلِك<br />
<br />
“Aku heran terhadap sauatu kaum yang mereka mengetahui tentang isnad dan shohihnya isnad tersebut lantas mereka mengikuti pendapat Sufyan (At-Tsauri yang menyelisihi hadits Rasulullah-pen), padahal Allah telah berfirman: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. 24:63). Tahukah engkau apa yang dimaksud dengan fitnah dalam ayat ini?, maksudnya adalah keyirikan, karena ia jika menolak sebagian hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam maka akan masuk dalam hatinya suatu penyimpangan lalu ia celaka”[46]<br />
<br />
Namun yang sangat menyedihkan apa yang terjadi pada kaum muslimin, banyak dari mereka yang terlalu berlebihan dalam mengagungkan imam madzhab mereka, guru-guru mereka, kiyai-kiyai mereka sampai-sampai mereka lebih mendahulukan pendapat imam-imam mereka daripada hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam.<br />
<br />
Ibnu Sirin menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam kepada seseorang lalu orang itu berkata, “Si fulan dan si fulan telah berkata ini dan itu..”, maka Ibnu Sirinpun berkata أُحَدِّثُكَ عَنِ النَّبِيِّ وَتَقُوْلُ قَالَ فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ كَذَا وَكَذَا؟، وَاللهِ لاَأُكَلِّمُكَ أَبَدًا “Aku menyampaikan kepadamu hadits dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam lantas engkau berkata, “Si fulan dan si fulan telah berkata ini dan itu”?, demi Allah aku tidak akan berbicara denganmu selamanya”[47]<br />
<br />
<br />
<br />
4. Berhukum kepada sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam jika terjadi perselisihan dalam permasalahan apapun<br />
<br />
Allah berfirman<br />
<br />
﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾ (الأحزاب:36)<br />
<br />
Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. 33:36)<br />
<br />
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً﴾ (النساء:59)<br />
<br />
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)<br />
<br />
Firman Allah شَيْءٍ “sesuatu”, dalam ayat ini mencakup seluruh perselisihan baik dalam masalah usul maupun masalah furu’[48]<br />
<br />
﴿فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾ (النساء:65)<br />
<br />
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65)<br />
<br />
Berkata Ibnu Taimiyah, “Semua yang keluar dari sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan syari’atnya (tidak berhukum dengan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam) maka Allah telah bersumpah dengan Dzatnya Yang Suci bahwasanya mereka tidaklah beriman hingga mereka ridha dengan hukum yang diputuskan oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam di semua perkara yang mereka perselisihkan baik perkara agama maupun perkara dunia, dan hingga tidak tersisa dalam hati mereka rasa keberatan terhadap keputusan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[49]<br />
<br />
﴿ألَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُوداً﴾ (النساء:60-61)<br />
<br />
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,” niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. 4:60-61)<br />
<br />
Berkata Ibnul Qoyyim, “Maka Allah menjadikan sikap berpaling dari apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan sikap memandang kepada hukum selain hukum Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam merupakan hakikat dari kemunafikan, sebagaimana hakikat dari keimanan adalah menjadikan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam pemutus perkara dan tidak adanya keberatan dalam dada dari keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam serta pasrah menerima dengan keputusan tersebut, ridha sesuai dengan kehendak sendiri karena kecintaan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam. Inilah hakikat dari keimanan, dan sikap berpaling adalah hakikat dari kemunafikan”[50]<br />
<br />
Dan hal inilah (kembali kepada sunnah Nabi tatkala terjadi perselisihan) yang diserukan oleh para Imam madzhab. Namun sungguh menyedihkan betapa banyak para pengikut madzhab yang fanatik dengan madzhab mereka. Mereka memegang teguh pendapat imam madzhab mereka, seakan-akan perkataan imam mereka turun dari langit[51], seakan-akan imam mereka ma’sum (terjaga dari kesalahan). Padahal ini menyelisihi wasiat dari para imam madzhab tersebut.[52]<br />
<br />
a. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi,<br />
<br />
Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:<br />
<br />
إذا صح الحديث فهو مذهبي<br />
<br />
“Jika telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”[53]<br />
<br />
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه<br />
<br />
“Tidak halal bagi seorangpun untuk mengambil pendapat kami jika dia tidak tahu dari mana kami mengambil pendapat tersebut”[54]<br />
<br />
وفي رواية : ( حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي )<br />
<br />
Dalam riwayat yang lain, “Haram atas orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berrfatwa dengan pendapatku”<br />
<br />
زاد في رواية : ( فإننا بشر نقول القول اليوم ونرجع عنه غدا )<br />
<br />
Dalam riwayat yang lain, “Sesungguhnya kami hanyalah manusia, kami menyatakan suatu pendapat pada hari ini kemudian esok harinya kami cabut pendapat tersebut”<br />
<br />
وفي أخرى : ( ويحك يا يعقوب ( هو أبو يوسف ) لا تكتب كل ما تسمع مني فإني قد أرى الرأي اليوم وأتركه غدا وأرى الرأي غدا وأتركه بعد غد )<br />
<br />
Dalam riwayat yang lain, “Celaka engkau wahai Ya’qub (yaitu Abu Yusuf), janganlah engkau menulis semua yang kau dengar dariku, karena aku terkadang menyatakan suatu pendapat pada hari ini kemudian esok harinya aku tinggalkan pendapatku tersebut, dan terkadang aku menyatakan suatu pendapat di esok hari kemudian lusanya aku tinggalkan pendapatku tersebut.”<br />
<br />
Berkata Syaikh Al-Albani, “Hal ini terjadi karena Imam Abu Hanifah banyak membangun pendapat-pendapatnya di atas qias, lalu nampak baginya ada qias lain yang lebih kuat, atau sampai kepadanya hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam (yang tadinya tidak diketahuinya) kemudian diapun mengambil hadits tersebut dan meninggalkan pendapatnya yang lalu”[55]<br />
<br />
b. Imam Malik bin Anas<br />
<br />
Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:<br />
<br />
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه<br />
<br />
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia berbuat benar dan bersalah, maka lihatlah kepada pendapatku, semua pendapatku yang sesuai denga Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka ambillah dan semua yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka tinggalkanlah”[56]<br />
<br />
ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم<br />
<br />
Tidak seorangpun setelah sepeninggal Nabi shallallahu 'alihi wa sallamkecuali pendapatnya bisa diterima atau ditolak, kecuali Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[57]<br />
<br />
قال ابن وهب : سمعت مالكا سئل عن تخليل أصابع الرجلين في الوضوء ؟ فقال : ليس ذلك على الناس، قال فتركته حتى خف الناس فقلت له : عندنا في ذلك سنة فقال : وما هي ؟ قلت : حدثنا الليث بن سعد وابن لهيعة وعمرو بن الحارث عن يزيد بن عمرو المعافري عن أبي عبد الرحمن الحنبلي عن المستورد بن شداد القرشي قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يدلك بخنصره ما بين أصابع رجليه . فقال : إن هذا الحديث حسن وما سمعت به قط إلا الساعة ثم سمعته بعد ذلك يسأل فيأمر بتخليل الأصابع<br />
<br />
Berkata Ibnu Wahb, “Saya mendengar Malik ditanya tentang (hukum) menyela-nyela jari-jari kaki tatkala wudlu”, beliau berkata, “Hal itu tidak dilakukan oleh orang-orang”, maka akupun meninggalkannya hingga orang-orang sudah sepi lalu aku katakan kepadanya, “Kami mengetahui sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tentang hal itu”, Imam Malik berkata, “Sebutkan sunnah tersebut!”. Aku berkata, “Telah menyampaikan kepada kami Al-Laits bin Sa’ad dan Ibnu Lahi’ah dan ‘Amr bin Al-Harits dari Yazid bin ‘Amr Al-Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habali dari Al-Mustaurod bin Syaddad Al-Qurosyi, ia berkatam “Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menggosok dengan jari keingkingnya sela-sela jari-jari kakinya”. Lalu berkata Imam Malik, “Hadits ini adalah hadits yang hasan, aku sama sekali tidak pernah mendengarnya kecuali sekarang.” Kemudian saya mendengar ia ditanya setelah itu maka iapun memerintahkan untuk menyela jari-jari kaki tatkala wudlu”[58]<br />
<br />
c. Imam As-Syafi’i<br />
<br />
Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:<br />
<br />
أَجْمعَ الناسُ على أنَّ من استبانتْ له سنةٌ عن رسول الله لم يكن له أنْ يَدَعَها لِقول أحد من النَّاس<br />
<br />
“Manusia telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti perkataan (pendapat) seseorang”<br />
<br />
)إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت(. وفي رواية ( فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد )<br />
<br />
“Jika kalian mendapatkan dalam kitab-kitabku apa yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam maka bepandapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku”, dalam riwayat yang lain, “Ikutilah sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan janganlah kalian melihat pendapat siapapun”[59]<br />
<br />
( إذا صح الحديث فهو مذهبي )<br />
<br />
“Jika telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”[60]<br />
<br />
إذا رأيتموني أقول قولا وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم خلافه فاعلموا أن عقلي قد ذهب.<br />
<br />
“Jika kalian mendapatiku menyatakan suatu pendapat padahal ada hadits yang shahih dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang menyelisihi pendapatku itu maka ketahuilah tatkala itu akalku sedang tidak ada”[61]<br />
<br />
كل حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم فهو قولي وإن لم تسمعوه مني<br />
<br />
“Semua hadits dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka itulah pendapatku walaupun kalian tidak mendengar aku menyatakan pendapatku tersebut”[62]<br />
<br />
d. Imam Ahmad bin Hanbal<br />
<br />
Diantara wasiat-wasiat beliau:<br />
<br />
لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا<br />
<br />
“Janganlah kalian taklid kepadaku, dan jangan taklid kepada Malik, As-Syafi’i, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, namun ambillah dari mana mereka mengambil”[63]<br />
<br />
رأي الأوزاعي ورأي مالك ورأي أبي حنيفة كله رأي وهو عندي سواء وإنما الحجة في الآثار<br />
<br />
Beliau juga berkata, “Pendapat Al-Auza’i, pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, semuanya sama di sisiku. Hujjah (argumen) hanyalah pada atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam)”[64]<br />
<br />
Syaikh Al-Albani berkata (setelah menyebutkan wasiat-wasiat empat imam madzhab di atas), “Inilah perkataan para Imam madzhab tentang perintah untuk berpegang teguh dengan hadits dan larangan untuk mentaklid mereka tanpa dalil. Perkataan-perkataan mereka ini sangat jelas, tidak bisa dipungkiri, dan tidak bisa ditarik ulur maknanya. Oleh karena itu barangsiapa yang berpegang teguh dengan semua yang shahih dari sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam walaupun menyelisihi sebagian pendapat para imam madzhab maka tidaklah dikatakan dia telah tampil beda (menyelisihi) atau telah keluar dari jalan para imam madzhab, bahkan dia adalah pengikut para imam madzhab tersebut dan telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Berbeda dengan orang yang meninggalkan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang shahih hanya karena menyelisihi pendapat para imam madzhab, orang seperti ini pada hakekatnya telah menentang para imam madzhab dan menyelisihi perkataan dan wasiat mereka sebagaimana telah disebutkan disatas. Allah berfirman:<br />
<br />
﴿فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾ (النساء:65)<br />
<br />
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65)<br />
<br />
﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63)<br />
<br />
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. 24:63)”[65]<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Firanda Andirja<br />
www.firanda.com<br />
<br />
<br />
<br />
Catatan Kaki:<br />
<br />
[1] Diriwayatkan oleh Al-Hakim 3/62 dan beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih sesuai dengan kriteria persyaratan Imam Bukhari dan Muslim dan keduanya tidak mengeluarkan hadits ini (dalam kitab shahih mereka). Dan beliau disepakati oleh Ad-Dzahabi. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena syawahidnya (As-Shahihah no 306)<br />
<br />
[2] Maksud dari perkataan serigala ini adalah “Engkau wahai penggembala kambing yang telah merebut kembali kambingmu dariku, sesungguhnya engkau suatu saat akan lari tatkala datang singa menerkam kambing ini dan engkau tidak bisa menyelamatkannya, lalu singa tersebut memakan kambing itu hingga puas kemudian akulah sendiri yang berada (menunggui/memperhatikan kambing itu) hingga selesai singa itu makan, lalu aku memakan kambing yang tersisa dari lahapan singa.” (Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 3663)<br />
<br />
[3] HR Al-Bukhari no 3471, dan dalam tempat-tempat yang lain no 2324, 3663, dan 3690<br />
<br />
[4] Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 3663<br />
<br />
[5] Fathul Bari 6/634, penjelasan hadits no 3471<br />
<br />
[6] Jangankan hadits yang ini bahkan hadits yang tidak aneh saja mereka tolak sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dimana Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
قال النبي إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فليغمسه ثم لينزعه فإن في إحدى جناحيه داء والأخرى شفاء<br />
<br />
“Jika sesekor lalat jatuh di minuman salah seorang dari kalian maka hendaklah ia memebenamkan lalat tersebut (dalam minumannya) kemudia mengeluarkan lalat tersebut karena pada salah satu sayap lalat tersebut ada racun dan pada sayap yang lain ada obat”<br />
<br />
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Abu Dawud no 3844, Ibnu Majah no 3503, Ahmad no 7353, 7562, 8642, 9024, 9157, 9719, 11205, Ibnu Hibban no 1246, 1247, 5250, Ibnu Khuzaimah no150 (1/56), An-Nasai (Al-Kubro) no 4588 (3/88), Al-Baihaqi no 1122, 1125. Hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu Sa’I Al-Kudri. Juga dirwayatkan dari Anas bin Malik sebagaimana dalam riwayat Al-Bazzar dengan para perawi yang tsiqoh sebagaimana perkataan Ibnu Hajar (Al-Fath 10/308 syarh hadtis no 5782) dari riwayat ‘Abdullah bin Al-Mutsanna dari paman beliau Tsumamah bahwasanya pamannya tersebut menyampaikan kepadanya seraya berkata,<br />
<br />
كنا عند أنس فوقع ذباب في إناء فقال أنس بأصبعه فغمسه في ذلك الإناء ثلاثا ثم قال بسم الله وقال أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرهم أن يفعلوا ذلك<br />
<br />
“Kami bersama Anas, lalu jatuh seeokr lalat di sebuah cangkir maka Anaspun mneclupkan lalat tersebut dengan jarinya dalam cangkir tersebut tiga kali kemudian ia berkata “Bismillah” dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan mereka (para sahabat) untuk melakukannya”<br />
<br />
Sebagian mereka ada yang berkata mengomentari hadits ini, “Saya mengambil perkataan Dokter yang kafir dan saya tidak menerima perkataan Rasulullah !!!”<br />
<br />
Oleh karena itu jangan tertipu dengan perkataan orang yang menolak hadits ini dengan dalih bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan riwayat-riwayat Abu Hurairah masih perlu diteliti dan dipertanyakan. Ketahuilah bahwa seandainya Abu Hurairah sendiri yang meriwayatkan hadits ini maka kita harus menerimanya karena dia adalah seorang sahabat yang pernah didoakan oleh Rasulullah agar kuat hapalannya. Apalagi jika hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri dan Anas bin Malik –semoga Allah meridhoi mereka-.<br />
<br />
Berkata Al-Khottobi هذا مما ينكره من لم يشرح الله قلبه “Hadits ini diantara hadits-hadits yang diingkari oleh orang yang tidak dilapangkan dadanya oleh Allah” (Umdatul Qori 21/293)<br />
<br />
[7] Madarijus Salikin 2/387<br />
<br />
[8] Berkata Ibnu Hajar, “Yaitu janganlah kalian beramal dalam perkara agama dengan hanya sekedar mengandalkan otak dengan tanpa bersandar kepada dalil dari agama” (Fathul Bari 13/353, syarh hadits no7308)<br />
<br />
[9] Maksudnya adalah tatkala terjadi perundingan Hudaibiyah. Berkata Ibnu Hajar, “Disebut kejadian Abu Jandal karena kejadian yang paling genting tatkala itu adalah kisah Abu Jandal” (Fathul Bari 6/338 syarah hadits no 3181). Lihat kisah Abu Jandal dan jalannya perundingan Hudaibiyah secara lengkap pada HR Al-Bukhari no 2731,2732, Kitab As-Syurut. Secara ringkas kejadiannya sebagai berikut:<br />
<br />
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersama para sahabatnya (diantaranya adalah Abu Bakar dan Umar) pergi dari Madinah pada hari senin bulan Dzul Qo’dah tahun ke enam Hijriah (Umdatul Qori 14/6), menuju Mekah untuk melaksanakan Umroh. Tatkala Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabatnya sampai dan singgah di Hudaibiyah datanglah Budail bin Warqo’ mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bahwa orang-orang musyrik di Mekah telah siap siaga untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabatnya dan akan mengahalangi mereka mengerjakan umroh. Nabi ÷pun berkata,<br />
<br />
إنا لم نجئ لقتال أحد ولكنا جئنا معتمرين وإن قريشا قد نهكتهم الحرب وأضرت بهم فإن شاؤوا ماددتهم مدة ويخلوا بيني وبين الناس فإن أظهر فإن شاؤوا أن يدخلوا فيما دخل فيه الناس فعلوا وإلا فقد جموا وإن هم أبوا فوالذي نفسي بيده لأقاتلنهم على أمري هذا حتى تنفرد سالفتي ولينفذن الله أمره<br />
<br />
“Sesungguhnya kami datang bukan untuk memerangi seorangpun, namun kami datang untuk mengerjakan umroh. Sesungguhnya peperangan (yang telah terjadi antara kaum muslimin dan kafir Quraisy secara berulang-ulang-pen) telah melemahkan kaum Quraisy dan telah memberi kemudhorotan kepada mereka. Jika mereka ingin maka aku akan memberikan waktu perdamaian (gencat senjata) antara aku dan orang-orang (yaitu orang-orang kafir Arab). Jika (di masa perdamaian tersebut) kaum selain mereka (yaitu orang-orang kafir dari selain kafir Quraisy kota Mekah) mengalahkan aku maka mereka tidak perlu memerangiku lagi (karena aku telah dikalahkan oleh selain mereka-pen). Dan jika aku mengalahkan kaum selain mereka, maka jika mereka ingin mentaatiku sehingga masuk dalam Islam sebagaimana orang-orang masuk dalam Islam maka silahkan. Dan jika mereka enggan masuk dalam Islam maka selepas masa gencatan senjata kekuatan mereka telah kembali. Namun jika mereka (sekarang) enggan untuk gencatan senjata maka demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, aku sungguh-sungguh akan memerangi mereka di atas agamaku hingga aku mati (dan aku bersendirian dalam kuburanku). Dan sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya”.<br />
<br />
Akhir cerita akhirnya orang-orang Quraisy setuju dengan gencatan senjata lalu mereka mengutus Suhail bin ‘Amr untuk menulis perjanjian damai dengan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam.<br />
<br />
فجاء سهيل بن عمرو فقال هات اكتب بيننا وبينكم كتابا فدعا النبي صلى الله عليه وسلم الكاتب فقال النبي صلى الله عليه وسلم بسم الله الرحمن الرحيم قال سهيل أما الرحمن فوالله ما أدري ما هو ولكن اكتب باسمك اللهم كما كنت تكتب فقال المسلمون والله لا نكتبها إلا بسم الله الرحمن الرحيم فقال النبي صلى الله عليه وسلم اكتب باسمك اللهم ثم قال هذا ما قاضى عليه محمد رسول الله فقال سهيل والله لو كنا نعلم أنك رسول الله ما صددناك عن البيت ولا قاتلناك ولكن اكتب محمد بن عبد الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم والله إني لرسول الله وإن كذبتموني اكتب محمد بن عبد الله (وفي رواية: وكان لا يكتب، فقال لعلي: "امْحُ رسولَ الله"، فقال علي: "والله ر أمحاه أبداً". قال: "فأرِنِيه". فأراه إياه فمحاه النبي بيده) فقال له النبي صلى الله عليه وسلم على أن تخلوا بيننا وبين البيت فنطوف به فقال سهيل والله لا تتحدث العرب أنا أخذنا ضغطة ولكن ذلك من العام المقبل فكتب فقال سهيل وعلى أنه لا يأتيك منا رجل وإن كان على دينك إلا رددته إلينا قال المسلمون سبحان الله كيف يرد إلى المشركين وقد جاء مسلما فبينما هم كذلك إذ دخل أبو جندل بن سهيل بن عمرو يرسف في قيوده وقد خرج من أسفل مكة حتى رمى بنفسه بين أظهر المسلمين فقال سهيل هذا يا محمد أول ما أقاضيك عليه أن ترده إلي فقال النبي صلى الله عليه وسلم إنا لم نقض الكتاب بعد قال فوالله إذا لم أصالحك على شيء أبدا قال النبي صلى الله عليه وسلم فأجزه لي قال ما أنا بمجيزه لك قال بلى فافعل قال ما أنا بفاعل قال أبو جندل أي معشر المسلمين أرد إلى المشركين وقد جئت مسلما ألا ترون ما قد لقيت وكان قد عذب عذابا شديدا في الله<br />
<br />
Lalu datanglah Suhail bin ‘Amr, lalu iapun berkata kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam “Tulislah suatu pernyataan antara kami dan kalian!”, maka Nabi shallallahu 'alihi wa sallam memanggil penulis (yaitu Ali bin Abi Tholib) dan menyuruhnya untuk menulis Bismillahirrohmanirrohim. Suhail berkata, “Adapun Ar-Rohim maka demi Allah, aku tidak tahu apa itu?, tapi tulislah saja bismikallahumma sebagaimana engkau pernah menulis demikian” (karena kebiasaan orang jahilah dahulu mereka menulis “bimikallahumma” dan mereka tidak mengenal bismillahirromanirrohim, lihat Umdatul Qori 14/13). Kaum muslimin (yaitu para sahabat Nabi shallallahu 'alihi wa sallam) berkata, “Demi Allah kami tidak akan menulis kecuali bimillahhirrohmanirrohim”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata kepada si penulis, “Tulilah bismikallahumma”, kemudian beliau shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan untuk menulis “Ini adalah keputusan Muhammad utusan Allah”. Suhail berkata, “Demi Allah kalau kami mengetahui bahwasanya engkau adalah utusan Allah maka kami tidak akan menghalangimu untuk umroh dan kami tidak akan memerangimu, tapi tulislah “Muhammad bin Abdillah”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Demi Allah aku adalah utusan Allah meskipun kalian mendustakan aku, tulislah “Muhammad bin Abdillah”. ((Dalam riwayat yang lain dari hadits Al-Baro’ –HR Al-Bukhari no 3184- Dan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tidak (pandai) menulis maka iapun berkata kepada Ali, “Hapuslah tulisan “Utusan Allah!”. Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya selamanya”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Perlihatkanlah kepadaku tulisan tersebut!”, maka Alipun memperlihatkannya kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu 'alihi wa sallam pun menghapusnya dengan tangannya)). Lalu Nabi berkata kepada Suhail, “Dengan syarat kalian membiarkan kami untuk ke baitullah melaksanakan towaf”. Suhail berkata, “Demi Allah tidak (bisa demikan) –Bangsa Arab akan mengatakan bahwa kami telah terpaksa (mengalah membiarkan kalian umroh-pen)-, tapi kalian bisa umroh tahun depan”, lalu hal itupun di catat (dalam pernyataan perdamaian), lalu Suhai berkata (menambah pernyataan), “Dengan syarat tidak ada seorangpun yang datang dari kami (dari Mekah) meskipun ia berada di atas agamamu (Islam) kecuali engkau mengembalikannya kepada kami”. Para sahabat berkata, “Subhanallah, bagaiamana dikembalikan kepada orang-orang musyrik padahal ia telah datang (kepada kami) dalam keadaan beragama Islam?”. Dan tatkala mereka masih berunding membuat pernyataan perdamaian, tiba-tiba datang Abu Jandal anak Suhai bin ‘Amr dalam keadaan berjalan tertatih-tatih karena ada belenggu yang membelenggunya, ia telah lari dari bawah kota Mekah dan melemparkan dirinya di tengah-tengah para sahabat. Berkata Suhai (ayah Abu Jandal), “Wahai Muhammad ini adalah orang pertama yang aku menuntut engkau untuk mengembalikannya kepadaku!”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Kita sama sekali belum selesai membuat pernyataan!”. Suhail berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku sama sekali tidak mau mengadakan perundingan damai denganmu”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Biarkanlah ia (Abu Jandal) bersamaku!”, Suhail berkata, “Aku tidak akan membiarkannya bersamamu!”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tidak, tapi engakau akan membiarkannya bersamaku, lakukanlah!”. Suhail berkata, “Aku tidak akan melakukannya”. Berkata Abu Jandal, “Wahai kaum muslimin, apakah aku dikembalikan kepada orang-orang musyrik (Mekah) padahal telah datang dalam keadaan beragama Islam?, tidakkah kalian melihat apa yang telah menimpaku?”, dan ia telah disiksa oleh orang-orang musyrik dengan siksaan yang keras karena bertahan di jalan Allah.<br />
<br />
فقال عمر بن الخطاب فأتيت نبي الله صلى الله عليه وسلم فقلت ألست نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق وعدونا على الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال إني رسول الله ولست أعصيه وهو ناصري قلت أو ليس كنت تحدثنا أنا سنأتي البيت فنطوف به قال بلى فأخبرتك أنا نأتيه العام قال قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به قال فأتيت أبا بكر فقلت يا أبا بكر أليس هذا نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق وعدونا على الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال أيها الرجل إنه لرسول الله صلى الله عليه وسلم وليس يعصي ربه وهو ناصره فاستمسك بغرزه فوالله إنه على الحق قلت أليس كان يحدثنا أنا سنأتي البيت ونطوف به قال بلى أفأخبرك أنك تأتيه العام قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به<br />
<br />
Umar berkata,”Akupun mendatangi Nabi shallallahu 'alihi wa sallam lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Aku adalah Utusan Allah dan aku tidak bermaksiat kepadaNya, dan Dia adalah penolongku”. Aku (Umar) berkata, “Bukankah engkau perrnah mengatakan kepada kami bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan bertowaf di ka’bah?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Iya, namun apakah aku mengabarkan kepadamu bahwa kita akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Umar bekata, “Tidak”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana”. Umar berkata, “Akupun mendatangi Abu Bakar, lalu aku katakana kepadanya, “Wahai Abu Bakar , bukankah Nabi Muhammad adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada dalam agama kita?”, Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, sesungguhnya ia adalah utusan Allah, dan tidak akan bermaksiat kepada Tuhannya, dan Tuhannya akan menolongnya, maka berpegangteguhlah dengan perintahnya dan janganlah menyelisihinya!”. Aku berkata, “Bukankah ia pernah mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan berthowaf di ka’bah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja, namun apakah ia mengabarkan kepadamu bahwa engkau akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Aku berkata, “Tidak”, Abu Bakar berkata, “Engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana!”. (HR Al-Bukhari no 2731, 2732, Fathul Bari 5/408-425, Umdatul Qori 14/3-14)<br />
<br />
Imam Nawawi berkata, “Para ulama berkata bahwa bukanlah pertanyaan-pertanyaan Umar kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam di atas karena keraguan, namun karena karena beliau ingin mengungkap apa yang ia tidak pahami (kenapa Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bisa memutuskan demikian –pen) dan untuk memotivasi (Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan Abu Bakar) untuk merendahkan orang-orang kafir dan memenangkan Islam sebagaimana hal ini merupakan akhlak beliau dan semangat dan kekuatan beliau dalam menolong agama dan menghinakan para pelaku kebatilan. Adapun jawaban Abu Bakar kepada Umar yang seperti jawaban Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, hal ini merupakan tanda yang sangat jelas akan tingginya kemuliaan Abu Bakar dan dalamnya ilmu beliau serta menunjukan kelebihan beliau di atas para sahabat yang lain dalam pengetahuan dan kemantapan ilmu pada seluruh perkara tersebut” (Al-Minhaj 12/141, atau cetakan Al-Ma’arif 12/353)<br />
<br />
[10] HR At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 1/72 dan Al-Bazzar dalam musnadnya 1/254<br />
<br />
[11] Berkata Al-Muhib At-Thobari, “Hudaibiyah adalah sebuah kampung yang letaknya dekat dengan Mekah, dan sebagian besar wilayah Hudaibiyah masuk dalam tanah suci haram” (Umdatul Qori 14/6)<br />
<br />
[12] HR Al-Bukhari no 3182, Lihat Umdatul Qori 15/104<br />
<br />
[13] HR Abu Dawud 1/42 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Beliau juga menghasankannya dalam bulughul maram, namun beliau mengatakan dalam At-Talkhish “Isnadnya shahih”<br />
<br />
[14] Majmu’ Fatawa 5/29<br />
<br />
[15] Ad-Dzahabi menukil perkataan Imam Malik ini dala As-Siyar 8/99<br />
<br />
[16] Siyar A’lam An-Nubala’ 10/34 dan Hilyatul Auliya’ 9/106<br />
<br />
[17] HR Al-Bukhari no 5479 dan Muslim 1954, Ad-Darimi no 454 (1/407) dan lafal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah hal 96 (lihat ta’dzimus sunnah hal 24)<br />
<br />
[18] Al-Minhaj syarh shahih Muslim 13/106<br />
<br />
[19] Fathul Bari 9/753<br />
<br />
[20] HR Muslim no 442, Al-Bukhari no 865 namun tanpa ada kisah marahnya Abdullah bin Umar kepada anaknya Bilal<br />
<br />
[21] Al-Minhaj syarh Shaihih Muslim 4/384<br />
<br />
[22] Fathul Bari 2/450<br />
<br />
[23] Yaitu perkataan Aisyah لَوْ أَدْرَكَ رَسُوْلُ اللهِ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ “Kalau seandainya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menjumpai apa yang diperbuat oleh para wanita (di zaman Aisyah sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam-pen) maka ia akan melarang mereka sebagaimana dilarangnya para wanita dari bani Israil” (HR Al-Bukhari no 869)<br />
<br />
[24] Lihat Musnad Imam Ahmad no 4933<br />
<br />
[25] Fathul Bari 2/450<br />
<br />
[26] Dikeluarkan oleh Ibnu Battoh di Al-Ibanah no 94<br />
<br />
[27] Dikeluarkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah no 95<br />
<br />
[28] Siyar A’lam An-Nubala (15/485) dan Thobaqoot As-Syafi’iyah karya As-Subki (3/10)<br />
<br />
[29] Madarijus Salikin 1/334<br />
<br />
[30] Madarijus Salikin 1/334<br />
<br />
[31] Al-Wabil As-Soyyib hal 24, dar Ibnul Jauzi<br />
<br />
[32] HR Ad-Darimi no 206 (1/285). Berkata Pentahqiq, “Isnadnya shahih dan atsar ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah 2/517 no 607 dan Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Usulil Ahkam 6/1030 dari dua jalan keduanya dari Malik bin Migwal”<br />
<br />
[33] HR Ad-Darimi no 446 (1/401), berkata pentahqiq :”Isnadnya shohih”<br />
<br />
[34] I’lamul Muwaqqi’in 2/201<br />
<br />
[35] I’lamul Muwaqqi’in 2/202<br />
<br />
[36] Maksudnya adalah haji qiron. Haji qiron juga disebut tamattu’ karena digabungkannya umroh dan haji dalam satu amalan<br />
<br />
[37] Jami’ bayan Al-‘Ilmi wa fadlihi 1/129 no 443, Musnad Ahmad no 3121<br />
<br />
[38] Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid.<br />
<br />
[39] HR Muslim (Al-Masajid, bab qodho As-Sholat Al-Faitah)<br />
<br />
[40] HR Ahmad dalam kitab fadhoil As-Shohabah 1/186, di Al-Musnad 5/399, Al-Bukhari di Al-Kuna hal 50 dan At-Thirmidzi dalam sunannya (Al-Manaqib, bab manaqib Abi Bakr wa Umar), beliau berkata, Hadits Hasan”<br />
<br />
[41] HR Ahmad dalam Al-Musnad 4/126,127, Abu Dawud (As-Sunnah, bab luzumis Sunnah), At-Thirmidzi (Kitabul Ilmu, bab ما جاء في الأَخذ في السنة واجتناب البدعة)<br />
<br />
[42] Al-Qaoul Al-Mufid, Syaikh Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi 2/152<br />
<br />
[43] Berkata Syaikh Al-Albani; “Diriwayatkan oleh At-Thohawi dalam Syarh Ma’anil Atsar (1/372 fotokopian maktabah) dan Abu Ya’la pada musnadnya (3/1317) dengan isnad yang jayyid (baik), para perawinya tsiqoh” (Sifat sholat Nabi hal 54)<br />
<br />
[44] Mengisy’ar yiatu memberi tanda kepada onta dengan menggores (melukai) salah satu sisi dari dua sisi punuk unta hingga mengalir darahnya, yang ini dijadikan sebagai tanda bahwa onta ini merupakan hewan hadyu haji. (Tuhfatul Ahwadzi 3/770)<br />
<br />
[45] Atsar ini dibawakan oleh Imam At-Thirmidzi dalam sunan beliau di bawah hadits no 906.<br />
<br />
[46] Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid<br />
<br />
[47] HR Ad-Darimi no 455 (1/401), berkata pentahqiq ,”Isnadnya hasan karena ada perowi yang bernamaSa’id bin Basyir”<br />
<br />
[48] Karena kalimat شَيْءٍ adalah nakiroh dalam konteks kalimat syarat maka memberikan faedah keumuman (sebagaimana kaedah ini jelas dalam kitab-kitab ushul fiqh). Lihat Sittu Duror hal 74, dan Adhwaul Bayan 1/204<br />
<br />
[49] Majmu’ Fatawa 28/471<br />
<br />
[50] Mukhtashor Sowa’iq Al-Mursalah 2/353<br />
<br />
[51] Sebagaimana perkataa Al-Kirkhi dalam bukunya Ar-Risalah fi ushulil hanafiyah hal 169-170 (dicetak bersama buku ta’sis an-nadzor, karya Ad-Dabbusi): “Semua ayat yang menyelesihi pendapat para sahabat kami (penganut madzhab Hanafi) maka ayat tersebut di ta’wil (dipalingkan maknanya dari makna yang dzhohir/nampak) atau ayat tersebut sudah mansukh. Dan demikian juga halnya dengan seluruh hadits maka dita’wil atau mansukh”<br />
<br />
[52] Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan pahit yang nampak di sebagian pendok-pondok pesantren yang ada di Indonesia dimana murid-murid pndok pesantren menjadikan perkataan para kiyai mereka (yang jelas-jelas kedudukannya jauh di bawah kedudukan para imam madzhab) seperti perkataan Nabi. Apalagi jika kiyai tersebut telah mendapatkan predikat WALI, maka seluruh perkataannya dibenarkan oleh para pengikutnya. Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan “Seandainya wali fulan menyatakan bahwa langit warnanya merah maka akan saya benarkan”???<br />
<br />
[53] Ibnu Abidin, dalam hasyiahnya (1/63) dan risalah beliau “Rosmul Mufti” (1/4 dari majmu’ah rosail Ibnu Abidin). Lihat Sifat sholat Nabi hal 46 (catatan kaki)<br />
<br />
[54] Ibnu Abdil Barr dalam bukunya “Al-Intiqo’ fi fadhoil Ats-Tsalatsah Al-Aimmah Al-Fuqoha’” hal 145, Ibnu Abidin dalam Hasyiahnya terhadap Al-Bahr Ar-Roiq (6/293) dan dalam Rosmul Mufti hal 29,32, lebih lengkapnya selanjutnya lihat Sifat Sholat Nabi hal 46 (catatan kaki)<br />
<br />
[55] Sifat shalat Nabi hal 47<br />
<br />
[56] Ibnu Abdilbar dalam Al-Jami’ (2/32)<br />
<br />
[57] Lihat takhrij atsar ini dalam shifat sholat Nabi hal 49<br />
<br />
[58] Muqoddimah Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim hal 31-32 dan diriwayatkan secara sempurna oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan (1/81)<br />
<br />
[59] An-Nawawi dalam Majmu’ (1/63)<br />
<br />
[60] An-Nawawi dalam Majmu’ (1/63)<br />
<br />
[61] Ibnu Asakir, dalam tarikh Dimasq dengan sanad yang shahih 15/10/1<br />
<br />
[62] Ibnu Abi Hatim hal 93-94<br />
<br />
[63] Ibnul Qoyyim, I’lamul Muwaqqi’in (2/302)<br />
<br />
[64] Ibnu Abdilbar di “Al-Jami’” (2/149)<br />
<br />
[65] Sifat shalat Nabi hal 53-54<br />
<br />
(Sumber: Ust. Firanda)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-37477263389252219252016-10-06T21:06:00.000-07:002016-10-06T21:06:10.452-07:00CINTA RASUL shallallahu ‘alaihi wa sallam (Antara pengagungan dan sikap perendahan), Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ وَاقْتَفَى أَثَرَهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ<br />
<br />
أَمَّا بَعْدُ،<br />
<br />
Tidak bertemunya seseorang dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa hidup tidaklah menghalanginya untuk berkumpul bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat kelak[1]. Seseorang pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,<br />
<br />
يَا رَسُولَ الله، كيف تقول فِي رَجُلٍ أحبَّ قَوْمًا ولَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ؟<br />
<br />
“Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai sebuah kaum namun dia tidak bertemu dengan mereka?”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ “Seseorang bersama dengan yang dicintainya”[2]. Karenanya barang siapa yang bisa mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kecintaan yang benar maka ia akan meraih apa yang dijanjikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ “Seseorang bersama dengan yang dicintainya”[3], dan kelak ia akan bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan barangsiapa yang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka jelas dia akan masuk kedalam surga. Wahai saudaraku…, kita harus bergembira dengan adanya kesempatan emas ini sebagaimana gembiranya para sahabat tatkala mengetahui kesempatan ini.<br />
<br />
<br />
<br />
عن أنس رضي الله عنه أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن الساعة فقال متى الساعة (وفي رواية: فقام النبي صلى الله عليه وسلم إلى الصلاة فلما قضى صلاته قال أين السائل عن قيام الساعة فقال الرجل أنا يا رسول الله) قال وماذا أعددت لها قال لا شيء (وفي رواية: ما أعْددْتُ لها من كثِيْرِ صلاةٍ ولا صومٍ ولا صدقةٍ) إلا أني أحب الله ورسوله صلى الله عليه وسلم فقال أنت مع من أحببْتَ (وفي رِوَايةٍ: قال أنس: وَنَحنُ كذلك؟ قَال: نعم. فَفَرِحْنَا يَوْمَئِذٍ فَرْحًا شَدِيْدَا) قال أنس فما فرحنا بشيء فرحنا بقول النبي صلى الله عليه وسلم أنت مع من أحببت )وفي رواية: فما رأيت فرح المسلمون بعد الإسلام فرحهم بهذا) قال أنس فأنا أحب النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر وأرجو أن أكون معهم بِحُبِّيْ إياهم وإن لم أعمل بمثل أعمالهم<br />
<br />
Dalam hadits Anas bin Malik disebutkan bahwasanya ada seorang arab badui[4] bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat seraya berkata, “Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat?” (dalam riwayat yang lain: Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun sholat, kemudian tatkala beliau selesai dari sholatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mana tadi orang yang bertanya tentang hari kiamat?”, orang itu menjawab, “Saya, ya Rasulullah!”)[5] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah yang engkau persiapkan untuk menemui hari kiamat?”, ia berkata, “Aku tidak menyiapkan apa-apa (dalam riwayat yang lain: “Aku tidak mempersiapkan diri untuk menemui hari kiamat dengan banyaknya sholat, puasa, dan sedekah”[6]) kecuali aku mencintai Allah dan RasulNya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya engkau bersama dengan orang yang engkau cintai” (Dalam riwayat yang lain: Anas berkata, “Lalu kami berkata, “Apakah kami juga demikian?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ya” . Anas berkata, “Maka kamipun pada hari itu sangat gembira”[7]) (Dalam riwayat lain, Anas berkata, “Dan aku tidak pernah melihat kaum muslimin sangat gembira lebih daripada kegembiraan mereka pada saat itu”[8]). Anas berkata, “Kami tidak pernah gembira karena sesuatu apapun sebagaimana kegembiraan kami karena mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Engkau bersama yang engkau cintai”. Anas berkata, “Aku mencintai Nabi, Abu Bakar, dan Umar dan aku berharap aku (kelak dikumpulkan) bersama mereka meskipun aku tidak beramal sebagaimana amalan sholeh mereka”[9]<br />
<br />
Namun yang menjadi pertanyaan bisakah kita membuktikan rasa cinta kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam??, ataukah pengakuan kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah pengakuan kosong belaka?!. Tentu setiap pengakuan membutuhkan bukti, jika setiap pengakuan langsung diterima mentah-mentah tanpa ada perlunya pembuktian maka siapapun bisa mengaku-ngaku. Kemudian bukti cinta tersebutpun harus merupakan bukti yang bisa diterima dan dipertanggungjawabkan, karena tidak semua bukti bisa diterima. Jika ternyata bukti pengakuan tersebut tidak bisa diterima maka cintanya akan bertepuk sebelah tangan, sebagaimana perkataan seorang penyair:<br />
<br />
كُلٌ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّهُمْ بِذَاكَ<br />
<br />
Semua orang mengaku-ngaku punya hubungan kasih dengan si Laila, namun Laila tidak mengakui mereka akan hal itu.<br />
<br />
Betapa banyak orang yang mengaku cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak memiliki bukti, sebagaimana pelaku maksiat yang ditunggangi hawa nafsu mereka hingga tenggelam dalam lautan kemaksiatan.<br />
<br />
Betapa banyak orang yang mengaku cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun membawa bukti yang tidak bisa diterima sebagaimana para pelaku bid’ah yang mengungkapkan cinta mereka dengan melaksanakan bid’ah-bid’ah yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bukti cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana halnya orang-orang syi’ah yang mengaku cinta kepada Husain dengan mengadakan bid’ah acara mengingat kematian Husain setiap tanggal 10 Muharram dengan memukul-mukul tubuh mereka dengan pedang dan rantai hingga tubuh mereka berlumuran darah, dan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya berakhir dengan kebinasaan. Hal ini jelas melanggar wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang seseorang meratapi mayit, dan melarang seseorang memukul pipinya atau merobek baju tatkala ditimpa musibah. Seandainya Husain hidup dan melihat perbuatan mereka niscaya ia akan mengingkari perbuatan mereka.<br />
<br />
Ingatlah bahwa bukti cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah sembarang bukti, bagaimana tidak? karena buah dari bukti yang diterima adalah masuk surga bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak sebagaimana persangkaan orang-orang yang jahil yang menyangka bahwa bukti cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah cukup dengan merayakan hari kelahiran beliau, atau cukup dengan menandungkan untaian kalimat-kalimat yang indah berisi pujian-pujian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa mempraktekan sunnah-sunnah beliau dalam kehidupan keseharian. Lebih-lebih lagi kejahilan mereka mengantarkan mereka kepada sikap terlalu berlebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga timbullah penyimpangan-penyimpangan yang hal ini telah diwanti-wanti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyangka bahwa semakin mereka bersikap berlebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka semakin diterima bukti kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br />
<br />
<br />
<br />
Kewajiban mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi dari mencintai diri sendiri<br />
<br />
Allah berfirman<br />
<br />
﴿قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ﴾ (التوبة:24)<br />
<br />
“Katakanlah:"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. 9:24)<br />
<br />
Ayat ini jelas menunjukan kewajiban mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Allah mencela orang yang lebih mencintai hartanya, keluarganya, dan anak-anaknya daripada kecintaannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengancamnya dengan firmanNya “maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya", kemudian di akhir ayat Allah menyatakan bahwa ia termasuk orang-orang yang fasik dan mengabarkan bahwa mereka termasuk orang-orang yang sesat dan tidak diberi petunjuk oleh Allah.[10]<br />
<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ<br />
<br />
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga saya yang lebih dia cintai daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh manusia”[11]<br />
<br />
Berkata Abdullah bin Hisyam,”Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang memegang tangan Umar bin Al-Khottob, Umarpun berkata kepadanya: لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَّيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي ”Sesungguhnya engkaulah yang paling aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata لاَ وَالَّّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ ”Tidak (cukup demikian) wahai Umar, demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, hingga akulah yang lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”. Umar lalu berkata, فَإِنَّهُ الآنَ وَاللهِ لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفِسِي ”Sesungguhnya sekarang, demi Allah, engkaulah yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, الآنَ يَا عُمَرُ ”Sekarang (barulah sempurna) wahai Umar”[12]<br />
<br />
Allah berfirman:<br />
<br />
﴿النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ﴾ (الأحزاب: من الآية6)<br />
<br />
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. 33:6)<br />
<br />
Ibnul Qoyyim berkata, “Ini adalah dalil bahwa barangsiapa yang (tidak menjadikan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada dirinya sendiri maka dia bukan termasuk orang-orang mukmin”[13] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda مَا مِن مُؤْمِنٍ إِلاَّ وَأَنَا أَولَى النَّاسِ بِهِ فِي الدُنيَا وَالأَخِرَةِ “Tidak seorang mukminpun kecuali aku adalah orang yang paling utama bagi dirinya di dunia dan di akhirat”[14] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ “Saya lebih utama bagi setiap mukmin dari dirinya sendiri”[15]<br />
<br />
Allah berfirman<br />
<br />
﴿لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ﴾ (التوبة:128)<br />
<br />
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min”. (QS. 9:128)<br />
<br />
Berkata Syaikh As-Sa’di, “Allah menganugrahkan kenikmatan kepada para hambaNya dengan mengutus di tengah-tengah mereka seorang Nabi yang berasal dari jenis mereka. Merekapun mengetahui keadaan Nabi dan memungkinkan mereka untuk mencontohi Nabi dan tidak menolak untuk taat kepadanya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh sangat berusaha untuk menasehati umatnya, berusaha agar umatnya meraih kebaikan-kebaikan. Firman Allah ﴿عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ﴾ “berat terasa olehnya penderitaanmu”yaitu perkara apa saja yang menyusahkan dan memberatkan kalian terasa berat juga olehnya. Firman Allah حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ “sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu” maka Nabi menginginkan bagi kalian kebaikan dan dia berusaha sekuat mungkin agar segala kebaikan-kebaikan tersebut bisa sampai kepada kalian, dia sangat bersemangat dalam menunjukan kepada kalian jalan menuju keimanan , dan dia membenci kalian ditimpa kejelekan dan berusaha untuk menjauhkan kalian dari segala keburukan. Firman Allah بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ ﴾ ﴿ “amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min ”, yaitu sangat sayang dan belas kasih dengan umatnya, lebih daripada kasih sayang orang tua mereka terhadap mereka”[16]<br />
<br />
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda<br />
<br />
ثَلاَثَةٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهَنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَيُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ<br />
<br />
“Tiga perkara jika terdapat pada diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman; yaitu jika Allah dan RasulNya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan dia benci untuk kembali pada kekufuran sebagaimana dia benci jika dilemparkan ke neraka”[17]<br />
<br />
Ada dua perkara yang mendorong timbulnya kecintaan seseorang kepada selainnya[18].<br />
<br />
Yang pertama kembali pada dzat yang dicintai, yaitu berupa sifat-sifat yang mulia dan terpuji yang terdapata pada dzat yang dicintai tersebut. Semakin banyak sifat yang terpuji pada dzat yang dicintai maka akan semakin besar kecintaan orang yang mencintai dzat tersebut. Orang yang murah senyum, berbudipekerti yang baik, serta memiliki kesabaran yang tinggi tentunya lebih kita cintai daripada orang yang hanya sabar namun tidak murah senyum. Maka jika kita memandang perkara yang pertama ini maka tidaklah ada manusia yang semestinya paling kita cintai kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliaulah yang memiliki sifat-sifat yang sangat terpuji dan akhlaq yang sangat tinggi dan mulia. Namun yang menyedihkan begitu banyak kaum muslimin yang tidak merenungkan akhlak mulia beliau, banyak kaum muslimin yang berpaling dari membaca sunnah-sunnah beliau yang akhirnya hal ini menjadikan mereka buta dengan kepribadian Rasul mereka sehingga hilanglah atau berkurang rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br />
<br />
Yang kedua kembali kepada kemanfaatan atau faedah yang sampai kepada seseorang disebabkan dzat yang dicintainya tersebut. Semakin banyak dan besar faedah yang didapatkannya disebabkan yang dicintainya maka akan semakin tinggi cintanya kepada dzat yang dia cintai tersebut. Maka jika kita memandang perkara yang kedua ini maka semestinya orang yang paling kita cintai adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dengan sebab beliau maka kita telah memperoleh kemanfaatan yang sangat besar dan tiada bandingannya yaitu kenikmatan iman kepada Allah. Dengan iman yang benar maka Allah akan menyelamatkan kita dari kesengsaran yang abadi dan tidada penghunjungnya di neraka menunju kebahagiaan dan kenikmatan yang abadi yang tiada penghujungnya di surga. Maka kenikmatan mana lagi yang lebih dari ini???, namun siapakah diantara kita yang merenungkannya hingga menumbuhkan kecintaan yang lebih mendalam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam??<br />
<br />
Renungkanlah bagaimana perjuangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendakwahkan dan menyebarkan agama Islam hingga sampai kepada kita. Celaan, cacian, ejekan, makian, semua beliau hadapi dengan sabar demi sampainya agama ini kepada kita, karena kasih sayangnya terhadap kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan orang gila, dijuluki penyihir, dilempar batu hingga berlumuran berdarah, tatkala sedang sujud diletakkan kotoran isi perut unta diatas pundak beliau, diasingkan oleh orang kampung beliau, bahkan dimusuhi oleh keluarganya sendiri, dimusuhi oleh paman-paman beliau[19], bahkan terusir dari tanah kelahiran beliau….namun semua ini tidaklah mematahkan beliau dalam menyampaikan agama ini kepada kita, semuanya karena kasih sayang beliau kepada kita umatnya, demi menyelamatkan kita dari kesengsaraan dan penderitaan yang abadi di neraka menuju kesenangan dan kebahagiaan yang abadi di surga.<br />
<br />
Berkata Ibnu Hajar, “Jika seseorang memikirkan kemanfaatan yang dirasakannya disebabkan adanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengeluarkannya dari kegelapan kekufuran menuju terangnya keimanan,-apakah baik secara langsung maupun tidak- maka dia akan mengetahui bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebab yang menjadikan dia hidup kekal abadi di kenikmatan yang abadi (yaitu di surga) dan dia akan mengetahui bahwa manfaat yang menimbulkan kecintaan lebih banyak bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada selainnya. Namun manusia bertingkat-tingkatan dalam hal ini sesuai dengan perenungan mereka dan lalainya mereka dari merenungkan hal ini. Oleh karena itu tidaklah diragukan bahwa para sahabat lebih sempurna memahami akan hal ini…”[20]<br />
<br />
Kecintaan dan pengagungan para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam<br />
<br />
Para sahabat telah meraih kemuliaan bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh karena itu mereka sangat mencintai dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada generasi sebelum mereka yang mencintai seseorang sebagaimana besarnya cinta mereka kepada Nabi dan demikian juga generasi sesudah mereka tidak ada yang bisa menyamai mereka.<br />
<br />
Ali bin Abi Tholib pernah ditanya,”Bagaimanakah cinta kalian terhadap Rasulullah?”, beliau menjawab, كَانَ وَاللهِ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ أَمْوَالِنَا وَأَوْلاَدِنَا وَآبَائِنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَمِنَ الْبَارِد عَلَى الظَّمأ “Demi Allah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih kami (Ali dan para sahabat yang lain-pen) cintai daripada harta kami, anak-anak kami, bapak kami, ibu kami, dan lebih kami cintai daripada air dingin yang kami minum tatkala sangat dahaga”[21]<br />
<br />
Abu Sufyan –tatkala beliau masih seorang musyrik- berkata kepada Zaid bin Ad-Datsinah tatkala penduduk kota Mekah mengeluarkan dia dari tanah haram untuk membunuhnya dan dia dalam keadaan ditawan oleh mereka, kata Abu Sufyan أنشدك بالله يا زيد، أتحب أن محمدا الآن عندنا مكانك نضرب عنقه وإنك في أهلك؟ “Demi Allah aku bertanya kepadamu wahai Zaid, apakah engkau ingin Muhammad sekarang berada bersama kami menggantikan posisimu lalu kami penggal lehernya dan engkau (bebas) bersama keluargamu?”, Zaid berkata, والله ما أحب أن محمدا الآن في مكانه الذي هو فبه تصيبه شوكة تؤذيه وإني جالس في أهلي”Demi Allah, saya tidak suka Muhammad sekarang berada ditempatnya lalu dia tertusuk duri sehingga mengganggunya sedang saya tinggal duduk bersama keluarga saya”. Berkata Abu Sufyan, ما رأيت من الناس أحدا يحب أحدا كحب أصحاب محمد محمدا “Saya tidak pernah melihat seorangpun mencintai yang lainnya sebagaimana kecintaan para sahabat Muhmmad kepada Muhammad”[22] <br />
<br />
Berkata Sa’ad bin Mu’adz kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala perang Badr, “Wahai Nabi Allah, apa tidak sebaiknya kami buatkan bagi engkau singgasana yang engkau duduk di atasnya dan kami mempersiapkan kendaraanmu kemudian kami menghadapi pasukan musuh?, jika Allah menjadikan kami jaya dan menang mengalahkan musuh kami maka itulah yang kami harapkan, namun jika kenyataannya lain maka engkau segera naik kendaraanmu dan bergabung dengan kaum kami yang ada di belakang kami. Sungguh telah tertinggal (tidak ikut perang) bersamamu kaum yang engkau lebih kami cintai daripada mereka, kalau seandainya mereka tahu bahwa engkau akan masuk dalam medan peperangan maka mereka tidak akan ketinggalan perang dan Allah akan membelamu dengan mereka, mereka akan memenolongmu dan akan berjihad bersamamu”. Maka Rasulullahpun memuji Sa’ad serta mendoakannya.[23]<br />
<br />
Berkata Anas bin Malik, “Tatkala terjadi perang uhud penduduk kota Madinah guncang, mereka berkata, “Muhammad telah terbunuh”, hingga akhirnya timbullah keramaian di ujung kota Madinah. Lalu keluarlah sorang wanita dari kaum Ansor dan dia telah dikabarkan dengan terbunuhnya putranya, ayahnya, suaminya, serta saudara laki-lakinya (dalam perang uhud), dan saya tidak tahu siapa diantara mereka yang lebih dahulu sampai kabar kematiannya pada wanita tersebut. Tatkala dia melewati jenazaah salah seorang diantara mereka dia berkata,”Jenazah siapa ini?” mereka menjawab, “Ayahmu, saudara laki-lakimu, suamimu, putramu!”, dia berkata, “Apakah yang dilakukan oleh Rasulullah?”, mereka berkata, “Dia sedang berada didepan”, hingga wanita tersebutpun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dia mengambil ujung baju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak perduli (dengan apapun yang terjadi) yang penting engkau selamat dari kebinasaan”[24]. Dalam riwayat yang lain, wanita tersebut berkata, “Semua musibah yang tidak menimpamu ringan terasa”<br />
<br />
Berkata Sa’ad bin Mu’adz,”Para sahabat telah menyerahkan jiwa-jiwa mereka dan harta-harta mereka dibawah keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, “Ini harta kami berada di hadapanmu, berilah keputusan sesukamu. Dan ini jiwa-jiwa kami berada di hadapanmu, jika Engkau menghendaki kami masuk dalam lautan maka kami akan memasukinya, kami berperang di hadapanmu, dari belakangmu, dari arah kananmu, dan dari arah kirimu”[25]<br />
<br />
Anas bin An-Nadlr tatkala terjadi perang Uhud, tatkala perang telah selesai beliau ditemukan dalam keadaan jasad beliau terdapat delapan puluh lebih bekas pukulan, tikaman, dan bekas panah sehingga tidak seorangpun yang mengenalnya kecuali saudara wanitanya yang bernama Ar-Rubayyi’, dia mengenalnya karena ujung-ujung jari Anas. Tatkala itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam teleh mengutus Zaid bin Tsabit setelah selesai peperangan untuk mencari Anas. Maka ia mendapatkannya dalam keadaan sakaratul maut, nafas yang terakhir. Anas yang dalam keadaan sekaratpun membalas salam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia berkata, “Aku mencium bau surga, dan sampaikanlah kepada kaumku dari Golongan Ansor لاَ عُذْرَ لَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَنْ يُخْلَصَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ وَفِيْكُمْ شَفَرٌ يِطْرُفُ sesungguhnya tidak ada udzur (alasan) bagi kalian dihadapan Allah jika keburukan menimpa Rasulullah sedang diantara kalian masih ada mata yang bisa berkedip (masih ada yang hidup-pen)”, lalu matanya mengalirkan air mata.[26] <br />
<br />
Sungguh tinggi rasa cinta dan pengagunggan para sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang paling menunujukan dan menjelaskan kebesaran cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkataan Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqofi –yang ketika itu masih musyrik- ketika berunding dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu perjanjian Hudaibiyah dan melihat pengagungan para sahabat terhadap Nabi, dan tatkala ia kembali ke kaum Quraisy iapun berkata (kepada mereka), “Wahai kaum Quraisy, demi Allah, aku telah di utus kepada para raja, aku telah diutus kepada Kaisar, Kisro, dan Najasyi, demi Allah aku tidak pernah melihat seorang rajapun yang diagungkan oleh para sahabatnya (anak buahnya) sebagaimana pengagungan para sahabat Muhammad kepada Muhammad. Demi Allah, tidaklah ia membuang dahaknya kecuali jatuh di telapak tangan salah seorang dari para sahabatnya kemudian orang tersebut mengusapnya ke wajahnya dan kulit (tubuhnya), jika ia memerintahkan mereka maka mereka segera melaksanakannya, jika dia berwudlu maka mereka hampir saja saling berkelahi demi memperebutkan sisa wudlu beliau[27], jika ia berbicara maka merekapun merendahkan suara mereka, dan mereka tidak mampu mempertajam (melamakan) pandangan mereka kepadanya karena keagungan beliau”[28]<br />
<br />
Dan para sahabat telah disifati tatkala duduk mendengarkan wejangan-wejangan Nabi dengan sifat yang sangat mengagumkan, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Diantaranya perkataan Abu Sa’id Al-Khudri وسكت الناس كأنّ على رؤوسهم الطير “Orang-orangpun terdiam seakan-akan ada burung (yang hinggap) di atas kepala-kepala mereka”[29]<br />
<br />
Berkata ‘Amr bin Al-‘Ash, “Tidak ada seorangpun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang lebih agung di kedua mataku daripada Rasulullah. Aku tidak mampu untuk memandangnya dengan penuh pandangan karena keagungannya, dan jika aku diminta untuk menjelaskan cirri-ciri Rasulullah maka aku tidak mampu karena aku tidak pernah memandanganya dengan pandangan yang penuh”[30]<br />
<br />
Tatkala Abu Sufyan mengunjungi putrinya Ummu Habibah (istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di kota Madinah lalu memasuki rumah putrinya diapun hendak duduk di atas tikar (yang biasa diduduki oleh) Rasulullah, maka Ummu Habibahpun melipat tikar tersebut. Abu Sufyanpun berkata, “Wahai putriku, aku tidak tahu apakah engkau ingin agar aku tidak duduk di atas tikar ini (karena engkau membenci tikar ini) ataukah engkau tidak ingin tikar ini aku duduki (karena benci kepadaku)?”. Ummu Habibahpun menimpali, “Ini adalah tikarnya Rasulullah, dan engkau adalah orang musyrik yang najis, aku tidak mau engkau duduk di atas tikar milik Rasulullah”[31]<br />
<br />
Diantara hal yang menunjukan begitu keras semangatnya para sahabat dalam memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi hal-hal yang bisa mengganggu beliau adalah perkataan Anas bin Malik, إنّ أبواب النبي كانت تُقرع بالأظافر “Pintu-pintu Nabi dahulu diketuk dengan kuku-kuku”[32]<br />
<br />
Dan tatkala turun firman Allah<br />
<br />
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ﴾ (الحجرات:2)<br />
<br />
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dam janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. (QS. 49:2), berkata Ibnu Az-Zubair, “Dan Umar tidak pernah lagi meperdengarkan suaranya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ia berbicara kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan suara yang sangat pelan-pen) setelah turun ayat ini sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Umar apa yang dikatakan Umar kepada beliau.[33] Tsabit bin Qois suaranya keras, sehingga kalau dia berbicara (dengan yang lainnya atau berbicara dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dia mengangkat suaranya. Tatkala turun ayat ini, diapun duduk di rumahnya menundukkan kepalanya karena dia memandang bahwa dirinya termasuk penduduk neraka karena telah mengangkat suaranya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga terhapus amalannya dan dia termasuk penduduk neraka hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira kepadanya bahwa dia termasuk penduduk surga.[34]<br />
<br />
bersambung ....<br />
<br />
Firanda Andirja<br />
www.firanda.com<br />
<br />
<br />
<br />
Catatan Kaki:<br />
<br />
[1] Dan disunnahkan bagi kita untuk barangan-angan bisa melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:<br />
<br />
مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِي لِي حُبًّا نَاسٌ يَكُوْنُوْنَ بَعْدِي يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِي بِأَهْلٍِهِ ومَالِهِ<br />
<br />
“Diantara orang-orang yang paling besar cintanya kepadaku adalah orang-orang yang datang sepeninggalku, salah seorang dari mereka berangan-angan kalau bisa melihat aku walaupun harus berkorban keluarga dan hartanya” (HR Muslim 4/2178 dari hadits Abu Hurairah)<br />
<br />
Lihat juga HR Al-Bukhari no 3589<br />
<br />
[2] HR Al-Bukhari no 6169, 6170, dalam riwayat At-Thirmidzi (4/596) dari hadits Shofwan bin ’Assal ia berkata:<br />
<br />
جاء أعرابي جهوري الصوت قال يا محمد الرجل يحب القوم ولما يلحق بهم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم المرء مع من أحب<br />
<br />
Datang seorang arab badui yang bersuara lantang, ia berkata, “Wahai Muhammad, seseorang mencintai suatu kaum dan ia tidak bertemu dengan mereka?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Seseorang dikumpulkan kelak dengan yang ia cintai”<br />
<br />
[3] HR Al-Bukhari no 6168, 6169, 6170<br />
<br />
[4] Ibnu Hajar menyebutkan bahwa orang arab badui ini adalah orang arab badui yang buang air kecil di sudut mesjid sebagaimana dalam riwayat Ad-Daruqutni dari hadits Ibnu Mas’ud (Al-Fath 7/63)<br />
<br />
جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم شيخ كبير فقال يا محمد متى الساعة فقال وما أعددت لها قال لا والذي بعثك بالحق نبيا ما أعددت لها من كبير صلاة ولا صيام إلا أني أحب الله ورسوله قال فإنك مع من أحببت قال فذهب الشيخ فأخذ يبول في المسجد فمر عليه الناس فأقاموه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم دعوه عسى أن يكون من أهل الجنة فصبوا على بوله الماء<br />
<br />
Datang seorang tua dari arab badui kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia berkata, “Wahai Muhammad, kapan hari kiamat?, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah yang kau persiapkan menanti kedatangan hari kiamat?”, ia berkata, “Demi Dzat Yang telah mengutus engkau dengan kebenaran sebagai Nabi, aku tidaklah menyiapkan sholat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan RasulNya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya engkau bersama bersama dengan yang engkau cintai”. Orang tua itupun berpaling dan diapun buang air kecil di mesjid, lalu lewat sekelompok orang dan hendak menghentikannya buang air di mesji, Rasulullahpun berkata, “Biarkanlah dia, mungkin ia termasuk penduduk surga”. Lalu merekapun menuangkan air pada bekas kencingnya”.<br />
<br />
Berkata Ad-Daroqutni:, “Al-Mu’allaa adalah perawi majhul” (HR Ad-Daruquthni 1/132).<br />
<br />
Pernyataan Ibnu Hajar bahwa orang arab badui ini adalah orang arab badui yang kencing di mesjid perlu diteliti kembali, karena riwayat Daruquthni ini sangat lemah. Para ulama telah sepakat akan kelemahan rowi ini (Mu’alla bin ‘Urfaan Al-Asadi Al-Kufi Al-Maliki). Yahya bin Ma’in berkata, “Mu’alla bin ‘Urfaan adalah dukun di jalan menuju Mekah”. Imam An-Nasai berkata, “Mu’alla bin ‘Urfan matrukul hadits”. Imam Al-Bukhari berkata, “Mu’alla bin ‘Urfaan munkarul hadits”. Berkata Ibnu Hajar, “Ia adalah termasuk gulat syi’ah (syi’ah yang kerusakannya tingkat tinggi)” (Lihat Lisanul Muzan karya Ibnu Hajar 6/64)<br />
<br />
[5] Ini adalah riwayat At-Thirmidzi 4/595 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani<br />
<br />
[6] HR Al-Bukhari no 6171<br />
<br />
[7] HR Al-Bukhari no 6167<br />
<br />
[8] Disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 10/681, Ini adalah riwayat At-Thirmidzi 4/595 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat juga Adabul Mufrod no 352<br />
<br />
[9] HR Al-Bukhari no 3688 dan Muslim 4/2032. Namun yang sangat menyedihkan kita menyaksikan betapa banyak kaum muslimin terutama dari golongan permuda yang mereka sangat mencintai orang-orang kafir (terutama para artis), bahkan foto orang-orang kafir tersebut mereka pajang di kamar-kamar mereka, bahkan mereka meniru gaya berpakaian dan berbicara orang-orang kafir tersebut. Yang lebih sangat menyedihkan lagi, ternyata tingkat kecintaan mereka terhadap orang-orang kafir tersebut sudah sangat mendalam dan merasuk jiwa mereka, terbukti tatkala para artis tersebut datang ke negeri-negeri kaum muslimin maka para penggemar merekapun berbondong-bondong menyambut para idola mereka yang kafir, bahkan hingga timbul histeris tatkala menyaksikan para idola mereka itu, bahkan ada diantara mereka yang pingsan karen saking gembira dan histeris tatkala melihat langsung para idola mereka, bahkan ada yang sampai mati gara-gara berebutan dekat dengan para idola mereka yang kafir. Hingga demikiankah cinta mereka terhadap orang-orang kafir tersebut??, bagaimanakah nasib mereka kelak, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Seseorang (diukumpulkan diakhirat kelak) bersama yang ia cintai” ???!!!<br />
<br />
[10] Lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadl dalam As-Syifa bi ta’rifi ahwalil Mushtofa 2/18<br />
<br />
[11] HR Al-Bukhari no 15<br />
<br />
[12] HR Al-Bukhari no 6632<br />
<br />
[13] Badai’ At-Tafsir Al-Jami’ litafsir Ibnil Qoyyim 2/422<br />
<br />
[14] HR Al-Bukhari no 4781<br />
<br />
[15] HR Muslim no 867<br />
<br />
[16] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, tafsir surat 9 ayat 128<br />
<br />
[17] HR Al-Bukhari no 16,21 dan Muslim no 43<br />
<br />
[18] Faedah ini penulis dapatkan dari perkataan DR Muhammad Darroz ketika menjelaskan hadits ini (lihat Al-Mukhtar min kunuzis Sunnah hal 344,345)<br />
<br />
[19] Ttatkala Nabi berdakwah kerumah-rumah penduduk kota Mekah Abu Lahab (paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengikutinya dari belakang kemudian berteriak kepada orang-orang, “Wahai manusia, janganlah kalian tertipu dengan orang ini (maksud Abu Lahab adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) sehingga kalian keluar dari agama kalian dan agama nenek moyang kalian” (As-Siroh An-Nabawiah As-Shohihah 1/193)<br />
<br />
[20] Fathul Bari 1/83<br />
<br />
[21] Syu’abul Iman, karya Imam Al-Baihaqi 2/133<br />
<br />
[22] Al-Bidayah wa An-Nihayah, karya Ibnu Katsir 4/65<br />
<br />
[23] Dibawakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wa An-Nihayah 3/268<br />
<br />
[24] Diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam Al-Awshoth 8/244, dan dalam Majma’ Az-Zawaid karya Al-Haitsami 6/115 dan dia menyebutkan bahwa seluruh perawi nya tsiqoh kecuali seorang perawi dia tidak mengetahuinya. Lihat Al-Bidayah Wa An-Nihayah 4/47. Berkata Syaikh Akrom Al-Umari, “Dengan sanad yang baik, terdapat perowi yang bernama Abdul Wahid bin Abi ‘Aun Al-Madani, soduuq yukhti’" (As-Shiroh As-Shohihah 2/395)<br />
<br />
[25] Ini adalah perkataan Sa’ad bin Mu’adz sbagaimana disebutkan oleh para ahli sejarah, lihat Siroh Ibni Hisyam 2/188, dan asal kisah ini adalah di shohih Muslim no 1779<br />
<br />
[26] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan isnad yang para perowinya tsiqoh sebagaimana di Al-Majma’. Lihat As-Siroh An-Nabawiyah fi dhoui masodiriha Al-Asliyah karya DR Mahdi Ahmad hal 387<br />
<br />
[27] Dan hal ini merupakan kekhususan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tubuh beliau penuh dengan baraokah, rambut beliau, ludah beliau, ingus beliau, serta keringat beliau sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits. Dan ini tidak boleh diqiaskan kepada selain beliau, karena tidak seorang sahabatpun yang mencari barokah dengan mengusap tubuh Abu Bakar, atau Umar, atau para sahabat yang lain, padahal Abu Bakar dan Umar telah dijamin masuk surga dan tidak diragukan lagi keimanan mereka, namun tak seorangpun yang mencari barokah dengan tubuh mereka. Hal ini menunjukan bahwa ini merupakan kekhususan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian anggota tariqat-tariqat sufi yang mencari barokah dengan mengusapkan tangan mereka ke tubuh, atau pakaian guru-guru mereka. Insya Allah akan ada pembahasan khusus akan hal ini.<br />
<br />
[28] HR Al-Bukhari no 2731,2732<br />
<br />
[29] HR Al-Bukhari no 2842<br />
<br />
[30] HR Muslim no 121<br />
<br />
[31] Sebagaimana dibawakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wa An-Nihayah 4/280 dan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 4/299,300<br />
<br />
[32] Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab 2/201 no 1531, dan Al-Khotib Al-Bagdadi dalam Al-Jami’ Li Akhlaqir Rowi wa Adabis Sami’ 1/95<br />
<br />
[33] HR Al-Bukhari no 4845<br />
<br />
[34] HR Al-Bukhari no 4846<br />
<br />
(Sumber: Ust.Firanda)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-49030796870386337612016-10-06T21:05:00.000-07:002016-10-06T21:05:35.469-07:00Tabi’in Terbaik “Uwais Al-Qoroni, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anUwais bin ‘Amir Al-Qoroni adalah tabiin terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1] dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ ((Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu… )). Berkata An-Nawawi, “Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya, maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir , hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdlolan di sisi Allah”[2]<br />
<br />
Berikut ini kami menyampaikan sebuah hadits yang berkaitan dengan kisah Uwais Al-Qoroni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalah shahihnya[3]. Namun agar kisahnya lebih jelas dan gamblang maka dalam riwayat Imam Muslim ini kami menyelipkan riwayat-riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadroknya, Abu Ya’la dan Ibnul Mubarok dalam kedua musnad mereka.<br />
<br />
Dari Usair bin Jabir berkata, “Umar bin Al-Khotthob, jika datang kepadanya amdad dari negeri Yaman maka Umar bertanya mereka, “Apakah ada diantara kalian Uwais bin ‘Amir ?”, hingga akhirnya ia bertemu dengan Uwais dan berkata kepadanya, “Apakah engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”, ia berkata, “Iya”. Umar berkata, “Apakah engkau berasal dari Murod[4], kemudian dari Qoron?”, ia berkata, “Benar”. Umar berkata, “Engkau dahulu terkena penyakit baros (albino) kemudian engkau sembuh kecuali seukuran dirham?” ia berkata, “Benar”. ((Pada riwayat Abu Ya’la[5]: Uwais berkata, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.” Umar berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami bahwasanya aka ada diantara tabi’in seorang pria yang disebut Uwais bin ‘Amir yang terkena penyakit putih (albino) lalu ia berdoa kepada Allah agar menghilangkan penyakit putih tersebut darinya, ia berkata (dalam doanya), “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”…”)) Umar berkata, “Engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia meohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), oleh karenanya mohonlah kepada Allah ampunan untukku!” ((Dalam suatu riwayat Al-Hakim[6] : “Engkau yang lebih berhak untuk memohon ampunan kepada Allah untukku karena engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”)), lalu Uwaispun memohon kepada Allah ampunan untuk Umar. Lalu Umar bertanya kepadanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Ke Kufah (Irak)”, Umar berkata, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.<br />
<br />
((Dalam riwayat Al-Hakim[7] : Kemudian Uwaispun mendatangi Kufah, kami berkumpul dalam halaqoh lalu kami mengingat Allah, dan Uwais ikut duduk bersama kami, jika ia mengingatkan para hadirin (yang duduk dalam halaqoh tentang akhirat) maka nasehatnya sangat mengena hati kami tidak sebagaimana nasehat orang lain. Suatu hari aku (yaitu Usair bin Jabir) tidak melihatnya maka aku bertanya kepada teman-teman duduk (halaqoh) kami, “Apakah yang sedang dikerjakan oleh orang yang (biasa) duduk dengan kita, mungkin saja ia sakit?”, salah seorang berkata, “Orang yang mana?”, aku berkata, “Orang itu adalah Uwais Al-Qoroni”, lalu aku ditunjukan dimana tepat tinggalnya, maka akupun mendatanginya dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, dimanakah engkau?, kenapa engkau meninggalkan kami?”, ia berkata, “Aku tidak memiliki rida’ (selendang untuk menutup tubuh bagian atas), itulah yang menyebabkan aku tidak menemui kalian.”, maka akupun melemparkan rida’ku kepadanya (untuk kuberikan kepadanya), namun ia melemparkan kembali rida’ tersebut kepadaku, lalu akupun mendiamkannya beberapa saat lalu ia berkata, “Jika aku mengambil rida’mu ini kemudian aku memakainya dan kaumku melihatku maka mereka akan berkata, “Lihatlah orang yang cari muka ini (riya’) tidaklah ia bersama orang ini hingga ia menipu orang tersebut atau ia mengambil rida’ orang itu”. Aku terus bersamanya hingga iapun mengambil rida’ku, lalu aku berkata kepadanya, “Keluarlah hingga aku mendengar apa yang akan mereka katakan!”. Maka iapun memakai rida’ pemberianku lalu kami keluar bersama. Lalu kami melewati kaumnya yang sedang bermasjlis (sedang berkumpul dan duduk-duduk) maka merekapun berkata, “Lihatlah kepada orang yang tukang cari muka ini, tidaklah ia bersama orang itu hingga ia menipu orang itu atau mengambil rida’ orang itu”. Akupun menemui mereka dan aku berkata, “Tidak malukah kalian, kenapa kalian menggangunya (menyakitinya)?, demi Allah aku telah menawarkannya untuk mengambil rida’ku namun ia menolaknya!”))<br />
<br />
Pada tahun depannya datang seseorang dari pemuka mereka[8] dan ia bertemu dengan Umar, lalu Umar bertanya kepadanya tentang kabar Uwais, orang itu berkata, “Aku meninggalkannya dalam keadaan miskin dan sedikit harta” ((Dalam riwayat Ibnul Mubarok[9] : orang itu berkata “Ia adalah orang yang jadi bahan ejekan di kalangan kami, ia dipanggil Uwais”)). Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), maka orang itupun mendatangi Uwais dan berkata kepadanya, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, orang itu berkata, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau bertemu dengan Umar?”, Orang itu menjawab, “Iya”. ((Dalam riwayat Al-Hakim[10] : Uwais berkata, “Aku tidak akan memohonkan ampunan kepada Allah untukmu hingga engkau melakukan untukku tiga perkara”, ia berkata, “Apa itu?”, Uwais berkata, “Janganlah kau ganggu aku lagi setelah ini, janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu” dan Usair (perowi) lupa yang ketiga)) Maka Uwaispun memohon ampunan bagi orang itu. Lalu orang-orangpun mengerti apa yang terjadi lalu iapun pergi[11]. Usair berkata, “Dan baju Uwais adalah burdah (kain yang bagus yang merupakan pemberian si Usair) setiap ada orang yang melihatnya ia berkata, “Darimanakah Uwais memperoleh burdah itu?”[12]<br />
<br />
Faedah-faedah dari hadits ini:<br />
<br />
1. Tidak berarti orang yang kedudukannya di sisi Allah mulia harus merupakan orang yang terhormat, dihargai manusia, perkataannya di dengar, ilmunya banyak, dan bebas dari tuduhan-tuduhan. Lihatlah Uwais Al-Qoroni…???<br />
<br />
Beliau adalah seorang penduduk negeri Yaman yang hampir tidak ada yang mengenalnya. Beliau adalah orang yang miskin, bahkan saking miskinnya beliau tidak bisa menemui para sahabatnya karena tidak memiliki kain untuk menutupi jasadnya bagian atas, bahkan merupakan bahan ejekan di kaumnya, bahkan ada yang menuduhnya tukang menipu untuk mengambil milik orang lain, kaumnya mengingkarinya jika ia memakai burdah (kain yang bagus) dan menuduhnya mendapatkannya dari jalan yang tidak benar karena saking terlalu miskinnya beliau, dan inilah penilaian manusia yang mengukur dengan penilaian materi.<br />
<br />
Renungkanlah perkataan Ibnul Qoyyim berikut ini:<br />
<br />
“...Betapa banyak orang yang teristidroj dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah-pen) padahal dia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan keadaannya dimana kebutuhannya selalu terpenuhi, dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini merupakan tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka....”<br />
<br />
Beliau melanjutkan,”.... semua kekuatan baik yang nampak maupun yang batin jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhoi Allah maka hal itu adalah karunia Allah, jika tidak demikian maka kekuatan tersebut adalah bencana. Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalan-Nya maka hal itu merupakan karunia Allah, jika tidak , maka hanyalah merupakan bencana. Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah bukan untuk mengharapkan ganjaran manusia dan terima kasih mereka maka dia adalah karunia Allah. Jika tidak demikian maka dia hanyalah bumerang baginya....dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya jika disertai dengan rasa tunduk, rendah, dan hina dihadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya dan usahanya menasehati manusia maka hal ini adalah karunia Allah, jika tidak demikian maka hanyalah bencana.....oleh karena itu hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugrah dan bumerang baginya karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.”[13]<br />
<br />
2. Keutamaan Ikhlas dan menyembunyikan amalan-amalan sholeh.<br />
<br />
Perkara-perkara yang menunjukan keikhlasan Uwais dan jauhnya beliau dari cinta kepada ketenaran.<br />
<br />
1. Tatkala Umar berkata kepadanya, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, makapun ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.<br />
<br />
2. Perkataan Uwais kepada Umar, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.”. Hal ini menunjukan bahwa beliau meskipun terkabulkan do’anya oleh Allah namun beliau tidak pernah menceritakan hal ini kepada orang lain, karena hal ini bisa menimbulkan kesan kepada orang yang mendengar bahwa beliau adalah orang yang mulia yang doanya didengar oleh Allah. Meskipun menceritakan kenikmatan yang Allah berikan kepada seseorang disyari’atkan akan tetapi sebagian orang tidak ikhlas tatkala menceritakan kenikmatan-kenikmatan yang Allah karuniakan kepadanya yaitu niatnya dalam rangka agar para pendengar menganggapnya adalah orang yang hebat, yang spesial sehingga diberi kenikmatan oleh Allah.<br />
<br />
3. Perkataan beliau kepada orang yang memintanya untuk berdoa baginya, “Janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu”<br />
<br />
4. Sikap beliau yang mengasingkan diri tatkala orang-orang mengetahuinya merupakan orang yang terkabulkan do’anya.<br />
<br />
5. Keadaan beliau yang menjadi bahan olok-olokan oleh kaumnya. An-Nawawi berkata, “Hal ini (yaitu keadaan Uwais yang menjadi bahan olokan kaumnya) menunjukan bahwasanya beliau menyembunyikan ibadahnya (hubungan antara ia dan Robnya), dan ia sama sekali tidak menampakkannya walau sedikitpun. Ini merupakan jalan orang-orang yang mengenal Robb mereka dan para wali Allah[14]<br />
<br />
<br />
Manusia begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apapun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan kehormatan dimata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapapun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya) tidak ada yang mengetahui kebaikannya- , tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlisin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah.<br />
<br />
Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar :<br />
<br />
اُكْتُمْ مِنْ حَسَنَاتِكَ, كَمَا تَكْتُمُ مِنْ سَيِّئَاتِكَ<br />
<br />
“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.”[15]<br />
<br />
Dalam riwayat yang lain[16] beliau berkata:<br />
<br />
أَخْفِ حَسَنَتَكَ كَمَا تُخْفِي سَيِّئَتَكَ, وَلاَ تَكُنَنَّ مُعْجَبًا بِعَمَلِكَ, فَلاَ تَدْرِي أَشَقِيٌّ أَنْتَ أَمْ سَعِيْدٌ<br />
<br />
“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).”<br />
<br />
Berkata Syaikh Abdulmalik, "Namun mengapa kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini?? Kenapa??, hal ini menunjukan bahwa keikhlasan belum sampai ke dalam hati kita sebagaimana yang dikehendaki Allah"[17]<br />
<br />
Oleh karena itu banyak para imam salaf yang benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.<br />
<br />
Berkata Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub (As-Sikhtyani), maka diapun membawaku ke jalan-jalan cabang (selain jalan umum yang sering dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa tahu jalan-jalan cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jalan kecil yang tidak dilewati orang banyak) karena takut manusia (mengenalnya dan) mengatakan : “Ini Ayyub”[18]<br />
<br />
Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”[19]<br />
<br />
Tatkala sampai berita kepada Imam Ahmad bahwasanya manusia mendoakannya dia berkata: “Aku berharap semoga hal ini bukanlah istidroj”[20]<br />
<br />
Imam Ahmad juga pernah berkata tatkala tahu bahwa manusia mendoakan beliau: “Aku mohon kepada Allah agar tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang riya’”[21]<br />
<br />
Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia”[22]<br />
<br />
Berkata Hammad: “Pernah Ayyub membawaku ke jalan yang lebih jauh, maka akupun perkata padanya: “Jalan yang ini yang lebih dekat”, maka Ayyub menjawab:”Saya menghindari majelis-majelis manusia (menghindari keramaian manusia-pen)”. Dan Ayyub jika memberi salam kepada manusia, mereka menjawab salamnya lebih dari kalau mereka menjawab salam selain Ayyub. Maka Ayyub berkata :”Ya Allah sesungguhnnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini !, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini!.”[23]<br />
<br />
Berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr: “Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama manusia untuk sholat istisqo (sholat untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat adanya awan. Maka beliau berkata :”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat yang lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata :”Dimana Yazid bin Al-Aswad?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini hendaknya dia berdiri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”, berkata Ad-Dlohhak :”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan bagi kami!”. Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara dua bahunya, dan menyingsingkan lengan banjunya lalu berdoa :” Ya Allah, sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”. Lalu tidaklah dia berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya. Kemudian dia berkata :”Ya Allah, sesungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini”, dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal.”[24]<br />
<br />
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana Yazid Al-Aswad merasa tidak tentram dengan ketenarannya bahkan dia meminta kepada Allah agar mencabut nyawanya agar terhindar dari ketenarannya. Ketenaran di mata Yazid adalah sebuah penyakit yang berbahaya, yang dia harus menghindarinya walaupun dengan meninggalkan dunia ini. Allahu Akbar..inilah akhlak salaf[25]. Namun banyak orang yang terbalik…mereka malah menjadikan ketenaran merupakan kenikmatan yang sungguh nikmat sehingga mereka berusaha untuk meraihnya dengan berbagai macam cara.<br />
<br />
Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali, beliau berkata :”Ali bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya pada malam hari untuk dia sedekahkan, dan dia berkata :<br />
<br />
إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ<br />
<br />
”Sesungguhnya sedekah dengan tersembunyi memadamkan kemarahan Allah”[26]<br />
<br />
Dan dari ‘Amr bin Tsabit berkata :”Tatkala Ali bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu mereka melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu mereka bertanya :”Apa ini”, lalu dijawab :”Beliau selalu memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir miskin yang ada di Madinah”<br />
<br />
Berkata Ibnu ‘Aisyah :”Ayahku berkata kepadaku :”Saya mendengar penduduk Madinah berkata :”Kami tidak pernah kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga meninggalnya Ali bin Husain””[27]<br />
<br />
Lihatlah bagaimana Ali bin Husain menyembunyikan amalannya hingga penduduk madinah tidak ada yang tahu, mereka baru tahu tatkala beliau meninggal karena sedekah yang biasanya mereka terima di malam hari berhenti, dan mereka juga menemukan tanda hitam di pundak beliau.<br />
<br />
Seseorang bertanya pada Tamim Ad-Dari :”Bagaimana sholat malam engkau”, maka marahlah Tamim, sangat marah, kemudian berkata :<br />
<br />
وَاللهِ لَرَكْعَةٌ أُصَلِّيهَا فِي جَوْفِ اللَّيْلِ فِي السِّرِّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُصَلِّي اللَّيْلَ كُلَّهَا ثُمَّ أَقُصُّهُ عَلَى النَّاسِ<br />
<br />
“Demi Allah, satu rakaat saja sholatku ditengah malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku solat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia”[28]<br />
<br />
Tidak seorangpun diantara kita yang meragukan akan kesungguhan para sahabat dalam beribadah. Namun walaupun demikian, mereka tidaklah ujub, atau memamerkan amalan mereka kapada manusia, jauh sekali dengan kita. Adapun sebagian kita (atau sebagian besar, atau seluruhhnya (kecuali yang dirahmati oleh Allah)?? …., Allahu Al-Musta’an, sudah amalannya sedikit, namun diceritakan kemana-mana (Bahkan kalau bisa orang sedunia mengetahuinya). Ada yang berkata :”Dakwah saya disana…, disini…”, ada juga yang berkata:”Yang menghadiri majelis saya jumlahnya sekian dan sekian..” (padahal kalau dihitung belum tentu sebanyak yang disebutkan, atau memang benar yang hadir majelisnya banyak tetapi tidak selalu. Terkadang yang hadir dalam sebagian majelisnya cuma sedikit, namun tidak dia ceritakan. Atau yang hadir banyak tapi pada ngantuk semua, juga tidak dia ceritakan. Pokoknya dia ingin gambarkan pada manusia bahwa dia adalah da’i favorit), ada yang berkata: “Saya sudah baca kitab ini, kitab itu.. hal ini sebagaimana termuat dalam kitab ini atau kitab itu…”(padahal belum tentu satu kitabpun dia baca dari awal hingga akhir, atau bahkan belum tentu dia baca sama sekali secara langsung kitab itu. Namun dia ingin gambarkan pada manusia bahwa mutola’ahnya banyak, agar mereka tahu bahwa dia adalah orang yang berilmu dan gemar membaca). Yang mendorong ini semua adalah karena keinginan mendapat penghargaan dan penghormatan dari manusia. Lihatlah….Tamim Ad-Dari tidak membuka pintu yang bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga dia tidak mau menjawab orang yang bertanya tentang ibadahnya. Namun sebaliknya, sebagian kaum muslimin sekarang justru menjadikan kesempatan pertanyaan seperti itu untuk bisa menceritakan seluruh ibadahnya, bahkan menanti-nanti untuk ditanya tentang ibadahnya, atau dakwahnya, atau….<br />
<br />
6. Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan akan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua”[29]<br />
<br />
Uwais di sisi Allah memiliki kedudukan yang tinggi dan hal yang menyebabkan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya tersebut. Sikapnya yang berbakti kepada ibunya menjadikannya seorang yang dikabulkan doanya. Nabi tidak menyebutkan amalan lain yang dilakukan oleh Uwais kecuali bahwasanya ia berbakti kepada ibunya. Hal ini menunjukan sikapnya yang berbakti kepada ibunya merupakan salah satu sebab utama yang menjadikannya menjadi tabi’in yang terbaik. Wallahu A’lam.<br />
<br />
7. Tidak berarti seorang yang berilmu pasti lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang kurang berilmu. Terkadang manusia tertipu, tatkala ia telah memiliki ilmu syar’i maka dia memandang bahwa dirinya lebih mulia di sisi Allah daripada orang lain yang tidak memiliki ilmu setinggi ilmunya. Dia lupa bahwasanya jalan-jalan untuk memperoleh kedudukan mulia di sisi Allah bukan hanya ilmu. Bisa jadi seseorang memang kurang memiliki ilmu akan tetapi ia meraih kedudukan yang tinggi di sisi Allah dengan amalan-amalan ibadah yang lain. Bisa jadi orang tersebut lebih baik daripada dia dalam ibadah-ibadah hati. Sebagaimana Uwais Al-Qoroni beliau bukanlah seorang tabi’in yang masyhur dengan ilmu sebagaimana Ibnul Musayyib, akan tetapi lihatlah… baktinya kepada ibunya serta keikhlasannya yang luar biasa dengan menyembunyikan amalan-amalan shalehnya serta benci akan popularitas menjadikan beliau adalah tabi’in yang paling afdhol di sisi Allah. Wallahu A’lam.<br />
<br />
Oleh karena itu seseorang yang telah berilmu atau bisa beribadah dengan baik janganlah sampai tertipu dan kagum terhadap dirinya lalu memandang bahwa dirinya lebih afdol dan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dari pada orang lain yang kurang berilmu. Ini merupakan salah satu bentuk zuhud yang diperintahkan oleh Nabi untuk diamalkan.<br />
<br />
Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata, “Dikatakan kepada Al-Hasan (Al-Bashri) atau yang lainnya, “Siapakah orang yang zuhud?”. Maka beliau berkata, هُوَ الَّذِي إِذَا رَأَى غَيْرَهُ ظَنَّ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنْهُ “Dia adalah orang yang melihat orang lain dan menyangka orang tersebut lebih baik daripada dirinya”. Ini merupakan makna yang agung yang dikembangkan oleh Al-Hasan dimana dia berkata, “Orang yang zuhud adalah yang menyatakan orang lain lebih mulia daripada dirinya”. Yaitu jika ia melihat seseorang dari kaum muslimin maka ia memandang orang tersebut lebih mulia daripada dirinya –yaitu di sisi Allah-. Dan hal ini berarti (hatinya) tidak terikat dengan dunia, ia memandang rendah dirinya di sisi Allah, ia tidak merasa tinggi dihadapan orang-orang. Hal ini hanya bisa timbul pada orang yang diberikan karunia oleh Allah lalu memenuhi hatinya dengan harapan terhadap akhirat serta jauh dari keterikatan dengan dunia…”[30]<br />
<br />
8. Hendaknya seseorang selalu berusaha mengingat-ngingat nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Lihatlah Uwais tatkala berdoa kepada Allah untuk menyembuhkan penyakitnya ia berkata, “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”. Betapa banyak orang yang hanya bisa merasakan kenikmatan yang Allah berikan kepadanya tatkala ia kehilangan kenikmatan tersebut. Terkadang kita lupa akan kenikmatan kesehatan yang Allah berikan kepada kita dan kita hanya bisa benar-benar merasakannya tatkala kita sakit. Tidaklah benar-benar merasakan besar nikmat mata dan telinga kecuali orang yang tadinya melihat dan mendengar kemudian menjadi buta dan tuli.<br />
<br />
Sebagian orang tatkala dalam keadaan miskin berdoa kepada Allah agar diberi rizqi dengan berjanji seandainya Allah melapangkan rizkinya maka ia akan banyak bersedekah. Namun tatkala Allah melampangkan rizkinya maka iapun lupa dengan nikmat Allah. Allah berfirman:<br />
<br />
(وَمِنْهُم مَّنْ عَاهَدَ اللّهَ لَئِنْ آتَانَا مِن فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ) (التوبة : 75 )<br />
<br />
Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah:"Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh". (QS. 9:75)<br />
<br />
(فَلَمَّا آتَاهُم مِّن فَضْلِهِ بَخِلُواْ بِهِ وَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعْرِضُونَ) (التوبة : 76 )<br />
<br />
Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (QS. 9:76)<br />
<br />
Sebagian orang berkata, “Saya ingin sibuk mengumpulkan uang dahulu, jika uang saya telah banyak maka saya akan tinggal dekat pondok pesantren atau akan rajin ikut pengajian”. Namun tatkala ia telah mengumpulkan banyak uang maka iapun tenggelam dengan dunia. Wallahul Must’aan.<br />
<br />
9. Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan mustahabnya meminta doa dan istigfar kepada orang yang sholeh meskipun yang meminta lebih tinggi kedudukannya disbanding dengan yang dimintai doanya”[31], karena Umar yang jelas lebih mulia kedudukannya di sisi Allah meminta doa kepada Uwais Al-Qoroni.<br />
<br />
Akan tetapi perkataan Imam An-Nawawi bahwa “disunnahkannya meminta do’a dan istighfar kepada orang yang sholeh” secara mutlak perlu diteliti kembali sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berikut ini.<br />
<br />
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Meminta doa kepada orang yang diharapkan doanya dikabulkan karena kesholehannya, atau karena ia akan pergi ke tempat-tempat yang berdoa di tempat-tempat tersebut mustajab seterti tatkala pergi bersafar atau pergi haji, umroh dan yang semisalnya, maka hukum asalnya adalah tidak mengapa. Akan tetapi jika dikhawatirkan akan timbul perkara-perkara yang dilarang seperti dikawatirkan orang yang meminta akan bersandar kepada do’a orang yang dimintanya, dan dia selalu bersandar kepada orang lain tatkala hendak meminta kepada Robnya, atau dikhawatirkan orang yang dimintai do’a akan terkena penyakit ujub (kagum) terhadap dirinya sehingga ia menyangka bahwa ia telah sampai pada derajat untuk dimintai do’a kemudian iapun tertimpa penyakit ghurur (tertipu/ujub dengan dirinya), maka yang seperti ini meminta do’a itu dilarang karena mencakup perkara-perkara yang dilarang.<br />
<br />
Adapun jika tidak mengandung perkara-perkara yang dilarang maka hukum asalnya adalah boleh. Namun meskipun demikian kita katakan bahwasanya tidaklah semestinya meminta do’a, karena hal ini bukanlah kebiasaan para sahabat yaitu saling meminta do’a diantara mereka. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau berkata kepada Umar, “Janganlah lupa wahai saudaraku untuk mendoakan kami dengan do’a yang sholeh”, maka hadits ini adalah hadits yang lemah dan tidak sah dari Nabi. Adapun permintaan sebagian sahabat kepada Nabi (untuk mendoakan mereka) maka telah diketahui bersama bahwasanya tidak seorangpun yang mencapai derajat Nabi, yaitu Tsabit bin Qois bin Asy-Syammasy telah meminta kepada Nabi, demikian juga Ukkasyah bin Mihshon telah meminta kepada Nabi agar berdoa kepada Allah agar Allah menjadikannya termasuk dari orang-orang yang masuk surga tanpa adzab dan tanpa hisab. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya, “Engkau termasuk mereka”. Demikian juga datang seseorang menemui Nabi untuk meminta Nabi berdoa kepada Allah untuk menurunkan hujan. Adapun wasiat Nabi kepada para sahabat untuk meminta kepada Uwais Al-Qoroni untuk berdoa bagi mereka maka hal ini jelas hanyalah khusus bagi Uwais Al-Qoroni, karena telah diketahui bersama bahwasanya Uwais tidak sama derajatnya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan tidak juga sahabat-sahabat yang lain, namun meskipun demikian Nabi sama sekali tidak mewasiatkan para sahabat untuk meminta do’a kepada salah seorangpun (dari mereka).<br />
<br />
Kesimpulannya kita katakan bahwasanya tidak mengapa meminta do’a kepada orang yang diharapkan do’anya terkabul dengan syarat hal itu tidak mengandung suatu perkara yang dilarang. Meskipun demikian meninggalkan hal ini (meminta do’a kepada orang lain) adalah lebih afdhol dan utama”[32]<br />
<br />
<br />
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Syaikh yang mulia, apakah meminta do’a kepada orang lain yang nampaknya merupakan orang yang sholeh menunjukan lemahnya tawakkal pada orang yang meminta?. Jika perkaranya demikian, maka bagaimanakah penjelasan Anda tentang Umar bin Al-Khotthob yang meminta do’a kepada Uwais Al-Qoroni padahal Umar lebih afdhol daripada Uwais?”<br />
<br />
Syaikh Utsaimin berkata, “Meminta kepada orang lain untuk mendoakannya kalau bukan hanya hal ini (mengandung perkara yang tercela) kecuali adanya permintaan kepada manusia…, padahal Rasulullah diantara perkara-perkara yang Rasulullah membai’at para sahabatnya adalah أَنْ لاَ يَسْأَلُوْا النَّاسَ شَيْئاً (hendaknya mereka tidak meminta kepada manusia apapun juga). Dan lafal شَيْئاً (apapun juga) dalam konteks kalimat negatif memberi faedah keumuman maka mencakup segala sesuatu. Ini adalah kaidah ilmu ushul fiqh. Bahkan sampai-sampai ada tongkat salah seorang dari mereka terjatuh dan dia sedang berada di atas hewan tunggangannya maka iapun turun dan mengambil tongkat itu sendiri serta tidak berkata kepada seorangpun, “Ambilkanlah tongkatku?”. Karena mereka telah membai’at kepada Nabi untuk tidak meminta sesuatu apapun juga kepada manusia. Kalau tidak terdapat celaan dalam meminta do’a kepada orang lain kecuali hal ini (termasuk meminta sesuatu kepada manusia) maka cukuplah (untuk menunjukan tidak terpujinya hal ini-pen). Akan tetapi terkadang muncul di hati seseorang perasaan merendahkan dirinya dan prasangka buruk maka iapun meminta orang lain (untuk mendo’akannya). Kita katakan, “Wahai saudaraku, berprasangka baiklah kepada Allah!, berprasangka baiklah kepada Allah!. Jika engkau memang bukan termasuk orang yang dikabulkan do’anya maka do’a orang lain (untukmu) tidak akan bermanfaat bagimu. Hendaknya engkau berprasangka baik kepada Allah dan janganlah engkau mengambil perantara antara engkau dengan Allah untuk berdo’a bagimu. Hendaknya engkau sendirilah yang berdo’a kepada Allah. Allah telah berfirman<br />
<br />
(ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً) (الأعراف : 55 )<br />
<br />
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. (QS. 7:55)<br />
<br />
Kemudian do’amu kepada Allah, do’amu itu sendiri merupakan ibadah, lantas mengapa engkau menyia-nyiakan kebaikan ini. Karena sebagian orang jika meminta orang yang nampaknya merupakan orang sholeh untuk mendo’akannya bisa jadi ia akan bersandar kepada do’a orang tersebut kemudian dia sendiri tidak berdo’a.<br />
<br />
Kemudian juga ada permasalahan yang ketiga yaitu bisa jadi orang yang dimintai do’a akan terkena penyakit ghurur (ujub/kagum) dengan dirinya sendiri, dia akan menyangka bahwasanya dia memang orang yang berhak untuk dimintai do’a.<br />
<br />
Akan tetapi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika engkau meminta saudaramu untuk mendo’akanmu dengan maksud agar memberi manfaat dan berbuat baik kepada saudaramu itu atau memberi manfaat kepadanya karena jika ia mendo’akanmu di dzohril ghoib (tidak dihadapanmu) maka malaikat akan mendo’akannya pula dan berkata, “Bagimu juga semisalnya”, maka hal ini tidaklah mengapa[33], ini merupakan niat yang baik. Adapun jika engkau hanya mengharapkan engkau saja yang mendapatkan manfaat maka hal ini termasuk bentuk permintaan (kepada manusia) yang dicela.<br />
<br />
Adapun yang engkau sebutkan tentang Umar yang meminta kepada Uwais untuk berdo’a baginya maka hal ini atas perintah Nabi dan hal ini juga merupakan hal khusus bagi Uwais. Oleh karena itu Nabi tidak meminta Umar untuk meminta do’a kepada Abu Bakar atau yang lainnya, padahal Abu Bakar lebih afdhol daripada Umar, lebih afdhol daripada Uwais, dan lebih afdhol dari sahabat-sahabat yang lainnya. Akan tetapi hal ini khsusus bagi Uwais dimana Nabi meminta kepada orang-orang yang bertemu dengan Uwais untuk berkata kepadanya, “Berdo’alah untukku”. Dan permasalahan-permasalahan yang khusus tidak bisa diumumkan melewati tempat khususnya.”[34]<br />
<br />
<br />
Syaikh Sholeh Alu Syaikh pernah ditanya, “Apakah jika seseorang meminta orang lain mendoakannya dengan niat karena orang yang dimintai doa adalah orang yang dikabulkan doanya berbeda dengan orang yang meminta untuk didoakan, apakah ini merupakan kesyirikan?”<br />
<br />
Beliau menjawab, ((Meminta doa dari makhluk pada asalnya hukumnya adalah boleh jika makhluk yang dimintai doa tersebut dalam keadaan hidup dan mampu untuk berdoa. Ada sebuah hadits dalam kitab sunan yang dijadijadikan pegangan oleh para ulama meskipun sanadnya lemah bahwasanya Nabi r berkata kepada Umar لاَ تَنْسَنَا يَا أَخِي مِنْ دُعَائِكَ ((Janganlah lupa mendoakan kami wahai saudaraku))[35]. Dan ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang Uwais Al-Qoroni ((Barangsiapa yang mampu didoakan oleh Uwais maka lakukanlah)), hal ini menunjukan bahwa meminta didoakan dari orang yang hidup hukumnya adalah boleh, dan para sahabat meminta doa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun di sana ada perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa meninggalkan meminta doa dari orang yang hidup adalah lebih utama kecuali jika dalam keadaan dimana orang yang meminta untuk didoakan berharap untuk mendapatkan manfaat dan juga agar yang diminta untuk berdoa juga mendapatkan manfaat. Ia berkata, “Jika orang yang meminta untuk didoakan mrngharapkan manfaat bagi yang berdoa dan bagi yang didoakan berbarengan maka hukumnya adalah boleh. Adapun jika yang meminta doa berharap kemanfaatan untuk dirinya sendiri maka meninggalkan meminta doa kepada orang lain adalah lebih utama”<br />
<br />
Adapun perkataan penanya “Si fulan termasuk orang yang terkabul doanya”, maksudnya adalah seringnya (dikabulkan doanya) bukan berarti bahwasanya setiap ia berdoa pasti dikabulkan, namun maksudnya di sini adalah orang yang sering doanya terkabul, artinya jika ia berdoa maka kebanyakan doanya dikabulkan. Namun hakekatnya sebagaimana yang telah aku jelaskan pada kalian bahwasanya para nabi mereka termasuk orang-orang yang terkabul doanya bahkan mereka lebih afdhol dari orang-orang yang dikabulkan doanya dari kaum mereka, merekapun (yaitu para nabi) sebagian doa mereka tertolak, maka pengabulan doa tergantung dengan sebab-sebab syar’i dan qodari dan Allah memiliki hikmah yang tinggi.<br />
<br />
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam kitabnya tahdzibul Atsar dan yang lainnya bahwasanya Hudzaifah tatkala sebagian orang memintanya untuk berdoa kepada mereka maka iapun berdoa, kemudian ia diminta pada kali lainnya lagi maka iapun menolak dengan menggerakkan kedua tangannya seraya berkata, “Apakah kami adalah para nabi?”. Ini merupakan pengingkaran dari orang yang lebih rendah dari para nabi. Ini adalah meminta doa kepada orang yang dibawah para nabi, dan ini jelas.<br />
<br />
Memiliki keyakinan terhadap seseorang bahwa ia terkabul doanya lalu dimintai doa “Wahai fulan doakanlah kami”, yang seperti ni bisa jadi merupakan sebab timbulnya keyakinan-keyakinan (yang syirik) pada dirinya setelah kematiannya. Jika ia diminta (untuk mendoakan) sekali atau dua kali (maka tidak mengapa), adapun selalu dimintai “Doakanlah kami wahai fulan”, maka ini bukanlah jalan para salaf)) (dari syarah kasyfus syubhat)<br />
<br />
<br />
(Sumber: Ust.Firanda Andirja)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-60747990282051706822016-10-06T21:04:00.001-07:002016-10-06T21:04:59.377-07:00AHLUS SUNNAH DAN AHLUL BAIT, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anAHLUS SUNNAH DAN AHLUL BAIT<br />
<br />
<br />
Oleh<br />
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin<br />
<br />
<br />
<br />
Banyak orang yang mengaku sebagai pecinta Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun seperti diungkapkan dalam sebuah bait syair :<br />
<br />
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً لِلَيْلَى وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا<br />
<br />
masing-masing mengaku punya hubungan cinta dengan Laila<br />
Sementara Laila tidak mengakui hubungan itu dengan mereka [1]<br />
<br />
Mestinya, setiap orang yang mengakui sesuatu harus membuktikan kebenaran pengakuannya, sehingga bukan sekedar bualan kosong belaka :<br />
<br />
وَالدَّعَاوِي إِنْ لَمْ تَكُنْ لَهَا بَيِّنَاتٌ فَأَصْحَابُهَا أَدْعِيَاء<br />
<br />
Pengakuan-pengakuan jika tak ada bukti<br />
Maka pengakunya hanya pembual belaka<br />
<br />
Begitulah halnya dengan pengakuan cinta terhadap Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan yang paling bersemangat menyuarakan kecintan kepada Ahlu Bait adalah firqah sesat Rafidhah. Bahkan suara pengakuan cinta mereka terkesan dipaksa-paksakan, karena sebenarnya mereka tidak cinta. Akan tetapi dalam rangka mengelabuhi umat Islam, maka mereka mengumandangkan cinta gombal mereka dengan cara-cara menggembar-gemborkannya, kalau perlu dengan membakukannya dalam bentuk perkumpulan atau organisasi pecinta Ahli Bait.<br />
<br />
Melalui hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wasiat beliau supaya menyintai Ahlu Bait, kaum Rafidhah memanfaatkannya untuk menjajakan agama mereka di tengah kaum Muslimin, sekaligus untuk memecah belah barisan kaum Muslimin.<br />
<br />
Di antara hadits-hadits itu ialah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim. Berisi wasiat yang beliau sampaikan di Ghadir Khum (sebuah mata air yang terletak di Khum, suatu tempat antara Mekkah dan Madinah - Lihat Syarh Nawawi).<br />
<br />
Dalam hadits itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan bahwa beliau meninggalkan dua perkara besar bagi umatnya. Yang pertama Kitab Allah, sedangkan yang kedua adalah sabda beliau berikut ini :<br />
<br />
وَأَهْلُ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي<br />
<br />
Dan Ahli baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku. [HR. Muslim Kitab Fadha’il ash-Shahabah, bab Min Fadha’il Ali Radhiyallahu 'anhu].<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang hadits di atas bahwa : “(yang dimaksud) bukan kekhususan bagi Ali Radhiyallahu 'anhu (dan keturunannya-pen), tetapi meliputi semua Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan orang yang paling jauh dari (pelaksanaan terhadap) wasiat ini adalah kaum Rafidhah. Karena sesungguhnya mereka (kaum Rafidhah) memusuhi al-Abbas beserta keturunannya, bahkan memusuhi mayoritas Ahli Bait dan membantu orang-orang kafir untuk membinasakannya” [Lihat Majmu’ Fatawa (IV/419].<br />
<br />
Zaid bin Arqam, seorang sahabat Nabi yang membawa riwayat hadits di atas, menerangkan bahwa Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meliputi Keluarga Ali bin Abu Thalib, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas. Isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk Ahli Bait beliau. Hanya saja isteri-isteri beliau tidak termasuk yang diharamkan menerima shadaqah (zakat), sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi. [2]<br />
<br />
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan bahwa isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm termasuk Ahli Bait beliau, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا<br />
<br />
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait. [Al-Ahzab : 33] [3]<br />
<br />
Imam Ibnu Katsir, berkaitan dengan surat al-Ahzab ayat 33 di atas, mengatakan: “Ini merupakan nash (ketetapan berdasarkan nash) bahwa isteri-isteri Nabi n termasuk Ahli Bait beliau, sebab mereka merupakan pangkal bagi sebab turunnya ayat tersebut” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]<br />
<br />
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa kaum Rafidhah sebenarnya membenci kebanyakan Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada bukti bahwa mereka menyintai Ahli Bait kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Itupun dilakukan secara berlebih-lebihan. Para Ahli Bait yang diperlakukan demikian sendiri tidak mengakui kecintaan mereka.<br />
<br />
SIAPAKAH KAUM RAFIDHAH?<br />
Secara garis besar Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah t menerangkan tentang siapa Rafidhah itu. Rafidhah ialah kaum yang membenci dan melaknat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma (dua orang Khulafa’ur Rasyidin yang pertama dan kedua-pen). Oleh sebab itu, ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang siapakah orang Rafidhah?. Beliau menjawab: Yaitu yang mencaci maki Abu Bakar dan Umar. Karena caci-makian inilah mereka disebut Rafidhah. Sesungguhnya mereka telah menolak (rafadha) Zaid bin Ali (salah seorang keluarga Ali bin Abi Thalib-pen) ketika beliau menyatakan pujian dan kecintaannya kepada dua orang khalifah Abu Bakar dan Umar. Sedangkan kaum Rafidhah membenci keduanya. Maka barangsiapa yang membenci Abu Bakar dan Umar berarti ia seorang Rafidhah.<br />
<br />
Ada lagi yang mengatakan bahwa kaum Rafidhah disebut rafidhah karena mereka menolak (rafadha) Abu Bakar dan Umar. [4]<br />
<br />
Asal usul Rafidhah berasal dari kaum munafiqin dan orang-orang zindik (orang yang secara lahir seperti cinta kepada Islam, namun batinnya penuh kebencian terhadap Islam). Kelompok ini merupakan hasil rekayasa Ibnu Saba’ sang zindik. Mula-mula ia menampakkan sikap berlebih-lebihan (cinta secara over acting) terhadap Ali. Caranya, dengan menganggap Ali berhak menjadi Imam berdasarkan nash. Kemudian menganggap bahwa Ali adalah ma’shum (terjaga dari kesalahan-pen).<br />
<br />
Oleh sebab itu, ketika asas Rafidhah adalah kemunafikan, maka sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa : “Menyintai Abu Bakar dan Umar merupakan keimanan, sedangkan membenci keduanya merupakan kemunafikan. Menyintai Bani Hasyim (di antaranya al-Abbas-pen) adalah keimanan, sedangkan membencinya berarti kemunafikan” [5]<br />
<br />
BAGAIMANA SIKAP AHLUS SUNNAH?<br />
Ternyata yang benar-benar menyintai dan memberikan pembelaan serta loyalitas kepada Ahlu Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah.<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagai salah seorang tokoh terkenal Ahlus Sunnah, mengatakan bahwa : “Ahlus Sunah menyintai dan memberikan pembelaan kepada Ahlu Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta memelihara wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang keharusan menyintai Ahlul Bait yang disampaikan di Ghadir Khum”, kemudian beliau memaparkan dalil-dalilnya. [6]<br />
<br />
Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya meriwayatkan hadits dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu 'anhu ketika di tanya oleh Hushain bin Sabrah (seorang Tabi’i). Zaid bin Arqam mengatakan :<br />
<br />
قَامَ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمًا فِيْنَا خَطِيْبًا، بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا، بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِيْنَة فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ :"أَمَّا بَعْدُ : أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ ! فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوْشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُوْلُ رَبِّي فَأُجِيْبَ، وَأَناَ تَاِركٌ فِيْكُمْ ثَقَلَيْنِ : أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيْهِ الْهُدَى وَالنُّوْرُ فَخُذُوْا بِكِتَابِ اللهِ وَاسْتَمْسِكُوْا بِهِ". فَحَثَّ عَلَي كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيْهِ، ثُمَّ قَالَ : "وَأَهْلُ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي". فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ : وَمَنْ أهْلُ بَيْتِهِ ؟ يَا زَيْدُ ! أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟ قَالَ : نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَلَكِنْ أَهْلُ يَبْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ. قَالَ : وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ : هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيْلٍ وَآلُ جَعْفَر وَآلُ عَبَّاسٍ. قاَلَ : كُلُّ هَؤُلاَءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ؟ قَالَ : نَعَمْ<br />
<br />
Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhotbah di hadapan kami, di samping sebuah mata air di suatu tempat yang disebut Khum, (terletak) di antara Mekah dan Madinah. Maka beliau membaca hamdalah dan memuji Allah. Beliau memberikan nasihat dan memberikan peringatan. Kemudian beliau bersabda : “Amma ba’du : Ketahuilah wahai manusia! Saya hanyalah seorang manusia, siapa tahu utusan Rabbku segera datang memanggilku lalu akupun menyambutnya. Saya tinggalkan kepada kalian dua hal besar : Yang pertama : Kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah Kitab Allah itu dan pegangilah ia dengan kuat”. Maka beliau menekankan untuk berpegang pada Kitabullah dan mendorong untuk bersemangat berpegang padanya. Kemudian beliau berkata lagi : “Dan Ahli Baitku, saya ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, saya ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, saya ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku”. Kdemudian Hushain (bin Sabrah) berkata kepada Zaid (bin Arqam) : “Siapakah Ahli Baitnya?, Wahai Zaid, bukankah isteri-isteri beliau termasuk Ahli Baitnya?” Zaid menjawab : “Isteri-isteri beliau memang termasuk Ahli Baitnya, namun Ahli baitnya (yang dimaksudkan-pen) ialah orang yang diharamkan shadaqah (zakat) bagi mereka sepeninggal Nabi”. Hushain bertanya : Siapakah mereka?. Zaid menjawab : Mereka ialah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas. Hushain bertanya : Mereka semua diharamkan menerima shadaqah?. Zaid menjawab : Ya. [Shahih Muslim, Syarh Nawawi. Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha XV/174-175]<br />
<br />
Dalam lafal yang lain, Zaid bin Arqam ditanya : “Siapakah Ahli Baitnya? Apakah isteri-isteri beliau?” Zaid menjawab : Bukan. Demi Allah, seorang wanita bisa bersama-sama dengan (menjadi isteri bagi) seorang laki-laki hanya dalam sepotong waktu, kemudian si suami menceraikannya hingga wanita itu kembali kepada orang tua dan keluarganya. Ahli Bait (yang dimaksud di sini-pen) ialah asal-usulnya dan hubungan darahnya yang diharamkan bagi mereka shadaqah” [Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha XV/176]<br />
<br />
Imam Nawawi menggabungkan dua riwayat di atas, bahwa isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk Ahli baitnya, hanya mereka tetap tidak diharamkan menerima shadaqah. [Syarh Nawawi XV/175)]<br />
<br />
Itulah wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar umatnya memperhatikan dan menyintai serta membela Ahli bait beliau.<br />
<br />
Dalam suatu kasus, Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, salah seorang isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sekaligus sebagai salah seorang tokoh Salafus Shalih dari kalangan wanita, pernah mengecam penduduk Irak yang terlibat pembunuhan terhadap Husain bin Ali Radhiyallahu 'anhuma.<br />
<br />
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari Syahr bin Hausyab yang mengatakan :<br />
“Saya mendengar Ummu Salamah, salah seorang isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika datang kabar kematian Husain bin Ali Radhiyallahu 'anhuma, melaknat penduduk Irak. Ummu Salamah berkata : “Mereka telah membunuh Husain bin Ali, semoga Allah membinasakan mereka. Mereka telah membuat tipu muslihat terhadap Husain dan mereka telah menghinanya, semoga Allah melaknat mereka. Sesungguhnya saya pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di datangi oleh Fatimah pagi-pagi. Ia membawa periuk (terbuat dari tanah) yang berisi bubur yang ia buat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Periuk itu ia bawa dengan dilambari talam. Kemudian ia letakkannya di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Nabi bertanya kepadanya : “Di mana anak pamanmu (maksudnya Ali-pen)?”. Fatimah menjawb : Ia di rumah. Nabi bersabda : “Pergilah dan panggillah Ali, dan bawa serta kedua anaknya (yaitu Hasan dan Husain-pen)”. Ummu Salamah berkata : Setelah itu datanglah Fatimah kembali dengan menuntun kedua puteranya, masing-masing berada pada satu tangan. Sedangkan Ali berjalan dibelakangnya. Sampai akhirnya mereka masuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau mendudukkan kedua anak Ali di pangkuan beliau. Sementara Ali duduk di sebelah kanan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Fatimah duduk di sebelah kirinya. Ummu Salamah melanjutkan ceritanya : Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik selimut yang berasal dari Khaibar yang ada di bawahku. Selimut itu biasa sebagai hamparan kami di tempat tidur di Madinah. Selanjutnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelimutkan selimut itu kepada semuanya (Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain-pen). Kedua ujung selimut itu dipegangi dengan tangan kiri beliau, sedangkan tangan kanannya, beliau isyaratkan kepada Allah Azza wa Jalla seraya berdoa :<br />
<br />
اَللَّهُمَّ أَهْلِي أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا، اَللَّهُمَّ أَهْلِي أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا، اَللَّهُمَّ أَهْلِي أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا<br />
<br />
Ya Allah, (Mereka adalah) Ahli Bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka, Ya Allah, (Mereka adalah) Ahli Bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka, Ya Allah, (Mereka adalah) Ahli Bait (keluarga)ku, lenyapkanlah kotoran dosa dari mereka.<br />
Aku (Ummu Salamah) berkata : Wahai Rasulullah, bukankah aku termasuk Ahli Bait (keluarga)mu? Beliau menjawab : Tentu, masuklah ke dalam selimut. [7]<br />
<br />
Kisah di atas menjelaskan bagaimana pembelaan, loyalitas serta pemeliharaan Salafus Shalih kepada Ahlu Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Syaikh Shalih al-Fauzan, salah seorang tokoh Ahlu Sunnah zaman sekarang, menjelaskan bahwa : Ahlu Sunnah menyintai, menghormati dan memuliakan Ahlul Bait. Sebab yang demikian itu termasuk menghormati dan memuliakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan demikian.<br />
<br />
Dengan catatan, bila Ahlul Bait tersebut mengikuti Sunnah Nabi dan istiqamah berpijak pada ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu Ahlul Bait seperti al-Abbas beserta anak-anaknya, dan Ali bin Abu Thalib beserta anak-anaknya. Adapun kepada orang yang menyimpang dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak istiqamah berpijak pada ajaran Islam, maka menyintainya tidak boleh sekalipun ia termasuk Ahlul Bait.[8]<br />
<br />
Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan : Kita tidak boleh mengingkari orang-orang yang mewasiatkan agar berbuat baik dan berbuat ihsan kepada Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga agar menghormati dan memuliakan Ahlul Bait. Sebab mereka adalah termasuk anak-anak keturunan keluarga suci, berasal dari sebuah keluarga paling mulia yang pernah ditemukan dipermukaan bumi, khususnya bila mereka mengikuti Sunnah Nabi yang Shahih, seperti ditauladankan oleh para pendahulunya yaitu al-Abbas beserta anak-anaknya dan Ali beserta keluarganya Radhiyallahu 'anhum. [9]<br />
<br />
Yang jelas, tidak pernah ada bukti bahwa Ahlu Sunnah wal Jama’ah pernah mengotori lidahnya dengan cacian dan makian terhadap Ahli Bait Rasulullah n . Juga tidak pernah ada bukti bahwa mereka mengotori tindakan mereka dengan perbuatan lancang atau perbuatan jahat terhadap Ahli Bait beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab prinsip Ahlu Sunnah adalah menyintai, membela, menghormati dan memuliakan Ahlul Bait, selama mereka (Ahli Bait) bukan orang-orang kafir atau ahli bid’ah, sebagaimana yang dikemukakan oleh para Ulama Ahlu Sunnah.<br />
<br />
Jadi, Ahlu Sunnah menyintai, menghormati dan memuliakan Ahlul Bait karena dua hal : Pertama, karena keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua, karena hubungan kekerabatannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (juga seorang tokoh Ulama Ahlu Sunnah zaman sekarang yang telah meninggal dunia) rahimahullah, ketika menjelaskan perkatan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Aqidah al-Wasithiyah tentang sikap Ahlu Sunnah terhadap Ahlul Bait, mengatakan :<br />
“Di antara prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah ialah bahwa mereka menyintai Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ahlu Sunnah menyintai Ahlil Bait karena dua hal :<br />
1. Karena Keimanan Ahlul Bait,<br />
2. karena kekerabatannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Tetapi Ahlu Sunnah tidak berkata seperti perkataan firqah Rafidhah, yaitu bahwa setiap yang menyintai Abu Bakar dan Umar berarti membenci Ali. Jadi menurut Rafidhah, tidak mungkin menyintai Ali sebelum membenci Abu Bakar dan Umar. Seolah-olah Abu Bakar dan Umar bermusuhan dengan Ali. Padahal riwayat telah mutawatir bahwa Ali bin Abi Thalib memuji-muji Abu Bakar dan Umar melalui mimbar.<br />
<br />
Maka kita tegaskan, bahwa kita bersaksi dihadapan Allah, sesungguhnya kita menyintai Ahli Bait dan keluarga dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita mencintai mereka dalam rangka cinta kepada Allah dan kepada Rasul-Nya” [10]<br />
<br />
Seterusnya, dalam kitab yang sama, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan :<br />
“Jadi kita menyintai Ahlul bait karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan karena keimanan mereka kepada Allah. Maka apabila mereka kafir kepada Allah, jelas kita tidak menyintai mereka, sekalipun mereka termasuk keluarga dekat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Misalnya adalah Abu Lahab, ia adalah paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi kita tidak boleh menyintainya, betapapun keadaannya. Bahkan kita wajib membenci Abu Lahab karena kekafirannya dan karena permusuhan serta gangguannya terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm.<br />
<br />
Begitu pula, kitapun wajib membenci Abu Thalib, karena kekafirannya. Tetapi kita menyukai tindakan-tindakan yang dilakukannya berupa perlindungan dan pembelaan terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“[11]<br />
<br />
Dengan demikian, aqidah Ahlu Sunnah wal jama’ah berkaitan dengan Ahli Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm, ialah menyintai Ahlul Bait dan memberikan loyalitas kepada mereka serta memelihara wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkenaan dengan mereka. Namun tidak menempatkan Ahlul Bait melebihi kedudukan yang semestinya. Bahkan Ahlu Sunnah berlepas diri dari firqah-firqah yang bersikap berlebihan terhadap Ahlul Bait hingga mendudukannya sebagai seperti sesembahan, seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba’ terhadap Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu. [12]<br />
<br />
KESIMPULAN<br />
Secara umum, sikap Ahlu Sunnah adalah tengah-tengah antara cara-cara Rafidhah dan cara-cara kaum Nawashib. Sekaligus berlepas diri dari mereka semua. Cara-cara Rafidhah adalah ekstrim dalam menyintai Ali dan Ahlul Bait. Rafidhah adalah salah satu firqah ahli bid’ah yang paling sesat dan paling benci kepada para sahabat yang bukan Ahlul Bait. Sedangkan Nawashib ialah firqah ahli bid’ah yang bertolak belakang dengan Rafidhah. Mereka membangun permusuhan, mencela dan mencaci maki Ahlul Bait.[13]<br />
<br />
Ahlu Sunnah menyintai Ahlul Bait karena keimanan serta kekerabatannya dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Ahlul Bait yang harus dicintai adalah termasuk seluruh isteri beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga seluruh sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Demikianlah, nas’alullah at-Taufiq was Sadad, wanas’alullah an Yaj’alana min Mutbi’in lis Sunnah.<br />
<br />
(Sumber: Al-Manhaj)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-11119031298907138902016-10-06T21:04:00.000-07:002016-10-06T21:04:22.570-07:00MENGENAL AHLUL BAIT NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anMENGENAL AHLUL BAIT NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM<br />
<br />
Oleh<br />
Ahmad Hamidin As-Sidawy<br />
<br />
<br />
Di antara bukti keimanan seseorang muslim adalah mencintai ahlul bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena mencintai ahlul bait merupakan pilar kesempurnaan iman seorang muslim. Pernyataan cinta kepada ahlul bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sekarang tidak hanya datang dari kalangan ahlus Sunnah semata, akan tetapi juga didengungkan oleh beberapa kelompok Ahlul bid’ah seperti Syiah dan yang sealiran dengan mereka, mereka lakukan hal itu dalam rangka mengelabui dan menipu umat Islam sehingga mereka bingung dan tidak mengenal kebejatan dan kebencian mereka terhadap Ahulul bait, khususnya Syiah yang tidak kalah hebatnya dalam mempropagandakan pernyataan cinta mereka kepada ahlul bait sehingga seakan-akan merekalah satu-satunya kelompok yang paling mencintai Ahlul bait.<br />
<br />
Untuk menjawab kebingungan umat ini, maka perlu adanya pembahasan tuntas tentang perbedaan Ahlus sunnah dan Ahlul bidah di dalam menempatkan kedudukan Ahlul bait, serta siapakah yang sebenarnya yang benar-benar mencintai Ahlul bait dan siapakah yang justru membenci mereka ?<br />
<br />
SIAPAKAH AHLUL BAIT ITU ?<br />
Sebelum kita membahas tentang Ahlul bait secara detail dan yang memusuhi meraka, sepantasnyalah kita mengenal terlebih dahulu siapakah sebenarnya Ahlul bait itu ?<br />
<br />
Secara bahasa, kata الأَهْل berasal dari أَهْلاً وَ أُهُوْلاً أَهِلَ - يَأهَلُ = seperti أَهْلُ المْكَاَن berarti menghuni di suatu tempat [1] . أَهْلُ jamaknya adalah أَهْلُوْنَ وَ أَهْلاَتُ وَ أَهَاِلي misal أَهْلُ الإِسْلاَم artinya pemeluk islam, أَهْلُ مَكَّة artinya penduduk Mekah. أَهْلُ الْبَيْت berarti penghuni rumah [2]. Dan أَهْلُ بَيْتِ النَّبي artinya keluarga Nabi yaitu para isrti, anak perempuan Nabi serta kerabatnya yaitu Ali dan istrinya.[3]<br />
<br />
Sedangkan menurut istilah, para ulama Ahlus Sunnah telah sepakat tentang Ahlul Bait bahwa mereka adalah keluarga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diharamkan memakan shadaqah [4]. Mereka terdiri dari : keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil, keluarga Abbas [5], keluarga bani Harist bin Abdul Muthalib, serta para istri beliau dan anak anak mereka.[6]<br />
<br />
Memang ada perselisihan, apakah para istri Nabi termasuk Ahlul Bait atau bukan ? Dan yang jelas bahwa arti Ahlu menurut bahasa (etimologi) tidak mengeluarkan para istri nabi untuk masuk ke Ahlul Bait, demikian juga penggunaan kata Ahlu di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak mengeluarkan mereka dari lingkup istilah tersebut, yaitu Ahlul Bait.<br />
<br />
Allah berfirman :<br />
<br />
وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا<br />
<br />
Dan taatlah kalian kepada Allah dan rasulNya,sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan rijs dari kalian wahai ahlul bait dan memberbersihkan kalian sebersih-bersihnya. [Al-ahzab : 33]<br />
<br />
Ayat ini menunjukan para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk Ahlul Bait. Jika tidak, maka tak ada faidahnya mereka disebutkan dalam ucapan itu (ayat ini) dan karena semua istri Nabi adalah termasuk Ahlul Bait sesuai dengan nash Al Quran maka mereka mempunyai hak yang sama dengan hak-hak Ahlul Bait yang lain. [7]<br />
<br />
Berkata Ibnu Katsir: “Orang yang memahami Al Quran tidak ragu lagi bahwa para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam Ahlul Bait [8]” dan ini merupakan pendapat Imam Al-Qurtuby, Ibnu Hajar, Ibnu Qayim dan yang lainnya. [9]<br />
<br />
Ibnu Taimiyah berkata: “Yang benar (dalam masalah ini) bahwa para istri Nabi adalah termasuk Alul Bait. Karena telah ada dalam hadits yang diriwayatkan di shahihaini yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari lafadz bershalawat kepadanya dengan:<br />
<br />
الَلَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ أَزْوَاجِهِ وَ ذُرِّيَتِهِ (صحيح البخارى)<br />
<br />
Ya Allah berilah keselamatan atas muhammad dan istri-istrinya serta anak keturunannya. [Diriwayatkan Imam Bukhari]<br />
<br />
Demikian juga istri Nabi Ibrahim adalah termasuk keluarganya (Ahlu Baitnya) dan istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Luth juga termasuk keluarganya sebagaimana yang telah di tunjukkan oleh Al Quran. Maka bagaimana istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [2] bukan termasuk keluarga beliau ? !<br />
<br />
Ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa keluarga Nabi adalah para pengikutnya dan orang-orang yang bertaqwa dari umatnya, akan tetapi pendapat ini adalah pendapat yang lemah dan telah di bantah oleh Imam Ibnu Qoyyim dengan pernyataan beliau bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah mereka yang di haramkan shadaqah.<br />
<br />
PERBEDAAN AHLUL BAIT DALAM ISTILAH SYAR’I DENGAN VERSI SYIAH ?<br />
etelah kita mengetahui siapa sebenarnya Ahlul Bait itu, perlu kita pahami bahwa istilah Ahlu Bait merupakan istilah syar’i yang dipakai dalam Al Quran maupun As Sunnah dan bukan merupakan istilah bid’ah. Allah berfirman tentang para istri Nabi :<br />
<br />
وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا<br />
<br />
Dan taaitlah kalian kepada Allah dan RasulNya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan memberbersihkan kamu sebersih-bersihnya. [Al-Ahzab : 33]<br />
<br />
Berkata syaikh Abdurrahman As Sa’di : Makna rijs adalah (Ahlul bait di jauhkan) segala macam gangguan, kejelekan dan perbutan keji.[13]<br />
<br />
Allah berfirman memerintah para istri Nabi :<br />
<br />
وَاذْكُرْنَ مَايُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ وَالْحِكْمَةِ<br />
<br />
Dan ingatlah apa yang di bacakan di rumahmu dari ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu). [Al Ahzab : 34]<br />
<br />
Ibnu Katsir berkata: “yaitu kerjakanlah dengan apa yang di turunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Rasulnya berupa Al Quran dan As sunnah di rumah-rumah kalian.<br />
<br />
Berkata Qotadah dan yang lainnya “dan ingatlah dengan nikmat yang di khususkan kepada kalian dari sekalian manusia yaitu berupa wahyu yang turun ke rumah-rumah kalian tanpa yang lain. [14]<br />
<br />
Dalam sebuah hadis juga di jelaskan :<br />
<br />
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قاَلَ قاَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلىالله عليه و سلم يَوْمًا خَطِيْبًا (فَقَالَ): أَذْكُرُكُمُ اللهَ فيِ أَهْلِ بَيْتيِ –ثلاثا- فَقَالَ حُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَْيدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ: إِنَّ نِسَاءَهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حَرُمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قاَلَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آَلُ عَلِيْ و آَلُ عُقَيْلٍ وَ آلُ الْعَبَاسِ قَالَ أَكُلُّ هَؤُلاَءِ حَرُمَ الصَّدَقَة ؟ قَالَ: نَعَمْ (صحيح مسلم 7/122-123)<br />
<br />
Dari Zaid bin Arqom bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam suatu hari berkhutbah: Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul Baitku (sampai tiga kali) maka Husain bin Sibroh (perawi hadits) bertanya kepada Zaid “Siapakah Ahlul Bait beliau wahai Zaid bukankah istri-istri beliau termasuk ahlil baitnya? Zaid menjawab para istri Nabi memang termasuk Ahlul Bait akan tetapi yang di maksud di sini, orang yang di haramkan sedekah setelah wafatnya beliau. Lalu Husain berkata: siapakah mereka beliau menjawab:“Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas ? Husain bertanya kembali Apakah mereka semuanya di haramkan zakat ? Zaid menjawab Ya… [Shahih muslim 7/122-123]<br />
<br />
Dari sini jelas penggunaan istilah Ahlul Bait adalah istilah syari dan bermakna istri dan kerabat dekat beliau dari keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas yang merupakan keluarga bani Hasyim<br />
<br />
Sedangkan Ahlul Bait menurut orang Syiah hanyalah sahabat Ali, kemudian anaknya, Hasan bin Ali dan putrinya yaitu Fatimah, mereka dengan terang-terangan mengatakan bahwa semua pemimpin kaum muslimin selain Ali dan Hasan adalah thogut walaupun mereka menyeruh kepada kebenaran. Orang Syiah menganggap bahwa Khulafaur rasyidin adalah para perampas kekuasaan Ahlul Bait sehingga mereka mengkafirkan semua Khalifah, bahkan semua pemimpin kaum muslimin [15]. Tidak di ragukan lagi, bahwa mereka telah menyimpang dari Aqidah yang lurus, yaitu Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.<br />
Maka kita katakan bahwa membatasi Ahlul bait itu hanya terbatas pada Ali, Hasan bin Ali serta Fatimah, yang keduanya adalah anak Sahabat Ali adalah merupakan batasan yang tidak ada sandaran yang benar baik dari Al-Quran maupun As sunnah. Sesungguhnya pembatasan ini adalah merupakan perkara bid’ah yang tidak di kenal oleh ulama salaf sebelumnya.<br />
<br />
Anggapan ini sebenarnya hanyalah muncul dari hawa nafsu orang-orang Syiah karena dendam kesumat serta kedengkian mereka terhadap Islam dan Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga orang- orang Syiah sejak zaman sahabat tidak menginginkan kejayaan Islam dam kaum muslimin, dan di kenal sebagai firqoh yang ingin merongrong Islam dan ingin menghancurkannya dengan segala cara dan salah satu cara mereka adalah berlindung dibalik slogan cinta ahli bait Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam walaupun secara hakikat sebenarnya merekalah yang membenci dan memusuhi mereka.<br />
<br />
SYUBHAT DAN BANTAHANNYA<br />
Syiah Rafidlah menyatakan bahwa bahwa Ali dan keturunannya dari Ahlul Bait adalah orang-orang yang makshum dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنىِّ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتمُ ْبِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَ عِتْرَتيِ أَهْلَ بَيْتيِْ (رواه الترمذى 2/208 والطبراني رقم 2680 والحديث صحيح لشواهده أنظر الصحيحة 4/255 , 1761 وأنظر صحيح الجامع رقم 2748 )<br />
<br />
Wahai para manusia! Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian suatu perkara, kalau kalian mengambilnya maka kalian tidak akan tersesat, (yaitu) kitabullah dan itrohku, ahli baitku. [Diriwayatkan Imam Tirmidzi 2/308 dan Thabroni 2680 dan hadis ini shahih dengan Syawahidnya. Lihat As Shahihah 4/355,1761].<br />
<br />
Dalam hadis ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggandengkan penyebutan Kitabullah dan Ahlul Bait dengan menggunakan واو عطف sedangkan dalam kaidah ushul fiqh di katakan bahwa fungsi wawu ‘athfi adalah:<br />
<br />
اشْتِرَاكُ المْتَعَاطِفَينِ ِفيْ اْلحُكْمِ وَلاَ تُنَافِيْهِ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ<br />
<br />
Berserikatnya dua hal yang di gandengkan dalam satu hukum, tidak dapat di tiadakan kecuali dengan dalil.<br />
<br />
Hal ini berarti Ahlul Bait sama dengan Kitabullah dalam hal sebagai sumber yang terpelihara. Dan itu menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang ma’shum.<br />
<br />
Maka kita jawab syubhat ini dengan ucapan Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albany. Beliau menjelaskan : “Bahwa yang di maksud Ahlul Bait di sini adalah para ulama, orang-orang shalih serta orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Kitab dan As Sunnah dari kalangan mereka (Ahlul Bait). Al-imam Abu Ja’far At Thahawy berkata: “Al-Itroh adalah Ahlul Bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu orang yang beragama dan komitmen dalam berpegang teguh dengan perintah Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam.<br />
<br />
Syaikh Ali Al Qary juga mengucapkan perkataan senada dengan beliau: “Sesungguhnya Ahlul Bait itu pada umumnya adalah orang yang paling mengerti tentang shahibul bait [16] dan yang paling tahu hal ihwalnya. Maka di maksud dengan Ahlul bait di sini adalah Ahlul Ilmi (ulama) di kalangan mereka yang mengerti tentang seluk beluk hidupnya dan orang-orang yang menempuh jalan hidupnya serta orang-orang yang mengetahui hukum dan hikmahnya. Dengan inilah, maka penyebutan Ahlu bait dapat di gandengkan dengan kitabullah, sebagaimana firmannya:<br />
<br />
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ )<br />
…<br />
Dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. [Al-Jum’ah : 2]<br />
.<br />
Syaikh Al Albany mengatakan : “Dan yang semisalnya adalah firman Allah :<br />
<br />
وَاذْكُرْنَ مَايُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ وَالْحِكْمَةِ<br />
<br />
Dan ingatlah apa yang di bacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu)…… “ [Al-Ahzab : 34]<br />
<br />
Maka jelaslah bahwa yang dimaksud Ahlul Bait adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kalangan mereka (Ahlul Bait). Mereka itulah yang dimaksud dengan Ahlul Bait dalam hadis itrah ini. Dan oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikanya salah satu dari tsaqalain (dua hal yang berat) dalam hadis Zaid Bin Arqam (yang telah lalu disebutkan) dan di gandengkan dengan kitabullah.<br />
<br />
Yang penting, penyebutan Ahlul Bait bergandengan dengan Kitabullah dalam hadits ini sama seperti penyebutan sunnah Khulafaurrasyidin beriringan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm dalam sabdanya : "Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin setelahku".<br />
<br />
Syaikh Ali Al-Qary berkata tentang hadist ini : “Hal tersebut karena mereka tidak beramal kecuali dengan sunahku (Rasul), maka penyebutan sunah ini dinisbatkan kepada mereka baik karena mereka mengamalkan sunnah Rasul atau karena istimbath mereka terhadap sunnah itu" [17]<br />
<br />
Dari penjelasan Saikh Al Albany kita dapat mengambil dua kesimpulan yang mendasar yaitu:<br />
<br />
1. Bahwa yang di maksud dengan Ahlul bait di sini adalah mereka yang mengerti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi was allam dan perjalanan hidup beliau dan orang-orang yang komitmen di dalam berpegang teguh dengan sunnahnya.<br />
<br />
2. Setelah jelas bagi kita siapa yang di maksud dengan Ahlul di sini, maka penyaebutan merela bergandengan dengan penyebutan kitabullah itu kedudukannya seperti penyebutan sunnah khulafaurrosyidin beriringan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm, sedangkan kita mengetahui bahwa bahwa penyebutan sunnah mereka dengan sunnah Rasul adalah karena mereka tidak pernah beramal kecali dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam sehingga penisbatan suannah kepda mereka tidak berarti individu-individu mereka itu ma’shumm.<br />
<br />
KESIMPULAN<br />
Di sebutkan oleh Ats-tsa’labi dan qodzi Iyadz bahwa mereka adalah bany Hasyim secara keseluruhan. Dan yang termasuk dalam kata gori Ahlul bait adalah sebagai berikut:<br />
<br />
1. Keluarga Ali yaitu mencakup sahabat Ali sendiri, Fathimah (putrinya) Hasan dan Husain beserta Anak turunnya.<br />
2. Keluarga Aqil Yaitu mencakup Aqil sendiri dan Anaknya yaitu muslim bin Aqil beserta Anak cucunya.<br />
3. Keluarga Ja’far bin Abu Tholib yaitu mencakup Ja’far sendiri berikut anak-anaknya yaitu Abdullah, Aus dan Muhammad.<br />
4. Keluarga Abbas bin Abdul Muttolib yaitu mencakup Abbas sendiri dan sepuluh putranya yaitu Abdullah, Abdurrahman, Qutsam, Al-harits, ma’bad, katsir, Aus, Tamam, dan puteri-puteri beliau juga termasuk di dalamnya.<br />
5. Keluarga Hamzah bin Abdul Muttalib yaitu mencakup Hamzah sendiri dan tiga orang anaknya yaitu Ya’la, ‘Imaroh, dan Umamah<br />
6. Para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tanpa kecuali.<br />
<br />
Inilah pembahasan sekilas tentang Ahlul Bait dan bagaimana sikap salaf terhadap mereka di tambah dengan bantahan-bantahan terhadap subhat yang di lontarkan olah rofidlah.untuk lebih lanjut mengetahui bantahan-bantahan para ulama terhadap subhat-subhat mereka dapat di lihat dalam kitab minhajus sunnah, karya Syaikhul islam taimiyah. Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan iman dan taqwa kepada kita sehinnga kita tetap istiqomah di dalam berpegang kepda manhaj nubuwah sampi akhir hayat kita. AMIN.<br />
<br />
(Sumber: Al-Manhaj)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-59870466616879806392016-10-06T21:03:00.001-07:002016-10-06T21:03:46.055-07:00EMPAT ORANG YANG DILAKNAT NABI, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anDari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
لَعَنَ اللهُ مَن ذَبَحَ لِغَيرِ اللهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن سَبَّ وَالِدَيهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن غَيَّرَ مَنَارَ الأَرضِ,<br />
لَعََنَ اللهُ مَن آوَى مُحدِثَا<br />
<br />
Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain), dan Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid'ah).<br />
<br />
TAKHRIJ HADITS<br />
- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allah man la’ana walidaih, no. 17.<br />
- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.<br />
- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan<br />
- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]<br />
<br />
SYARAH HADITS<br />
Di antara nikmat Allah yang terbesar dan anugerahNya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepadaNya, dan yang hanya mengikuti NabiNya Shallallahu 'alaihi was sallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al Qur`an dan Sunnah.<br />
Allah berfirman dalam al Qur`an :<br />
<br />
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ<br />
<br />
Dan Kami turunkan kepadamu al Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [an Nahl : 44].<br />
<br />
Al Qur`an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Ketahuilah, bahwa aku telah diberi al Qur`an dan yang semisal dengannya”.<br />
<br />
Al Qur`an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti yang telah Dia firmankan :<br />
<br />
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى , إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى .<br />
<br />
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [an Najm : 3-4].<br />
<br />
Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin 'Ash Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya dia pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil bertanya : “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?” Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah yang keluar dariku melainkan haq (benar),” sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.<br />
<br />
Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global dalam al Qur`an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak, dan dia adalah wahyu Allah Ta'ala. Di antara wahyu tersebut adalah diberinya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jawaami’ul kalim, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent), beliau bersabda : "Aku diutus dengan jawaami’ul kalim”. Arti jawaami’ul kalim adalah ucapan singkat, tetapi padat maknanya.<br />
<br />
Di antara jawaami’ul kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum dalam Shahih Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
لَعَنَ اللهُ مَن ذَبَحَ لِغَيرِ اللهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن سَبَّ وَالِدَيهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن غَيَّرَ مَنَارَ الأَرضِ, لَعََنَ اللهُ مَن آوَى مُحدِثَا و<br />
<br />
Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain), dan Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid'ah).<br />
<br />
Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah mundur ke belakang, maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat yang maju di tengah umat-umat yang lain.<br />
<br />
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau "Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah”. Bagaimana dia bisa mengarahkan sembelihan kepada selain Allah? Sedangkan tindakan tersebut termasuk ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana yang telah Allah Azza wa Jalla firmankan :<br />
<br />
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(162)لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ<br />
<br />
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al An'am : 162-163].<br />
<br />
Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk beribadah kepadaNya saja, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :<br />
<br />
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ<br />
<br />
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. [adz Dzariyaat : 56-58].<br />
<br />
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau yang masih kecil, apalagi kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.<br />
<br />
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu –sepupu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam- bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allah, maka pasti Allah menjagamu. Jagalah Allah, pasti engkau akan mendapatiNya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah kepada Allah”.<br />
<br />
Maka, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allah. Tidak ada yang berhak dimintai pertolongan melainkan Allah. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan Allah. Dan tidak ada yang berhak diistighasahi, melainkan Allah. Tidak ada yang berhak diserahi sesembelihan dan nadzar, melainkan Allah. Tidak boleh bernadzar kepada Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun tinggi kedudukannya. Dengan ini, (seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.<br />
<br />
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat orang yang melindungi muhditsan”.<br />
<br />
Al muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid'ah) dan yang merubah Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam hal ini, terdapat pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba' (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Laa ilaha illallah Muhammaddur Rasulullah. Maka, ucapan ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan hanya sekedar huruf-huruf yang digandeng, atau ucapan yang terlepas begitu saja dari lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab Allah serta diutus para rasul, melainkan karenanya.<br />
<br />
Kalimat Laa ilaha illallahu, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allah. Dan kalimat Muhammadur Rasulullah, maknanya tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasulullah. Sebaik-baiknya perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jeleknya perkara adalah apa yang beliau tinggalkan (bid'ah, Pent). Tidaklah beliau meninggal dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.<br />
<br />
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar al Ghifari Radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata : "Tidaklah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di udara telah beliau jelaskan kepada kita ilmunya".<br />
<br />
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliaulah suri tauladan yang baik dan yang sempurna bagi kita; bagaimana tidak, sedangkan Allah telah berfirman tentang beliau :<br />
<br />
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا<br />
<br />
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [al Ahzab : 21].<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah, yaitu اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah dengan mengikuti sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah Allah firmankan وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا (Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. –an Nuur : 54). Apabila kalian mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kalian akan mendapat hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb kalian dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allah, dan inilah hak RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam serta hak agamaNya. Maka apakah kita telah menjalankan semua hak-hak ini?<br />
<br />
Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan adanya dua kewajiban lain.<br />
<br />
Yang pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di atas, yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Allah melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya”. Ini adalah kewajibanmu dan anda mesti menjadi pemeliharanya dengan baik. Yaitu engkau berbakti kepada keduanya, mendoakan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak meremehkannya serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang tuamu.<br />
<br />
Hak kedua orang tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena mencari ridha sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).<br />
<br />
Adapun yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,” para sahabat bertanya,”Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?” maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : “Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya”. Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu menutup segala pintu (kejelekan) serta membendung kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat suatu yang mengakibatkan kerusakan yang besar di kemudian hari. Tetapi amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela Islam tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat dalam banyak perkara dan banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut sebagai suatu bentuk hidayah dan kebenaran, namun hakikatnya tidak seperti itu [2]. Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam menjadi santapan lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan mereka.<br />
<br />
Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melarang kita mencaci-maki orang tua, sebuah tindakan yang termasuk dosa, maka bagaimana jika kita melakukannya lebih dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa besar. Jika kita melaksanakan ketaatan kepada mereka maka ini termasuk menjaga hak jiwa pribadi (nafs) . Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat buruknya akan menimpa dirinya sendiri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : [وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا] Artinya : "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya." (Al-Isra' : 23).<br />
<br />
Di dalam ayat ini Allah menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan ibadah hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan terhadap hak jiwa sendiri, ayah dan anak.<br />
<br />
Adapun hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan hak orang lain. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu : (1). Hak Allah (2). Hak Nabi (3). Hak nafs (4). Hak orang lain. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah orang lain" maksudnya dia melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski kelihatannya sepele, niscaya akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang lain saja yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya ?<br />
<br />
Renungilah sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam : [إِنَّ أربَى الرِبَا استِطَالَة الرَجُلِ فِي عِرضِ أَخِيهِ المُسلِم] Artinya : "Dosa riba yang paling besar adalah seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim" yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara dia dengan orang lain. Semua ini terlarang dan merupakan sebab perampasan hak orang lain dan termasuk dosa besar.<br />
<br />
Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Satu dirham (hasil) riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu (hukum-nya-pent) lebih besar dosanya di sisi Allah dari pada 36 kedustaan" Apabila ini tingkat paling rendah akibat harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar ? Ini semua dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang jauh. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berpesan kepada Mu'adz bin Jabal, beliau bersabda : "Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik"<br />
<br />
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin atau muslimin atau yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi beliau malah mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia baik dia mukmin atau kafir, shaleh atau tholeh. Karena dengan akhlakmu disertai pemeliharaan terhadap hakmu dan hak orang lain, engkau dapat mengambil hati mereka sehingga engkau bisa menyerunya (kepada kebenaran). <br />
<br />
(Sumber: Al-Manhaj)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-3429821171474597742016-10-06T21:03:00.000-07:002016-10-06T21:03:01.689-07:00MANHAJ PARA RASUL DALAM BERDAKWAH KEPADA ALLAH[1], Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anMANHAJ PARA RASUL DALAM BERDAKWAH KEPADA ALLAH[1]<br />
<br />
<br />
Oleh<br />
DR. Muhammad bin Musa Alu Nashr<br />
<br />
<br />
Manhaj para nabi maksudnya adalah jalan, metode dan sarana yang ditempuh oleh para Rasul dalam berdakwah kepada Allah. Dakwah kepada Allah adalah kewajiban dan satu keharusan agama. Sejauh dakwah ini sesuai dengan manhaj para rasul termasuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dakwah ini akan di terima disisi Allah, berhasil dan memiliki pengaruh baik serta terbukti memberikan hasil dengan idzin Rabb. Namun setiap kali dakwah itu jauh dari manhaj para rasul, baik dahulu atau sekarang, dakwah ini akan pahit hasilnya, tertolak dan membuat fitnah.<br />
<br />
Dakwah seperti ini, ibarat orang yang mengurai benang setelah di pintal. Sudah menjadi kewajiban setiap da’i dan orang yang berkecimpung didalamnya untuk mengetahui, memahami dan mengikuti jalan yang telah di tempuh oleh para nabi dalam dakwah mereka kepada Allah. Allah telah menjelaskan dalam kitabNya dan menceritakan kepada kita kisah-kisah para nabi. Dia jelaskan jalan, cara dan hal yang diutamakan para nabi. Demikian juga Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan haal itu dalam sunnahnya yang shahih.<br />
<br />
Saya tidak ingin memperpanjang pembukaan ini. Saya jelaskan beberapa point penting diantaranya:<br />
<br />
1. Diantara Tanda Manhaj Dakwah Para Nabi Yang Paling Jelas Adalah Ikhlas.<br />
<br />
Mereka ikhlas dalam dakwah dengan hanya mencari wajah Allah. Ikhlas merupakan ruh amal shalih, sedangkan dakwah kepada Allah merupakan amal shalih dan ketaatan yang paling utama yang bisa mendekatkan seorang da’i kepada Allah. Demikianlah Allah memerintahkan kiat berbuat ikhlas dan menyatakan, ikhlas menjadikannya syarat diterima dan selamatnya satu amalan. Allah tidak akan menerima satu perbuatanpun kecuali dengan keikhlasan mencari wajah Allah. Allah berfirman:<br />
<br />
أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ<br />
<br />
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. [Az-Zumar/39 : 2]<br />
<br />
وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ<br />
<br />
Padahal mereka tidak disuruh keculi supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurs. [Al-Bayyinah/98 : 5]<br />
<br />
Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:<br />
<br />
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكََاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أََشْرَكَ فِيْهِ غَيْرَهُ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ<br />
<br />
Saya adalah dzat yang paling tidak butuh kepada sekutu (teman). Barangsiapa melakukan satu perbuatan, dia sekutukan aku dengan yang lain pada amal itu, maka aku tinggalkan (biarkan) ia dengan sekutunya.<br />
<br />
Allah tidak akan menerima satu amalanpun, kecuali dengan ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah maksud dari firman Allah:<br />
<br />
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا<br />
<br />
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya. [Al Kahfi/18:110]<br />
<br />
Oleh karena itu para ulama’ berkata: Syarat diterimanya sebuah amal shallih ada dua yaitu amal perbuatan tersebut diikhlaskan untuk mencari wajah Allah dan syarat kedua adalah amal tersebut harus sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah bersabda:<br />
<br />
مَنْ أَحْدَثََ فِيْ أَمْرِنَا هَذََ مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوََ رَدٌّ<br />
<br />
Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru (yang tidak ada petunjuk dari Rasul) dalam agama kita ini maka ia tertolak.<br />
<br />
Dan<br />
<br />
مَنْ عَمِلََ عَمَلاً لَيْسََ عََلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ<br />
<br />
Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan itu tertolak.<br />
<br />
Wahai saudara-saaudaraku …<br />
Perhatikanlah ! bagaimana ketidak ikhlasan bisa menyebabkan sebuah amal tertolak dan kebinasaan si pelaku. Na’udzubillah<br />
<br />
Dalam sebuah hadits yang shahih, yang maknanya : Tiga orang Pertama yang menjadi bahan bakar neraka adalah orang berilmu, orang yang mati syahid dan orang yang dermawan. Orang alim yang Allah berikan ilmu dan hikmat. Dia dibawa dihadapan Allah, Allah menyebutkan nikmat-nikmat lalu dia mengakuinya. Allah berkata kepada orang itu: “Hai hambaku, Aku telah memberikan ilmu kepadamu. Apa yang lakukan dengannya?”<br />
Orang itu menjawab: “Wahai Rabbku, aku telah mempelajari dan mengajarkan !”<br />
Lalu Allah berfirman: “Engkau bohong ! Engkau belajar dan mengajarkannya agar engkau disebut orang berilmu dan ucapan tersebut sudah terucap. Lalu Allah mengambil wajah orang tersebut dan mencampakkannya di neraka Jahannam. Demikian juga yang Allah lakukan kepada orang yang mati syahid berjuang bukan untuk mencari wajah Allah dan tidak untuk meninggikan kalimat Allah. Dia berjuang supaya disebut pemberani. Demikian juga Allah memperlakukan orang yang dermawan namun dia dermawan bukan karena Allah, dia berbuat demikian suapaya disebut dermawan. [Hadits Shohih]<br />
<br />
Wahai saudaraku …<br />
Keikhlasan itu harus ada pada diri seorang da’i. Jika seorang da’i tidak jujur dan tidak ikhlas, maka dia tidak mendapat taufik dari Allah dalam dakwahnya dan tidak mendapatkan pertolongan, pemeliharaan Allah serta Allah tidak akan memperdulikannya. Bertolak dari ini Allah berfirman tentang hak Yusuf Alaihissallam seorang pemuda yang memiliki keikhlasan:<br />
<br />
كَذَلِكَ لِنَصْرِفُ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ<br />
<br />
Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba -hamba kami yang terpilih. [Yusuf/12:24]<br />
<br />
Dalam sebuah qira’ah yang mutawatir الْمُخْلَصِينَ . Mukhlis adalah oraang yang ikhlas dalam beramal sedangkan mukhlash adalah orang yang Allah berikan keikhlasan dalam beribadah, ketaatan dan pembuktian penghambaannya di muka bumi.<br />
<br />
Perhatikanlah tiga orang yang terpaksa menginap di gua, lalu batu pegunungan jatuh menutupi pintu gua. Apa yang telah menyelamatkan mereka dari musibah tersebut ? Yang telah menyelamatkan dari bencana tersebut adalah kejujuran dan keikhlashan mereka.<br />
<br />
Masing-masing mereka berdo’a kepada Allah dengan perantara amalan mereka yang diikhlaskan kepada Allah. Salah seorang diantara mereka berkata: “Tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian dari batu besar ini, kecuali permohonan kalian kepada Allah dengan perantara amal shalih kalian”. maksudnya amalan yang paling ikhlas. Inilah satu jenis tawassul yang di perbolehkan dengan menjadikan amal shalih sebagai perantara kepada Allah. Kemudian masing berdo’a kepada Allah dengan amal shalihnya.<br />
<br />
Orang pertama berdo’a kepada Allah dengan perantara bakti kepada kedua orangtuanya. Orang kedua berdo’a dengan perantara kemampuan menjaga kesuciannya dan meninggalkan zina pada saat dia mampu. Orang ketiga berdo’a dengan sifat amanahnya. Kemudian batu besar tersebut bergerak dan bergeser sehingga akhirnya mereka bisa keluar. Inilah balasan ikhlas bagi pelakunya.<br />
<br />
Seorang da’i harus ikhlas supaya mendapatkan taufik dalam dakwahnya dan dakwahnya diterima oleh masyarakat. Orang ikhlas dicintai Allah dan dicintai manusia. Jika Allah suka kepada seorang hamba, dia akan memanggil Malaikat Jibril: ‘Ya Jibril saya suka kepada si Fulan, hendaklah kalian mencintainya!” kemudian Jibril memanggil para malaikat: “Sesungguhnya Allah suka kepada si fulan, maka cintailah ia !” kemudian ia di jadikan diterima di muka bumi. Orang ikhlas diterima hati banyak orang. Dengan sebab mereka dan dakwah mereka ini, Allah berkenan membuka hati yang tertutup, telinga yang tuli dan mata yang buta.<br />
<br />
2. Ilmu Dan Bashirah.<br />
Allah berfirman.<br />
<br />
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِين<br />
<br />
Katakanlah, "Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik. [Yusuf/12:108]<br />
َ<br />
Dalam ayat ini, Allah jelaskan, jalan dakwah kepada Allah merupakan jalannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyeru dengan bashirah dari Allah dan mengajak dengan ilmu dan kepada ilmu, karena ilmu adalah pondasi perbaikan agama.<br />
<br />
Ketika penduduk Makkah berada dalam kerusakan; rusak aqidah dan akhlaq. Mereka memakan bangkai, mengubur anak perempuan hidup-hidup, meminum khamer, melakukan perbuatan yang membinasakan dan membuat patung-patung dari kurma dan lainnya, jika lapar mereka memakan patung tersebut.<br />
<br />
Ayat-ayat yang turun mengajak kepada ilmu, mengajak membaca dan menyuruh dengan perintah yang lain banyak, karena ilmu merupakan asas perbaikan. Karenanya lima ayat yang pertama kali turun, mengajak membaca, belajar dan mengajar. Allah berfirman<br />
<br />
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ<br />
<br />
Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. [Al Alaq/96:1-5)<br />
<br />
Ayat-ayat permulaan ini tidak mengajak nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memecahkan wadah khamer, menghancurkan patung, ataupun yang lain, akan tetapi mengajak kepada ilmu. Allah telah mengajar manusia apa yang belum ia ketahui, mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Lalu memberikan kalian pendengaran, penglihatan dan hati. Setiap kali manusia itu belajar dan memahami agamanya, dia akan semakin dekat kepada Rabbnya. Dan setiap kali mereka mengetahui tipu daya syaithan manusia dan jin, maka semakin mengenal kebenaran dan mengikutinya, mengenal keburukan dan menjauhinya.<br />
<br />
Demikianlah seharusnya. Ketika rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim para da’i dan tenaga pengajar, beliau mengirim Mush’ab bin umair ke Madinah, mengutusnya dalam keadan mengerti tugas sebagai pengajar dan mengerti materi yang diserukan. Demikian juga Rasulullah mengirim Abu Musa Al-‘As’ariy dan Mu’az bin Jabal ke Yaman. Mereka itu dalam keadaan mengerti apa yang akan mereka dakwahkan. Ketika Rasulullah mengutus Mu’az ke Yaman, beliau berkata:<br />
<br />
Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kali kau dakwahkan adalah SYAHADATU AN LAAILAHA ILLAH WA ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH (persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak di semabah kecuali Allah dan persaksian bahwa Muhammad Rasulullah) jika mereka mentaatimu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibka kepada mereka sholat lima waktu …[Hadits].<br />
<br />
Rasul tidak pernah mengirim orang awam atau orang bodoh untuk mengajak manusia kepada agama ini, akan tetapi hanya mengutus para da’I dan ulama’. Dari sini kita dapat mengetahui bahaya dan mudlaratnya sebagian jama’ah-jama’ah dakwah yang mengumpulkan orang dari pasar, lalu mengarahkan mereka dan mengutus mereka sebagai khatib dan pemberi peringatan. Mereka menasehati dan mengingatkan manusia, sementara mereka tidak memiliki ilmu. Sehingga mereka menganggap jelek sesuatu yang baik dan menganggap benar sesuatu yang salah.<br />
<br />
Mereka menyebarkan hadits-hadits palsu dan cerita-cerita bohong mengenai Rasulullah. Mereka menyangka telah berbuat baik padahal tidak.<br />
<br />
Oleh karena itu, seorang da’i harus mengetahui keadaan obyek dakwah, subyek dan materi dakwahnya serta memiliki kemampuan mematahkan hujjah dengan hujjah, dalil dengan dalil. Demikian juga mampu mengalahkan kebathilan dengan kebenaran. Sebagaimana firman Allah:<br />
<br />
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُون<br />
<br />
Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensipati (Allah dengan sifat-sifat yang tak layak bagi-Nya). [Al Anbiya/21:18]<br />
<br />
Oleh karena itu berdakwah kepada Allah harus berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan kebodohan ataupun kebutaan. Seorang da’i harus mempersenjatai diri dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Dia mesti menumpahkan perhatian kepada ilmu dan membuat program pengajaran untuk semua orang dan juga membuat program praktek lapangan dakwah kepada Allah. Adapun dakwah yang tegak diatas kebodohan dan taqlid (ikut-ikutan), memusuhi ilmu dan ulama’, maka itu bukan dakwah para nabi dan tidak berada diatas manhaj para nabi sedikitpun.<br />
<br />
3. Termasuk Manhaj Dakwah Para Nabi Adalah Mendahulukan Yang Terpenting Baru Yang Penting (Membuat Skala Prioritas).<br />
<br />
Berdasarkan hal ini, kita melihat para nabi memulai dakwah mereka dengan tauhid. Mereka memulai dengan hal-hal yang mendasar (fondasi), tidak memulai dari atap karena orang yang memulai daari membangun atap sebelum fondasi, maka atap itu akan menjatuhi kepada mereka.<br />
<br />
Semua para nabi mengucapkan perkataan seorang nabi:<br />
<br />
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ<br />
<br />
Wahai kaumku, sembahlah Allah, kalian tidak memiliki tuhan selain Dia. [Al A’raf/7: 64]<br />
<br />
Dalam hadits Mu’az yang telah lewat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari Mu’az agar memulai dari yang terpenting. Jika seandainya ada seorang dokter yang hendak mengobati orang sakit dari penyakit yang sangat berbahaya, kemudian mengetahui penyakit lain pada diri si pasien, seperti filek atau penyakit ringan yang lain, lalu si dokter sibuk menangani penyakit ringan tersebut, sebelum menangani penyakit yang berbahaya itu. Jadilah dokter tersebut penipu pasien. Dokter tersebut membantu proses kematian pasien. Jika ada pasien menderita kekurangan darah, kemudian dokter memulai dengan mengobati luka yang ada pada jari jemari kaki pasien, maka jadilah dokter ini orang jahat dan berperan dalam kematian si pasien, jika sampai pasien itu mati. Karena kewajiban seorang dokter mengobati penyakit yang paling berbahaya serta mengancam kehidupan si pasien.<br />
<br />
Orang-orang yang sibuk dengan perkara cabang sebelum perkara tauhid dan dari perkara mendasar yang lain, ibarat dokter yang ingin mengobati orang mati, atau ibarat orang yang ingin menghidupkan orang mati atau seperti orang yang membangun atap sebelum fondasi. Alangkah gampangnya atap itu menimpa kepala mereka.<br />
<br />
Bagaimanapun lamanya seorang da’i yang menyeru kepada tauhid, tidak boleh merasa bosan dan lelah dan tidak boleh merubah dan mengganti manhajnya, sehingga orang khusus dan awam meridhoinya. Akan tetapi wajib baginya untuk tetap konsisten diatas aqidah tauhid dan berdakwah kepada tauhid diatas ilmu dan komitmen padanya sampai mati.<br />
<br />
Lihatlah Nabi Nuh selama 950 tahun hanya berdakwah kepada tauhid, menasehati dengan tauhid dan hanya memperingatkan umatnya dari kesyirikan, tinggal selama 950 tahun dan tidak menegakkan panji, tidak lelah dan bosan dan tidak pula merasa lelah, sudah sedemikian rupa, tidak beriman dengannya kecuali sedikit. Demikian juga para nabi yang lainnya banyak, mereka menyeru kapada tauhid bertahun-tahun dan berhari-hari. Tidak mengikuti mereka kecuali seorang atau dua orang dan sebagian mereka datang tanpa seorang pengikutpun, apakah mereka meninggalkan dakwah tauhid? Jawabnya: ‘Tidak.’<br />
<br />
Lihatlah nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal 23 tahun dalam keadaan menyeru: “wahai manusia katakanlah la ilaha ilaa allah niscaya kalian beruntung”. Sedangkan sebagian da’i berputus asa dan berkata: ‘kami telah mendakwahi mereka berkali-kali dan mereka tidak mau menerimanya. Kita mesti menyeru mereka kepada politik, demonstrasi dan unjuk rasa. Lalu meninggalkan manhaj para nabi dalam berdakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak menuai kecuali penyesalan dan penghancuran umat, karena mereka menyibukkan umat dalam perkara yang bukan bidangnya, menyibukkan mereka dengan perkara yang khusus dimiliki para raja dan penguasa, menyibukkan mereka pada selain tujuan penciptaan mereka. Allah berfirman tentang tujuan penciptaan manusia:<br />
<br />
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ<br />
<br />
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. [Adz Dzariyat/51:56]<br />
<br />
Mereka telah menyibukkan manusia dengan politik internasional yang kotor dan tidak menegakkan peribadatan mereka, tidak menjadikan mereka sebagai hamba robb, tidak mengajarkan mereka tauhid, sholat dengan rukun, kewajiban, khusu’ dan sunnahnya dan tidak mengajarkan manusia sesuatu yang berguna bagi mereka dalam agama dan dunianya.<br />
<br />
4. Seorang Da’i Harus Menjadi Contoh Teladan Yang Baik Bagi Obyek Dakwahnya (Mad’u) Dan Menjadi Teladan Pada Dirinya, Karena Seorang Da’i Jika Tidak Demikian Maka Dakwahnya Akan Manjadi Bencana Baginya Dan Dakwah Tidak Mendapatkan Orang Yang Mau Mendengarnya.<br />
<br />
jika mereka melihatnya memerintah manusia untuk ikhlas, didapati ia seorang yang berbuat riya’. Jika menyeru manusia untuk tawadhu’, didapati dia seorang yang sombong sekali. Jika menyeru manusia untuk berderma, didapati dia seorang yang paling kikir. Jika menyeru orang untuk berpegang teguh kepada syariat islam, tidak memakan riba dan meninggalkan kemaksiatan, mereka melihatnya selalu bermaksiat. Menyeru orang untuk memberikan penutup aurat istri mereka dan memaksa anak-anaknya berjilbab, lalu mereka melihat anak, saudara perempuan dan istrinya berpakaian minim. Bagaimana orang akan berbaik sangka dengan dakwahnya? bagaimana mereka mau mendengarkan dan melihat serta mengambil ilmu darinya? Oleh karena itu teladan yang baik harus di miliki seorang da’I dalam dakwahnya, jika tidak terdapat hal ini, maka dia tidak akan memiliki pengaruh pada para mad’u, bahkan mereka akan lari dan meninggalkanya.<br />
<br />
Dari sini Allah menjadikan para nabi orang yang paling baik nasab, akhlak dan bentuk tubuhnya. Allah menyelamatkan tubuh mereka dari penyakit yang tidak disukai manusia, sepeerti penyakit kusta, dan yang lainnya dari panyakit yang menular. Demikian juga Allah memberikan mereka akhlaak yang mulia dan memberikan penutup mereka nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam akhlak yang paling mulia. Allah khabarkan dalam firmanNya:<br />
<br />
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ<br />
<br />
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al Qalam/68 : 4]<br />
<br />
Ditanya Umul Mukminin Aisyah tentang akhlak Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu menjawab kepada penanya: Wahai anak saudaraku, apakah kamu telah membaca Al-Qur’an?’<br />
Dia jawab: ‘Ya’.<br />
Lalu beliau berkata: ‘Akhlaknya Rasululloh Al-Qur’an’.<br />
<br />
Perkataan Aisyah disini telah mencakup semua sifat dan sejarah hidup Rasulullah.<br />
<br />
Telah disusun satu kitab tentang kemulian akhlak Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam berjumlah 12 jilid dengan judul: Nadhratun Na’iim Fi Makaarim Akhlaqir Rasulil Kariim, yang telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa. Akan tetapi inipun masih sedikit dari semestinya. Demikian juga seorang penulis barat menulis sebuah buku yang diberi nama: “Seratus Tokoh Dunia yang telah Merubah Sejarah”. Dia menjadikan Rasululloh sebagai orang pertama dalam buku tersebut. Sungguh ini adalah persaksian yang benar dari musuh Islam, walaupun sedikit sekali mereka berbuat adil, akan tetapi dia telah berbuat adil dalam bukunya ini, karena Nabi Muhammad n orang yang berjalan dimuka bumi ini daan makhluk terbaik yang Allaah ciptakan. Allah mengutusnya untuk menyempurnakan akhlak manusia, sebagaimana sabda beliau:<br />
<br />
إِنَّمََا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِِمَ الأَخْلاَقِ.<br />
<br />
Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia.<br />
<br />
Oleh karenaa itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para da’i untuk menjadi contoh teladan yang baik bagi manusia, Allah berfirman:<br />
<br />
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ .<br />
<br />
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. [Ash Shaff/61:2-3]<br />
<br />
Sekarang kalian duduk dalam ceramah ini, lalu datang penceramah dan mengatakan: ‘rokok harom dan makruh, berbahaya, dapat mengakibat penyakit ini dan itu’. Kalian serius sekali mendengarkannya. Ketika kalian mendengarkannya dengan sangat serius, tiba-tiba dia mengeluarkan rokok kreteknya didepan kalian dan mengisapnya. Apa yang akan kalian katakan? Apakah kalian akan mendengarkan dan memperhatikannya setelah itu? Niscaya kalian akan mengatakan: ‘orang ini lebih butuh nasehat dari kita’.<br />
<br />
Berapa banyak kemudhoratan dakwah mereka ini, mereka menyeru kepada sunnah, padahal mereka adalah orang yang paling jauh, bahkan melakukan kebidahan, menyeru orang untuk taat, padahal mereka setiap hari bermaksiat. Merekalah orang yang menyeru kepada sunnah, sekaligus menyembelihnya.<br />
<br />
Adapun pakaian mereka, pakaian ala eropa, mengenakan pantalon yang sempit yang menampakkan auratnya, kemudian melaknat Amerika dan mengatakan:’ kami memboikot Amerika’, sedangkan kalian mengenakan dasi dan memasang satelit (para bola) dirumah kalian.<br />
<br />
Kalau begitu, wahai saudara-saudaraku…<br />
Seorang da’i harus menjadi teladan dalam dakwahnya, oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mendidik generasi terbaik, generasi contoh dan teladan. Beliau mendidik para sahabat diatas akhlak yang mulia sehinga mereka lulus dari madrasah kenabian dan bertebaran dipermukaan bumi.<br />
<br />
Bangsa Arab tidak masuk negeri kalian ini dengan peperangan, akan tetapi dengan perdagangan. Datang kenegeri ini para sahabat dan tabi’in sebagai pedagang yang membawa akhlak mulia, muamalah yang baik, amanah dan kejujuran, sehingga penduduk Indonesia ini terpengaruh dan masuk ke dalam agama Islam. Maka sangat perlunya seorang da’I ila Allah untuk menjadi teladan<br />
<br />
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلا آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ<br />
<br />
Seorang dibawa pada hari kiamat dan dilemparkan ke neraka lalu terburai ususnya di neraka, lalu dia berkeliling seperti keledai berkeliling pada batu penggilingan, lalu berkumpullah ahli neraka mengelilinginya daan berkata: ‘Wahaai fulan kenapa kamu demikian? Bukankah kamu memerintahkan kami kepada kemakrupan dan mencegah kami dari kemungkaran. Dia menjawab: ‘memang saya dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan, saya tidak melaksanakannya dan malarang kalian dari kemungkaran dan saya melaksanakannya. [HR Bukhari]<br />
.<br />
5. Berdakwah Kepada Allah Dengan Hikmah, Nasehat Yang Baik Dan Lemah Lembut Kepada Manusia, Karena Kekasaran, Kekerasaan Dan Sikap Arogan Dapat Menjauhkan Manusia Dari Dakwah.<br />
<br />
Oleh karena itu para nabi adalah orang yang paling kasih kepada makhluk dan yang paling mengetahui kebenaran. Sifat ini berpindaah kepada ahlu sunnah wal jamaah pemilik manhaj yag benar, sebagaimana disampaikan Syeikh Islam Ibnu Taimiyah dalam ucapannya: ‘Ahlu sunnah wal jamaah adalah orang yang oaling kasih kepada makhluk dan paling mengetahui kebenaran’.<br />
<br />
Allah telah menyampaikan kepada NabiNya, Nabi yang dicintai sahabat dan umatnya sampai mereka menyerahkan kepadanya jiwa, harta dan anak-anak mereka:<br />
<br />
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ<br />
<br />
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. [Ali Imran/3 :159]<br />
<br />
Beliaulaah yang memerintahkan untuk berlemah lembut dan melarang kekerasan, dalam sabdanya:<br />
<br />
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ<br />
<br />
Kelemah lembutan tidaklah ada pada sesuatu, kecuali menghiasinya dan tidak hilang dari sesuatu kecuali merusaknya. [HR Muslim]<br />
<br />
Dan sabda beliau:<br />
<br />
مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ *<br />
<br />
Siapa yang tidak memiliki kelembutan maka tidak mendapat kebaikan. [HR Muslim]<br />
<br />
Beliaupun berkata kepada salah seorang sahabatnya:<br />
<br />
إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ<br />
<br />
Sesungguhnya terdapat padamu dua sifat yang Allah dan rasulNya cintai; lemah lembut dan tidak tergesa-gesa. [HR Muslim]<br />
<br />
Demikian juga beliau memperingatkan kekerasan dalam sabdanya:<br />
<br />
إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ<br />
<br />
Sesungguh sejelek-jeleknya pengembala adalah yang kasar. Berhari-hatilah jangan sekali-kali kamu menjadi golongan mereka.<br />
<br />
Dan bersabda:<br />
<br />
خِيَارُ أُمَرَاءِكُمْ الذِيْنَ تَدْعُوْنَ لَهُمْ وَيَدْعُوْنَ لَكُمْ وَشِرَارَ أُمَرَاءِكُمْ الذِيْنَ تَلْعَنُوْنَهُمْ و يَلْعَنُوْنَكُمْ.<br />
<br />
Sebaik-baiknya pemimpin adalah yang kalian mendoakan kebaikan padanya dan mereka mendoakan kebaikan kepadamu. Dan sejelek-jeleknya pemimpin adalah yang kalian melaknatnya dan mereka melaknat kalian.<br />
<br />
Seorang da’i sepatutnya menjadi orang yang memiliki kasih sayang kepada obyek dakwahnya, berlemah lembut dan mengharapkan hidayat mereka dan tidak mengharapkan kesulitannya.<br />
<br />
Demikianlah sebagian isi ceramah beliau, mudah-mudahan bermanfaat.<br />
<br />
(Sumber: Al-Manhaj)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-21017553275188146962016-10-06T21:02:00.000-07:002016-10-06T21:02:29.246-07:00PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anPANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM<br />
<br />
Oleh<br />
Ustadz Abu Ihsan Al Atsari<br />
<br />
<br />
KEUTAMAAN SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM<br />
Keutamaan para sahabat Nabi, tingginya kedudukan dan derajat mereka, merupakan perkara yang telah diketahui baik oleh kalangan kaum Muslimin, dan merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam din Islam. Banyak ayat-ayat Al Qur`an dan Hadits Nabi yang menerangkan hal tersebut.<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya : "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil; yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". [Al Fath : 29].<br />
<br />
Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum, kerena mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Dalam tafsirnya, Ibnu Jarir berkata: "Bisyr telah menyampaikan kepada kami dari Yazid, dari Sa'id, dari Qatadah tentang firman Allah "berkasih sayang sesama mereka", yakni Allah menanamkan ke dalam hati mereka rasa kasih sayang sesama mereka. Dan firman Allah "kamu lihat mereka ruku` dan sujud", yakni kamu lihat mereka ruku` dan sujud dalam shalat. Firman Allah "mencari karunia Allah", yakni mereka mencari keridhaan Allah dengan ruku` dan sujud tersebut, dengan sikap keras terhadap orang kafir dan saling kasih sayang sesama mereka. Hal itu merupakan rahmat Allah kepada mereka dengan memberi keutamaan atas mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surgaNya. Firman Allah "dan keridhaanNya", yakni Allah meridhai mereka semua".<br />
<br />
Allah berfirman, yang artinya : "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepadaNya. Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". [At Taubah : 100].<br />
<br />
Berkenaan dengan tafsir ayat di atas, Ibnu Katsir berkata: "Allah Yang Maha Agung mengabarkan bahwa Dia telah meridhai orang-orang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sungguh celaka orang yang membenci mereka, mencaci atau membenci dan mencaci sebagian dari mereka. Terutama penghulu para sahabat sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang paling baik dan paling utama di antara mereka, yakni Ash Shiddiq Al Akbar, Khalifah A'zham Abu Bakar bin Abi Quhafah Radhiyallahu 'anhu. Kelompok celaka dari kalangan Rafidhah telah memusuhi sahabat paling utama, membenci serta mencaci para sahabat. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.<br />
<br />
Itu menunjukkan bahwa akal dan hati kaum Rafidhah terbalik. Dimanakah kedudukan iman mereka kepada Al Quran, sementara mereka mencaci orang yang telah Allah ridhai?<br />
<br />
Adapun Ahlus Sunnah, mereka senantiasa mendoakan kebaikan bagi orang yang telah diridhai oleh Allah (dengan mengucapkan radhiyallahu ánhum), mencela siapa saja yang telah dicela oleh Allah dan RasulNya, membela siapa saja yang telah dibela oleh Allah dan RasulNya, memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah. Ahlus Sunnah adalah orang yang selalu mengikuti (kebenaran), bukan orang yang membuat-buat bid'ah. Mereka selalu meneladani (Rasul), bukan orang yang mengada-ada. Oleh sebab itu, mereka adalah hizbullah yang pasti menang dan hambaNya yang beriman.<br />
<br />
Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan dan kesenioran para sahabat, telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ<br />
<br />
"Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya dan kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang satu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian (yakni bersumpah dan bersaksi sebelum diminta, Pent)" [1].<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat hidup adalah sebaik-baik keadaan secara mutlak. Tidak ada zaman yang lebih baik daripada zama pada masa mereka. Barangsiapa mengatakan selain itu, maka ia termasuk zindiq.<br />
<br />
Dalam hadits Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ<br />
<br />
"Sebaik-baik umatku adalah pada kurunku, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya" [2].<br />
<br />
Dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, siapakah sebaik-baik manusia?" Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Kurun yang aku hidup saat ini, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya" [3].<br />
<br />
SAHABAT SEBAGAI PENGAWAS DAN PENGAMAN UMAT INI<br />
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ<br />
<br />
"Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku. Jika aku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Jika sahabatku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku". [Hadits riwayat Muslim, no 2531, dari jalur Sa’id bin Abi Burdah dari ayahnya, yakni Abu Musa Al Asy'ari zRadhiyallahu 'anhu].<br />
<br />
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjelaskan keagungan dan posisi strategis para sahabat di tengah umat. Mereka adalah pengaman sekaligus pengawas umat ini sepeninggal Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maksudnya, mereka selalu mengawasi, agar umat ini tidak tersesat dan tidak menyimpang dari jalan yang telah mereka tempuh bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
SAHABAT SEBAGAI SUMBER RUJUKAN SAAT PERSELISIHAN & SEBAGAI PEDOMAN PEMAHAMAN<br />
Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan bila timbul perpecahan dan perselisihan di kalangan umat ini, agar kembali kepada Kitabullah, Sunnah RasulNya dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, yakni para sahabat -radhiyallahu 'anhum jami'an.<br />
<br />
Diriwayatkan dari Al Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan nasihat yang membuat air mata kami mengalir, dan membuat hati kami bergetar.” Kami berkata: "Wahai, Rasulullah! Sepertinya ini merupakan nasihat pungkasan. Apa yang Anda wasiatkan kepada kami?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:<br />
<br />
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ<br />
<br />
"Sungguh saya telah meninggalkan kalian (yakni para sahabat) di atas jalan yang putih bersih, siang dan malamnya sama terangnya. Siapa saja yang menyimpang darinya (dari jalan putih bersih yang para sahabat berada di atasnya), pasti (ia) binasa. Barangsiapa yang hidup sepeninggalku, ia pasti melihat perselisihan yang amat banyak. Hendaklah kalian tetap memegang teguh sunnahku yang kalian ketahui dan sunnah Khulafaur Rasyidin (yakni para sahabat) yang berada di atas petunjuk. Hendaklah kalian selalu patuh dan taat, meskipun diperintah oleh seorang budak Habasyi. Peganglah erat-erat. Sesungguhnya seorang mukmin itu laksana unta yang jinak. Apabila diarahkan (kepada kebaikan), ia pasti menurut" [4].<br />
<br />
Juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ<br />
<br />
"Ketahuilah, sesungguhnya Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan bahwa umat ini, juga akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di antaranya masuk neraka, dan satu golongan di dalam surga, yakni Al Jama'ah". [HR Abu Dawud dan lainnya. Derajat hadits ini shahih]<br />
<br />
Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Al Hakim dan lainnya telah disebutkan tafsir Al Jama'ah:<br />
<br />
مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَ أَصْحَابِي<br />
<br />
"Pedoman yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.<br />
<br />
Maksud Al Jama'ah ialah, siapa saja yang mengacu kepada pedoman yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni Al Qur`an dan As Sunnah, serta menurut pedoman pemahaman sahabat beliau Radhiyallahu 'anhum.<br />
<br />
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu telah menjelaskan kepada kita, tentang alasan dipilihnya pemahaman sahabat sebagai pedoman acaun. Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu berkata: "Sesungguhnya Allah melihat hati para hambaNya. Dia dapati yang paling baik adalah hati Muhammad, maka Allah memilihnya untuk diriNya, dan Dia utus untuk membawa risalahNya. Kemudian Allah kembali melihat hati para hambaNya setelah hati Muhammad. Dia dapati yang paling baik ialah hati para sahabatnya. Maka Allah menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya dan berperang untuk agamaNya. Segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Muslimin (sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), maka pasti baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh kaum Muslimin, pasti buruk juga di sisi Allah”. [Atsar shahih, riwayat Ahmad, no 3600; Al Bazzar, no. 1816 dan Ath Thabrani, no. 8582].<br />
<br />
BERPEDOMAN KEPADA SAHABAT, ADALAH JAMINAN KEMENANGAN<br />
Dalam hadits riwayat Muslim, no 2523 dari jalur Abu Zubair, dari Jabir, dari Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ<br />
<br />
"Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk berperang)”. Mereka mengatakan: "Coba lihat, adakah di antara kalian seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Ternyata ada satu orang sahabat Nabi. Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: "Adakah di antara mereka yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Maka didapatkan satu orang. Maka Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan keempat. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah seseorang yang melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Maka didapatkan satu orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka.<br />
<br />
Hadits ini menjelaskan kepada kita, betapa mulia kedudukan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka. Allah memberi jaminan kemenangan bagi para sahabat dan orang-orang yang mengikuti sahabat. Tentu saja, yang dimaksud dalam hadits bukan hanya sekadar melihat dengan mata kepala saja, namun maksudnya ialah mengikuti pedoman mereka. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang definisi sahabat Radhiyallahu 'anhum.<br />
<br />
SIAPAKAH YANG DIMAKSUD SAHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIAHI WA SALLAM ?<br />
Sahabat adalah, siapa saja yang melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau bertemu dengan beliau walau hanya sesaat lalu beriman kepada beliau dan ia mati di atas keimanan.<br />
<br />
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (249) dari hadits Al 'Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah pekuburan. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ<br />
<br />
"Salam kesejahteraan atas kalian, wahai penghuni perkampungan kaum Mukminin. Dan aku Insya Allah akan menyusul kalian. Sungguh aku sangat merindukan untuk bertemu dengan saudara-saudara kita". Para sahabatpun bertanya,”Bukankah kami ini saudara-saudaramu?" Beliau n menjawab,”Kalian adalah para sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita adalah mereka yang datang kemudian".<br />
<br />
Hadits ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud sahabat ialah, orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan yang datang sesudahnya ialah, saudara-saudara beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun orang yang bertemu dan beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, (ia) dinamakan sahabat, baik pertemuan itu dalam waktu yang lama maupun sebentar.<br />
<br />
Adapun dalil yang menunjukan bahwa orang yang bertemu dan beriman kepada Rasulullah serta mati di atas keimanan disebut sebagai sahabat ialah, sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah (12/178) dari Zaid Ibnu Hibban, dari Abdullah bin Al 'Ala' bin 'Amir, dari Watsilah bin Al Asqa', dia berkata, Rasulullah n bersabda: "Kalian akan tetap berada dalam kebaikan selama di tengah-tengah kalian terdapat orang yang melihat dan menyertaiku. Demi Allah, kalian akan tetap berada dalam kebaikan, selama di tengah-tengah kalian terdapat seorang yang melihat orang yang melihatku, dan menyertai orang yang menyertaiku".<br />
<br />
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ya'qub bin Sufyan, di dalam At Tarikh (2/351), dari Adam, dari Baqiyah bin Al Walid, dari Muhammad bin Abdirrahman Al Yahshabi, bahwa ia mendengar Abdullah bin Basar berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَ طُوْبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلمَ ْيَرَنِي وَ طُوْبَى لَهُ وَ حُسْنَ مَآبٍ<br />
<br />
"Sungguh beruntung orang yang melihatku, dan sungguh beruntung orang yang beriman kepadaku, sedangkan ia belum pernah melihatku. Sungguh baginya keberuntungan dan balasan yang baik". [Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi 'Ashim di dalam As Sunnah, 1527, dari Ya'qub].<br />
<br />
Ibnu Faris, seorang pakar bahasa, ia menjelaskan di dalam Mu'jamu Maqayisil Lughah (III/335) dalam pasal Sha-ha-ba: "Menunjukkan penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan sahabat yang disertainya itu. Bentuk jamaknya adalah shuhab, sebagaimana kata raakib bentuk jamaknya rukab. Sama seperti kalimat ‘ashhaba fulan’, artinya menjadi tunduk. Dan kalimat “ashahbar rajulu”, artinya, jika anaknya telah berusia baligh. Dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu, maka boleh dikatakan telah menjadi sahabatnya”.<br />
<br />
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan di dalam Majmu' Fatawa (IV/464): "Shuhbah adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah. Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu (ia) beriman kepada beliau. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai Rasulullah".<br />
<br />
Abu Hamid Al Ghazali berkata di dalam kitabnya, Al Mustashfa (1/165): "Siapakah sahabat itu? Sahabat ialah, siapa saja yang hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau pernah berjumpa dengan beliau sekali, atau pernah menyertai beliau dalam waktu sebentar maupun lama. Lalu berapa batasan waktunya? Predikat sahabat dinisbatkan kepada siapa saja yang menyertai Rasulullah. Cukuplah disebut sahabat, meski ia hanya menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu sebentar saja. Namun secara urf (kesepakatan umum) (ialah), mengkhususkannya bagi orang yang menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu lama".<br />
<br />
LARANGAN MENCELA SAHABAT NABI<br />
Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br />
<br />
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ<br />
<br />
"Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya"[5].<br />
<br />
Hadits ini secara jelas melarang kita mencela sahabat Nabi. Larangan dalam hadits di atas hukumnya adalah haram. Yakni haram hukumnya mencela sahabat Nabi. Termasuk di dalamnya, yaitu semua bentuk celaan dan sindiran negatif yang ditujukan kepada mereka, atau salah seorang dari mereka. Sebab, mencela sahabat Nabi, berarti telah menyakiti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Al Fadha-il (19), dari jalur Waki`, dari Ja'far -yakni Ibnu Burqan- dari Maimun bin Mihran, ia berkata: "Ada tiga perkara yang harus dijauhi. (Yaitu): mencela sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, meramal lewat bintang-bintang, dan mempersoalkan takdir”.<br />
<br />
Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang Ushul Sunnah. Beliau berkata di dalam suratnya: "Termasuk Ushul, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi, atau membencinya karena kesalahan yang dibuat, atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi`, hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat, dan hatinya tulus mencintai mereka"[6].<br />
<br />
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam kitab Al Fadha-il, dari jalur Waki`, dari Sufyan, dari Nusair bin Za'luq, ia berkata, Saya mendengar Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata: "Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh, kedudukan mereka sesaat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (itu) lebih baik daripada amal ibadah kalian sepanjang umurnya!"[7]<br />
<br />
SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP PERSELISIHAN YANG TERJADI<br />
DI ANTARA SAHABAT<br />
Banyak kita temui perkataan ahli ilmu yang berisi perintah untuk tidak mempersoalkan pertikaian yang terjadi di antara sahabat Nabi Radhiyallahu anhum. Bahkan telah disebutkan adanya ijma' dalam masalah ini.<br />
<br />
Abdurrahman bin Abi Hatim berkata,"Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur'ah tentang madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan para alim ulama yang pernah ditemui oleh keduanya di berbagai belahan dunia, seperti di Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan Yaman, dalam menyikapi para sahabat. Madzhab mereka ialah, mendoakan kebaikan dan rahmat atas segenap sahabat Muhammad, atas segenap keluarga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta menahan diri dari memperdebatkan pertikaian di antara mereka." Demikian pula dinyatakan oleh Imam Al Lalikai dalam Syarah Ushul I'tiqad (321) dan Abul 'Ala Al Hamdani dalam bukunya yang berisi penyebutan aqidah Ahlus Sunnah dan celaan terhadap perpecahan di halaman 90-91.<br />
<br />
Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya, Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [Al Hasyr : 10].<br />
<br />
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Janganlah engkau mencela sahabatku ...... "<br />
<br />
Abdurrazzaq meriwayatkan di dalam kitab Al Amali (51), dari jalur Ma'mar, dari Ibnu Thawus, dari Thawus, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
إِذَا ذًُكِرَ أصحابي فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ القَدَرُ فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوْا<br />
<br />
"Jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri. Jika masalah takdir dipersoalkan, maka tahanlah diri. Jika ramalan bintang-bintang dibicarakan, maka tahanlah diri".<br />
<br />
Makna "jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri ...", menurut para ulama ialah tidak mengomentari mereka dengan penilaian miring dan negatif. Maksudnya, bukan larangan menceritakan apa yang terjadi, misalnya peperangan Shiffin atau Jamal. Sebab, perkara tersebut memang telah diberitakan oleh Rasulullah n , kemudian perkara itu merupakan catatan sejarah. Oleh sebab itulah, para ulama menyebutkannya dan menulisnya di dalam kitab-kitab sejarah dan lainnya, bahkan telah dikarang buku khusus yang membicarakan permasalahan tersebut. Begitu pula Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar serta para alim ulama lainnya menceritakan panjang lebar kisah tersebut. Akan tetapi mereka tidak menghujat atau mencela para sahabat, wallahu ta'ala a'lam.<br />
<br />
Ibnu Baththah rahimahullah berkata -berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat-:<br />
"Kemudian setelah itu kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepadaNya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Mengetahui apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah melihat komentar-komentar tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa'idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu, atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain. Dan jangan pula mendengarkannya dari orang yang meriwayatkannya.<br />
<br />
Itulah perkara yang disepakati para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara ulama tersebut ialah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi'b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu'aib bin Harb, Abu Ishaq Al Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin Al Harits dan Abdul Wahhab Al Warraq; mereka semua sepakat melarang perkara tersebut, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka, yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafazh bermacam-macam, namun maknanya senada. Intinya, (mereka) membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya” [8].<br />
<br />
Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: "Urusan yang Allah telah mengeluarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!"[9].<br />
<br />
Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar Al Marrudzi, ia berkata: "Ada yang berkata kepada Abu Abdillah. Ketika itu kami berada di tengah pasukan. Dan kala itu datang pula seorang utusan Khalifah, yakni Ya'qub, ia berkata,’Wahai Abu Abdillah. Apa pendapat Anda tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu'awwiyah?’ Abu Abdillah menjawab,’Aku tidak mengatakan kecuali yang baik. Semoga Allah merahmati mereka semua’"[10].<br />
<br />
Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad. Isinya surat tersebut: "Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka, dan tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun (dari) ahli bid'ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya dalam perjalananmu"[11].<br />
<br />
Abu ‘Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash Shabuni rahimahullah menyatakan di dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: "Ahlu Sunnah berpendapat, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. (Yakni) menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan terhadap para sahabat".<br />
<br />
PERKATAAN ULAMA BERKAITAN DENGAN ORANG YANG MENCELA SAHABAT<br />
ATAU BERKOMENTAR MIRING TERHADAP SALAH SEORANG SAHABAT<br />
Imam Al Bukhari t menulis sebuah bab dalam Shahih-nya berjudul "Bab : Larangan Mencela Orang Yang Sudah Mati", kemudian beliau meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Adam, dari Syu'bah, dari Al A'masy, dari Mujahid, dari 'Aisyah Radhiyallahu anha , ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا<br />
<br />
"Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati. Karena mereka telah menyelesaikan amal perbuatan mereka"[12].<br />
<br />
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:<br />
<br />
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ<br />
<br />
"Janganlah kalian mencela sahabatku. Karena sesungguhnya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya".<br />
<br />
Di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari hadits Al Bara` bin 'Azib Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
الْأَنْصَارُ لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ<br />
<br />
"Tidaklah mencintai kaum Anshar, kecuali seorang mukmin. Dan tidaklah membenci mereka, kecuali seorang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, niscaya Allah mencintainya. Barangsiapa membenci mereka, niscaya Allah membencinya"[13].<br />
<br />
Ibnu Asakir menyebutkan, ketika dihadapkan kepada Umar, seorang Arab Badui menyerang sahabat Anshar dengan kata-kata, beliau berkata: "Sekiranya dia bukan sahabat Nabi, niscaya cukuplah aku yang menyelesaikannya. Akan tetapi, ia masih termasuk sahabat Nabi" [14].<br />
<br />
Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Hambal bin Ishaq, dari Muhammad bin Ash Shalt, dari Qeis bin Ar Rabi`, dari Wa’il dari Al Bahi, ia berkata: "Pernah terjadi pertengkaran antara Ubaidullah bin Umar dengan Al Miqdam, lalu Ubaidullah mencela Al Miqdam, maka Umar berkata: "Tolong, ambilkan besi tajam, agar kupotong lisannya, sehingga tidak seorangpun sesudahnya yang berani mencela salah seorang sahabat Nabi"[15].<br />
<br />
Al Lalikai juga meriwayatkan dari jalur Sufyan bin Uyainah, dari Khalaf bin Hausyab, dari Sa'id bin Abdirrahman bin Abza, ia berkata: Aku bertanya kepada ayahku,”Seandainya aku membawa seseorang yang mencaci Abu Bakar, apa kira-kira yang engkau lakukan?" Beliau menjawab,"Akan kupenggal lehernya!" aku bertanya lagi: "Bagaimana jika mencaci Umar?" Jawab ayahku,"Juga akan kupenggal lehernya!"[16].<br />
<br />
Ibnu Baththah menyebutkan, bahwa Sufyan Ats Tsauri berkata: "Janganlah engkau mencela Salafush Shalih, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat".<br />
<br />
Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Ma'n bin Isa, ia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas berkata,”Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka ia tidak berhak mendapat harta fa'i, sebab Allah berfirman: (Juga) bagi para fuqara Muhajirin yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) -QS Al Hasyr ayat 8-, mereka adalah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berhijrah bersama Beliau. Kemudian Allah berfirman: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) –QS Al Hasyr : 9-, mereka adalah kaum Anshar. Kemudian Allah berfirman : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. –QS Al Hasyr:10. Itulah ketiga golongan yang berhak menerima fa'i. Barangsiapa mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak termasuk salah satu dari tiga golongan tersebut, dan ia tidak berhak menerima fa'i" [17].<br />
<br />
Al Khallal meriwayatkan dalam kitab As Sunnah, dari jalur Abu Bakar Al Marwadzi, ia berkata: "Saya bertanya kepada Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) tentang hukum orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan 'Aisyah Radhiyallahu anhum. Beliau berkata,’Menurut saya, ia bukan orang Islam.’ Saya juga mendengar Abu Abdillah berkata,’Imam Malik mengatakan, siapa saja yang mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak mendapat bagian apapun dalam Islam’".<br />
<br />
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Abdul Malik bin Abdul Hamid, ia berkata: "Saya mendengar Abu Abdillah berkata,’Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka aku khawatir ia jatuh ke dalam kekufuran, seperti halnya kaum Rafidhah,’ kemudian beliau berkata,’Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka dikhawatirkan ia keluar dari agama’."<br />
<br />
Al Khallal juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ia berkata: "Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mencela salah seorang sahabat Nabi, (dan) beliau menjawab,’Menurut saya, dia bukan orang Islam’."<br />
<br />
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Harb bin Ismail Al Kirmani, dari Musa bin Harun bin Ziyad, bahwa ia mendengar Al Faryabi ditanya oleh seorang lelaki tentang hukum orang yang mencaci Abu Bakar. Beliau (Al Faryabi, Red) menjawab: "Kafir!" Tanyanya lagi: "Bolehkah jenazahnya dishalatkan?" Jawab beliau,”Tidak!” Aku bertanya kepadanya: "Bukankah ia telah mengucapkan La Ilaha illallah?" Beliau menjawab,"Janganlah kalian sentuh jenazahnya dengan tangan kalian, angkatlah jenazahnya dengan kayu, lalu kuburkan dalam lubang kuburnya."<br />
<br />
Imam Ahmad berkata dalam sebuah risalah yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Ja'far bin Ya'qub Al Ishthakhri: "Seorangpun tidak boleh menyebutkan keburukan para sahabat, dan janganlah mencela seorangpun dari sahabat karena aib atau kekurangannya. Barangsiapa melakukan hal itu, maka wajib bagi penguasa menjatuhkan hukuman dan sanksi atasnya. Kesalahannya itu tidak boleh dimaafkan. Pelakunya harus dihukum dan diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterimalah taubatnya. Jika tetap bertahan, maka hukuman kembali dijatuhkan atasnya, dan dipenjara seumur hidup hingga mati atau bertaubat”.<br />
<br />
Beliau (Imam Ahmad) berkata di awal risalahnya ini: "Itulah madzab ahli ilmu, ahli atsar dan ahlu sunnah yang teguh memegangnya, di kenal dengannya, yang masalah ini telah diikuti semenjak zaman sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang ini. Saya telah bertemu dengan para ulama dari Hijaz, Syam dan daerah lainnya berada di atas madzhab tersebut" [18].<br />
<br />
Al Qadhi` Iyadh berkata dalam Syarah Shahih Muslim [19]: "Mencela sahabat Nabi dan merendahkan mereka, atau salah seorang dari mereka, (itu) termasuk perbuatan dosa besar yang diharamkan. Nabi telah melaknat orang yang melakukannya”.<br />
<br />
Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha-i, ia berkata: "Mencaci Abu Bakar dan Umar termasuk dosa besar".<br />
<br />
Demikian pula dinyatakan oleh Abu Ishaq As Sab'i. Dan disebutkan pula hal itu oleh Ibnu Hajar Al Haitsami dalam kitab Az Zawajir, ia berkata: "Dosa besar yang ke empat ratus enam puluh empat dan empat ratus enam puluh lima ialah membenci kaum Anshar, mencaci salah seorang sahabat Nabi –radhiyallahu` anhum ajma'in"[20].<br />
<br />
Dari uraian di atas jelaslah, betapa besar dosa mencela sahabat Nabi atau salah seorang dari mereka. Karena Rasulullah Shallal telah melarang mencela orang yang sudah mati dan melarang mencela sahabat beliau. 'Aisyah Radhiyallahu anha juga mengabarkan, bahwa mereka telah diperintahkan untuk memohon ampunan bagi sahabat Nabi, akan tetapi, mereka justru malah mencela sahabat.[21]<br />
<br />
Begitulah kenyataannya, mereka benar-benar mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang yang mencela sahabat Nabi itu sebenarnya meniru perbuatan seorang zindiq bernama Abdullah bin Saba'. Oleh sebab itu, mereka merupakan orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani yang mencela kaum Hawariyun, pengikut setia Nabi Isa Alaihissallam.<br />
<br />
Imam Al Ajurri meriwayatkan dari jalur Ahmad bin Abdullah bin Yunus, dari Ibnu Abi Dzi'b, dari Az Zuhri, ia berkata: "Belum pernah aku melihat orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani selain pengikut Saba'iyah”. Ahmad bin Yunus berkata,”Mereka adalah kaum Syi'ah Rafidhah." [22]<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: "Sejumlah ulama dari kalangan sahabat-sahabat kami (yakni ulama madzhab Hambali) menegaskan kekafiran kaum Khawarij yang meyakini harus berlepas diri dari Ali dan Utsman, dan juga menegaskan kekafiran Rafidhah yang meyakini wajib mencaci seluruh sahabat, dan menegaskan kekafiran orang-orang yang mengkafirkan sahabat, mengatakan mereka fasik atau mencaci mereka”.<br />
<br />
Abu Bakar Abdul Aziz berkata di dalam kitab Al Muqni': “Adapun jika ia termasuk penganut paham Rafidhah yang mencaci sahabat, maka hukumnya kafir dan tidak boleh dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah Wal Jama'ah). Sedangkan pendapat ulama lainnya, dan inilah pendapat yang didukung oleh Al Qadhi Abu Ya'la, bahwa jika ia benar-benar mencaci sahabat dan menjatuhkan martabat agama dan keshalihan mereka, maka ia kafir karena perbuatan tersebut. Namun jika ia mencacinya tanpa menjatuhkan martabat -misalnya mencaci ayah salah seorang dari mereka, atau mencacinya dengan maksud membuat marah, atau tujuan lainnya- maka ia tidaklah kafir karena hal itu".<br />
<br />
Itulah sikap yang harus dimiliki setiap muslim terhadap para sahabat yang mulia. Sebagaimana dimaklumi, Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak mengatakan jika sahabat itu ma'shum dari dosa besar ataupun dosa kecil. Boleh jadi mereka melakukan dosa tersebut, akan tetapi mereka tetap yang paling utama, paling baik dan mempunyai kelebihan sebagai sahabat Nabi. Itulah sebabnya mereka mendapat ampunan atas kesalahan yang mereka perbuat. Bahkan mereka mendapat ampunan atas dosa dan kesalahan, yang barangkali, bila dilakukan oleh selain mereka, belum tentu diampuni. Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mempertahankannya. Sebab ini merupakan bagian dari ajaran agama yang diturunkan Allah.<br />
<br />
Sebagai penutup tulisan ini, berkut adalah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: "Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ahli fiqih dan ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta (di kalangan) seluruh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Mereka semua sepakat, bahwa kita wajib memuji para sahabat, memohon ampunan bagi mereka, memohon curahan rahmat bagi mereka, mendoakan mereka (dengan mengucapkan radhiyallahu`anhu), mencintai dan loyal kepada mereka, serta meyakini adanya sanksi yang berat atas orang yang berpandangan buruk tentang mereka". Wallahul musta’an.<br />
<br />
(sumber: Al-Manhaj)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-48488988202040678642016-10-06T21:01:00.000-07:002016-10-06T21:01:54.874-07:00NABI MAUPUN WALI ADALAH MANUSIA BIASA, TIDAK BERHAK DISEMBAH!, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anNABI MAUPUN WALI ADALAH MANUSIA BIASA, TIDAK BERHAK DISEMBAH!<br />
<br />
Oleh<br />
Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari <br />
<br />
<br />
<br />
Muhammad adalah 'abduhu wa rasuluhu. Pensifatan dari Allah bagi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini merupakan sebutan yang paling bagus. 'Abduhu (yang hambaNya) selain menunjukkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hamba yang benar-benar tunduk, juga mengandung makna, beliau adalah manusia biasa seperti kita sebagai makhluk yang tidak boleh disembah. Adapun rasuluhu (utusanNya) menunjukkan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang memiliki keistimewaan, sehingga beliau tidak boleh disepelekan.<br />
_______________________________________________<br />
<br />
<br />
Islam mengajarkan bahwa ketaatan yang dilakukan manusia, maka kebaikannya untuk dirinya sendiri. Manusia hanya memiliki apa yang diamalkannya sewaktu di dunia. Allah Ta’ala berfirman : <br />
<br />
"Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya)". [Fushilat/41:46].<br />
<br />
<br />
"Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna". [an Najm/53: 38-41]<br />
<br />
Oleh karena itulah barangsiapa yang berbuat kebaikan, walaupun seberat debu, maka dia akan melihat balasannya. Allah Ta’ala berfirman:<br />
<br />
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (debu)pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah (debu)pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya". [al Zalzalah/99 : 7-8]<br />
<br />
Demikian juga pada hari kiamat, harta benda dan anak-anak tidak akan bermanfaat, kecuali bagi orang yang ketika hidupnya menggunakan hartanya untuk mentaati Allah dan membimbing anak-anaknya berbakti kepada Allah Azza wa Jalla.<br />
<br />
"Pada hari (kiamat) harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih". [asy Syua'ara/26: 88-89]<br />
<br />
Setelah kita mengetahui hakikat ini, bahwa setiap orang akan bertanggung jawab masing-masing di hadapan Allah Ta’ala, maka janganlah seseorang bergantung kepada manusia yang lain. Karena sesungguhnya seluruh manusia itu tidak akan dapat memberikan manfaat dan madhorot, kecuali sekadar apa yang telah Allah tetapkan. Begitu pula dengan para rasul, manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah Yang Maha Kuasa, mereka tidak dapat berbuat apapun terhadap kekuasaan Allah Ta’ala. <br />
<br />
Berikut sebagian contoh kejadian para rasul yang membuktikan hal tersebut.<br />
<br />
Nabi Nuh Alaihissallam <br />
Beliau tidak dapat menolong anaknya yang diterjang banjir besar di hadapan beliau sendiri. Kemudian beliau mengadu kepada Allah tentang kejadian tersebut, namun ketetapan Allah tidak dapat dibatalkan oleh keinginan beliau. Allah Azza wa Jalla berfirman:<br />
<br />
"Dan Nuh berseru kepada Rabb-nya sambil berkata: "Ya Rabb-ku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janjiMu itu benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya". Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnaya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan". Nuh berkata: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memohon sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi". [Huud/11:45-47]<br />
<br />
Nabi Ibrohim Alaihissallam <br />
Permohonan ampun untuk bapaknya ditolak, karena bapaknya mati dalam kekafiran. Allah berfirman:<br />
<br />
"Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun". [at Taubat/9:114].<br />
<br />
Nabi Luth Alaihissallam<br />
Beliau tidak dapat menolak siksa Allah dari isterinya. Sehingga Allah menjadikan isteri beliau sebagai contoh bagi orang-orang kafir. Allah berfirman:<br />
<br />
"Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)". [at Tahriim/66:10].<br />
<br />
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam <br />
Sebagaimana para nabi lainnya, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia biasa. Beliau seorang hamba Allah. Beliau tidak memiliki hak rububiyah (berkuasa terhadap alam semesta) maupun hak uluhiyah (diibadahi, disembah) sedikitpun. Akan tetapi pada zaman ini banyak orang yang melewati batas dalam memperlakukan diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka beranggapan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bisa memberikan pertolongan jika umat berdoa kepadanya. Anggapan ini merupakan perbuatan yang menyimpang. <br />
<br />
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah mengumumkan, bahwa beliau sama sekali tidak dapat mendatangkan manfa'at dan tidak pula dapat menolak kemudharatan bagi diri sendiri, kecuali yang dikehendaki Allah. Maka bagaimana bagi orang lain? Allah berfirman:<br />
<br />
"Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". [al A'raaf/7:188].<br />
<br />
Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengumumkan kepada para kerabatnya, bahwa beliau tidak mampu menolak siksa Allah yang menimpa mereka, maka bagaimana terhadap orang yang jauh dari beliau? Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:<br />
<br />
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ }وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِين{َ قَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا <br />
<br />
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Ketika turun firman Allah {Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat} –QS asy Syua'raa/26 ayat 214- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri dan berkata,'Wahai orang-orang Quraisy –atau kalimat semacamnya- belilah diri-diri kamu, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap kamu sedikitpun. Wahai Bani Abdu Manaf, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap kamu sedikitpun. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muththolib, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap-mu sedikitpun. Wahai Shafiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadapmu sedikitpun. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah dari hartaku yang engkau kehendaki, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadapmu sedikitpun'.” [HR Bukhari, no. 2753; Muslim, no. 206; dan lainnya]<br />
<br />
Selain penjelasan di atas, kita dapat mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga hilanglah berbagai syubhat (kesamaran) pada orang-orang yang menjadikan beliau sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla. Berikut kami sebutkan di antara peristiwa-peristiwa tersebut.<br />
<br />
PELAJARAN DARI KEMATIAN ABU THALIB<br />
Dalam peristiwa kematian pamannya tersebut, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mampu memberikan petunjuk kepada Abu Thalib, walaupun beliau menginginkan hal itu. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini:<br />
<br />
عَنْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ <br />
<br />
"Dari Sa’id bin Musayyab, dari bapaknya (Musayyab bin Hazn), dia berkata: Tatkala (tanda) kematian datang kepada Abu Thalib, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya. Beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah berada di dekatnya. Lalu beliau berkata: "Wahai pamanku, katakanlah Laa ilaaha illa Allah, sebuah kalimat yang aku akan berhujjah untukmu dengannya di sisi Allah!" Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menimpali,"Apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?" Rasulullah n terus-menerus menawarkan itu kepadanya, dan keduanya juga mengulangi perkataan tersebut. Sehingga akhir perkataan yang diucapkan Abi Thalib kepada mereka, bahwa dia berada di atas agama Abdul Muththalib. Dia enggan mengatakan Laa ilaaha illa Allah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,"Demi Allah, aku akan memohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang darimu," maka Allah menurunkan (ayatNya) “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik” –QS at Taubat/9 ayat 113- Dan Allah menurunkan (ayatNya) tentang Abu Thalib “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya”. –QS al Qashash/28 ayat 56". [Hadits shahih riwayat Bukhari, no. 4772; Muslim, no. 24]<br />
<br />
<br />
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, waktu itu Abu Thalib menjawab dengan perkataan:<br />
<br />
لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ يَقُولُونَ إِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ لَأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ <br />
<br />
"Seandainya suku Quraisy tidak akan mencelaku, yaitu mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya yang mendorongnya (Abu Thalib) mengatakan itu hanyalah kegelisahan (menghadapi kematian),” sungguh aku telah menyenangkanmu dengan kalimat itu". [Hadits shahih riwayat Muslim, no. 25]. <br />
<br />
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata: “Dan di antara hikmah ar Rabb (Sang Penguasa, Allah) Ta’ala tidak memberi petunjuk kepada Abu Thalib menuju agama Islam, agar Dia menjelaskan kepada hamba-hambaNya bahwa (petunjuk menuju Isalm) itu hanya hak Allah, Dia-lah Yang Berkuasa, siapa saja selainNya tidak berkuasa. Jika Nabi n -yang merupakan makhlukNya yang paling utama- memiliki sesuatu (hak, kekuasaan) memberi hidayah hati, menghilangkan kesusahan-kesusahan, mengampuni dosa-dosa, menyelamatkan dari siksa, dan semacamnya, maka manusia yang paling berhak dan paling utama mendapatkannya adalah pamannya, yang dahulu melindunginya, menolongnya, dan membelanya. Maka Maha Suci (Allah) yang hikmahNya mengagumkan akal-akal (manusia), dan telah membimbing hamba-hambaNya menuju apa yang menunjukkan kepada mereka terhadap ma’rifah (pengenalan) dan tauhid (pengesaan) kepadaNya, dan mengikhlasakan serta memurnikan seluruh amal hanya untukNya”.[1] <br />
<br />
PELAJARAN DARI QUNUT NAZILAH<br />
<br />
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ الْفَجْرِ يَقُولُ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ <br />
<br />
"Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ dari raka’at yang akhir dari shalat Subuh, beliau mengucapkan: “Wahai Allah laknatlah Si Fulan, Si Fulan, dan Si Fulan,” setelah beliau mengatakan “Sami’allahu liman hamidah Rabbanaa walakal hamdu," kemudian Allah menurunkan (ayatNya): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. -QS Ali Imran/3:128." [HR Bukhari, no. 4069] <br />
<br />
Dalam riwayat lain disebutkan:<br />
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو عَلَى صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ وَسُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَنَزَلَتْ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ<br />
<br />
Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan kecelakaan kepada Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan al Harits bin Hisyam, lalu turun (ayat): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. –QS Ali Imran/3:128.” [HR Bukhari, no. 4070]. <br />
<br />
Syaikh Shalih al Fauzan berkata: “Dalam hadits tersebut terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mampu menolak gangguan musyrikin dari diri beliau dan dari para sahabat beliau, bahkan beliau berlindung kepada Rabb-nya, al Qadir (Yang Maha Kuasa), al Malik (Yang Memiliki). Ini termasuk perkara yang menunjukkan kebatilan terhadap apa yang diyakini oleh penyembah kubur tentang para wali dan orang-orang shalih (yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan, Pen)”.[2] <br />
<br />
PELAJARAN DARI PERANG UHUD<br />
Tentang sifat manusia sebagai makhluk yang terdapat pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga ditunjukkan oleh musibah yang dialami dalam kehidupan beliau, seperti di dalam peperangan Uhud. Imam Muslim meriwayatkan:<br />
<br />
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ<br />
<br />
"Dari Anas: "Sesungguhnya pada peperangan Uhud, gigi geraham Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam patah, dan kepala beliau terluka, maka beliau mengusap darah dari kepala beliau sambil mengatakan: 'Bagaimana akan mendapatkan keberuntungan, satu kaum yang melukai kepala Nabi mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan Nabi itu mengajak mereka menuju (peribadahan kepada) Allah?' Maka Allah menurunkan (ayatNya): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu". -QS Ali Imran/3 ayat 128. [Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1791].<br />
<br />
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Terjadinya sakit dan ujian kepada para nabi –semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada mereka- adalah agar mereka mendapatkan pahala yang besar, dan agar umat mereka mengetahui apa yang telah menimpa mereka dan umat itu meneladani mereka”. <br />
<br />
Al Qadhi rahimahulllah berkata: “Dan agar diketahui, sesungguhnya mereka (para nabi itu) termasuk manusia, ujian-ujian dunia juga menimpa mereka, dan apa yang mengenai tubuh-tubuh manusia juga mengenai tubuh mereka; agar diyakini, mereka adalah makhluk, yang dikuasai (oleh Allah). Dan agar umat tidak tersesat dengan mu’jizat-mu’jizat yang muncul lewat tangan mereka, dan setan mengaburkan dari perkara para nabi sebagaimana yang telah dia kaburkan terhadap orang-orang Nashrani dan lainnya”. [3]<br />
<br />
Dengan keterangan yang ringkas ini, semoga jelas bagi kita tentang kedudukan Nabi yang mulia. Sehingga kita menempatkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana layaknya. Alhamdulillah. Dan setelah mengetahui ini semua, lalu bagaimanakah dengan keadaan orang-orang pada masa sekarang ini, yang memohon dan meminta pertolongan kepada para nabi atau wali atau orang shalih atau kubur mereka? Sungguh tidak tidak diragukan lagi, perbuatan itu hanyalah sia-sia, dan bahkan termasuk perbuatan musyrik. <br />
<br />
Semoga Allah selalu menjaga kita dari perbuatan musyrik, dan segala perkara yang mengantarkan kepadanya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.<br />
<br />
(Sumber: Al-Manhaj)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-38303537804218935472016-10-06T21:00:00.000-07:002016-10-06T21:00:56.083-07:00Nasihat Ali bin Abi Thalib, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anAli bin Abi Thalib berkata:<br />
"Janganlah melelahkan hatimu, carilah kata-kata hikmah, karena hati itu akan merasa bosan sebagaimana badan merasa bosan.<br />
Jiwa itu selalu mementingkan hawa nafsu, menyukai sesuatu yang hina, condong kepada yang sia-sia, selalu menyuruh kepada keburukan, suka bermalas-malasan, mencari kesenangan, dan lari dari beramal. Jika engkau paksa jiwamu, berarti engkau telah menegakkannya, dan jika engkau melalaikan jiwamu, maka engkau telah merusaknya". (AL 'Aqdul Fariid 6/393).<br />
<br />
(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-69867186717636430832016-10-06T20:59:00.001-07:002016-10-06T21:00:22.647-07:00PARA NABI DAN SALAFUSH SHALIH JUGA BEKERJA, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anPARA NABI DAN SALAFUSH SHALIH JUGA BEKERJA<br />
<br />
Oleh<br />
Ustadz Abu Humaid ‘Arif Syarifuddin<br />
<br />
<br />
<br />
Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia ke dunia ini, Dia juga memberikan ilham melalui fitrah dan akal mereka untuk mencari sebab-sebab memperoleh rezeki yang halal dan baik. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyediakan berbagai sarana guna mempertahankan kehidupan manusia di dunia ini, yaitu bekerja mencari beragam penghidupan yang dibolehkan syari’at.<br />
<br />
Tuntutan fitrah ini, tidak hanya berlaku pada umumnya manusia, melainkan berlaku pula atas manusia-manusia pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kalangan para nabi dan rasul Allah, termasuk pula rasul yang paling mulia, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula orang-orang yang mengikutinya dari para salafush shalih dari generasi sahabat maupun setelahnya.<br />
<br />
Berikut ini kami nukilkan beberapa ayat, hadits maupun atsar (riwayat tentang sahabat atau tabi’in) yang mengisyaratkan tentang hal ini. Semoga bermanfaat.<br />
<br />
PEKERJAAN PERTUKANGAN, INDUSTRI DAN KERAJINAN TANGAN<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata kepada Nabi Nuh Alaihissallam:<br />
<br />
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا<br />
<br />
"Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami .." [Hud : 37].<br />
<br />
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nuh Alaihissallam untuk membuat bahtera (perahu besar) yang memberi isyarat tentang pekerjaan menukang dan industri. Artinya, pekerjaan tukang dan industri merupakan salah satu jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia untuk dijadikan sebagai mata pencahariannya. Allah telah memberikan kemampuan berindustri membuat baju-baju besi kepada Nabi Daud Alaihissallam :<br />
<br />
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ.<br />
<br />
"Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperangan; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah)". [Al Anbiya’ : 80].<br />
<br />
... وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ. أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ<br />
<br />
"… dan Kami telah melunakkan besi untuknya (yakni Daud); (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan". [Saba’ : 10-11].<br />
<br />
Dengan kemampuan yang Allah karuniakan itulah, Nabi Daud Alaihissallam menjadikannya sebagai mata pencaharian. Beliau makan dari hasilnya, padahal ia seorang nabi dan raja [1]. Hal ini telah dijelaskan pula oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :<br />
<br />
إِنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ كَانَ لاَ يَأْكُلُ إِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ<br />
<br />
"Sesungguhnya Nabi Daud tidak makan kecuali dari hasil jerih payahnya sendiri". [HR Bukhari no. 1967 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu].<br />
<br />
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memuji orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri, lalu menghubungkan pujian ini dengan menceritakan tentang Nabi Daud Alaihissallam :<br />
<br />
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطْ خَيْراً مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ .<br />
<br />
"Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil jerih payahnya sendiri". [HR Bukhari no. 1966 dari Al Miqdam bin Ma’diyakrib Radhiyallahu 'anhu].<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan Nabi Daud Alaihissallam dalam hadits di atas, lantaran Daud Alaihissallam seorang nabi dan raja. Biasanya, para raja tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari, karena telah dipenuhi oleh para pekerja dan pelayannya.<br />
<br />
Masih tentang pekerjaan pertukangan ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang Nabi Zakariya Alaihissallam :<br />
<br />
كَانَ زَكَرِيَّا نَجَّاراً .<br />
<br />
"Zakariya Alaihissallam dulu adalah seorang tukang kayu". [HR Muslim no. 2379 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu].<br />
<br />
Imam An Nawawi menjelaskan: “Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya berindustri. Dan pekerjaan tukang tidak menjatuhkan kewibawaan (seseorang), bahkan termasuk pekerjaan mulia. Dalam hadits ini (juga) terdapat (petunjuk tentang) keutamaan Zakariya Alaihissallam, karena ia (bekerja) sebagai tukang dan makan dari hasil jerih payahnya” [2]. Oleh karena itu, Imam Muslim membawakan hadits ini dalam bab Min Fadhail Zakariya Alaihissallam [di antara keutamaan-keutamaan Zakariya Alaihissallam].<br />
<br />
Ibnu Hajar menukil apa yang diriwayatkan Ats Tsauri dalam Tafsir-nya, dari Asy’ats dari Ikrimah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: “Lukman (Al Hakim), dulu adalah seorang budak habsyi dan seorang tukang”. Lihat Fathul Bari (6/466).<br />
<br />
Pekerjaan seperti di atas juga telah dikenal pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Bahkan di kalangan wanitanya sekalipun, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat berikut.<br />
<br />
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ أَجْعَلُ لَكَ شَيْئاً تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلاماً نَجَّاراً. قَالَ: إِنْ شِئْتِ فَعَمِلْتِ الْمِنْبَرَ<br />
<br />
"Jabir Radhiyallahu 'anhu menuturkan, bahwa ada seorang wanita berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, tidakkah saya buatkan sesuatu untuk tempat dudukmu? Sesungguhnya saya punya budak ahli pertukangan,” maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Jika engkau mau (melakukannya), maka engkau buatkan mimbar saja." [HR Al Bukhari no. 438].<br />
<br />
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ عَبْدِ اللهِ: أَيُجْزِيْنِي مِنَ الصَّدَقَةِ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَلَى زَوْجِي وَهُوَ فَقِيرٌ وَبَنِي أَخٍ لِي أَيْتَامٍ وَأَنَا أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا وَعَلَى كُلِّ حَالٍ؟ ، قَالَ: نَعَمْ ، قَالَ: وَكَانَتْ صَنَّاعَ الْيَدَيْنِ .<br />
<br />
"Ummu Salamah menceritakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami bershadaqah”. Maka Zainab –isteri Abdullah (bin Mas’ud)- berkata: “Apakah boleh aku bershadaqah suamiku yang fakir dan kemenakan-kemenakanku yang yatim, dan aku menghidupi mereka dengan ini dan itu?” Rasulullah n menjwab,”Ya, boleh.” (Perawi) berkata: “Dan ia (Zainab) adalah wanita pembuat kerajinan tangan”. [HR Ibnu Majah no. 1835. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah. Asal hadits ini telah diriwayatkan oleh Bukhari no. 1397 dan Muslim no. 1000].<br />
<br />
Aisyah Radhiyallahu 'anha menuturkan tentang Zainab binti Jahsy (salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ) –ketika wafatnya :<br />
<br />
... وَكَانَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةً صَنَّاعَةَ الْيَدِ، فَكَانَتْ تَدْبَغُ وَتَخْرِزُ وَتَصَدَّقُ فِي سَبِيلِ اللهِ . أخرجه الحاكم (4/26) وقال: هذا حديث صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه.<br />
<br />
"Dan Zainab adalah wanita pengrajin tangan, ia menyamak kulit dan melobangi (serta menjahit)nya untuk dibuat khuf atau lainnya. Lalu ia bershadaqah di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala." [HR Al Hakim 4/26 dan beliau berkata: “Ini hadits shahih sesuai syarat (standar) Muslim, tapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari maupun Muslim"]<br />
<br />
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubaid bin Al Abrash yang menuturkan, bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu (menetapkan) jaminan (atas) tukang.<br />
<br />
Ia juga meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Umar bin Al Khaththab (menetapkan) jaminan atas setiap buruh (industri atau kerajinan) bila si pekerja merusakkan barang orang-orang yang menginginkannya membuat sesuatu untuk mereka dari barang tersebut. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (4/360).<br />
<br />
Demikian pula masa setelah sahabat Radhiyallahu 'anhum, seperti disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad ketika menjelaskan salah seorang perawi tabi’in dalam sanad berikut.<br />
<br />
Telah bercerita kepada kami Waqi’ (ia berkata), telah bercerita kepada kami Yazid bin Abu Shalih, dan ia adalah seorang penyamak kulit, memiliki postur yang bagus, dan ia memiliki empat hadits, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Akan ada sekelompok manusia yang masuk neraka, hingga hangus menjadi arang…al hadits. Lihat Musnad Ahmad (3/183).<br />
<br />
MENGGEMBALAKAN HEWAN TERNAK<br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengisahkan tentang Musa Alaihissallam:<br />
<br />
قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى.<br />
<br />
"Musa berkata, “Ini adalah tongkatku. Aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya." [Thaahaa : 18].<br />
<br />
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa Musa Alaihissallam dahulu bekerja menggembalakan kambing-kambing. Dengan bantuan tongkat di tangannya, ia menjatuhkan dedaunan dari pohon untuk memberi makan hewan gembalaannya [3]. Pekerjaan inilah yang banyak digeluti para nabi, termasuk nabi dan rasul yang paling mulia Muhammad n . Rasulullah n menceritakan dalam sabdanya :<br />
<br />
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ ، فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ . رواه البخاري.<br />
<br />
"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan pernah menggembala kambing.” Para sahabat bertanya,”Dan engkau sendiri?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Ya, aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath." [HR Al Bukhari no. 2143 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu . Lihat pula Shahihul Jami’ no. 5581]<br />
<br />
Satu qirath = seperduapuluh dinar.<br />
<br />
Demikian pula yang berlaku pada sebagian sahabatnya, seperti dalam riwayat berikut ini.<br />
<br />
Abdullah bin Rafi’ menuturkan: Aku pernah bertanya kepada Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ,”Mengapa engkau dijuluki Abu Hurairah?” Ia balik bertanya,“Apakah engkau ingin merendahkan aku?” Aku jawab,“Tidak. Demi Allah, aku amat menghormatimu.” Ia pun berkata,“Aku dahulu menggembalakan kambing-kambing milik keluargaku. Waktu itu, aku mempunyai kucing kecil yang kuletakkan di sebuah pohon pada malam hari. Siang harinya aku bermain bersamanya, maka mereka pun menjulukiku Abu Hurairah (bapaknya kucing kecil).” [HR At Tirmidzi no. 3016 dengan sanad hasan. Lihat Shahih At Tirmidzi (3/235].<br />
<br />
BERDAGANG ATAU BERNIAGA<br />
Aktifitas dagang atau jual beli (dengan beragam bentuknya yang dibolehkan syari’at) banyak dikerjakan oleh manusia. Para nabi juga tidak lepas dari aktifitas ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ ...<br />
<br />
"Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar". [Al Furqan : 20].<br />
<br />
Dan tentang RasulNya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah berfirman :<br />
<br />
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً<br />
<br />
"Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” [Al Furqan : 7].<br />
<br />
Imam Al Qurthubi berkata, “Masuk pasar dibolehkan untuk berniaga dan mencari penghidupan. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu masuk pasar untuk memenuhi hajatnya, disamping untuk mengingatkan manusia akan perintah Allah, berdakwah, dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyodorkan diri kepada kabilah-kabilah yang datang. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.” Lihat Tafsir al Qurthubi (13/5).<br />
<br />
Ibnu Katsir, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”, beliau berkata: Yakni mereka (para rasul) adalah manusia. Mereka makan dan minum sebagaimana layaknya manusia yang lain, serta memasuki pasar untuk mencari penghasilan dan berniaga. Dan itu, tidaklah merugikan mereka lagi tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka. (Tidak) sebagaimana yang disangka oleh kaum musyrikin ketika mereka mengatakan tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. ” Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/175).<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri, ketika masa mudanya sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, Beliau pernah berdagang ke negeri Syam dengan ditemani budak lelaki Khadijah yang bernama Maisarah, membawa barang-barang perniagaan milik Khadijah Radhiyallahu 'anha sebelum menikahinya. Lihat Sirah Ibnu Hisyam (2/5-6). Pekerjaan inilah yang banyak digeluti oleh para sahabat, baik ketika masa jahiliyah maupun setelah Islam, terutama dari kalangan Muhajirin. Diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu : “Dan sesungghnya saudara-saudara kami kaum Muhajirin sibuk dengan urusan niaga di pasar. Sedangkan saudara-saudara kami kaum Anshar sibuk mengusahakan (memutar) harta mereka …” [HR Bukhari no. 118].<br />
<br />
Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha menceritakan: “Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu pernah keluar berniaga ke Bushra (Syam) pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pengkhususan terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidaklah mencegah Abu Bakar, yaitu untuk tidak memberikan bagiannya dari barang-barang perniagaan. Hal itu karena kekaguman dan kesukaan mereka dengan usaha niaga. Dan tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencegah Abu Bakar dari memperjualbelikan barang-barang niaganya karena kecintaan, kedekatan dan pengkhususannya terhadap Abu Bakar -dan sungguh bersahabat dengannya amat mengagumkan-, karena anjuran dan kekaguman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap usaha niaga.” [HR Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 23/30. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 2929]<br />
<br />
Shakhr bin Wada’ah Al Ghamidi menceritakan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br />
<br />
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا . وَكَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أَوْجَيْشاً بَعَثَهُمْ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، وَكَانَ صَخْرٌ رَجُلاً تَاجِراً، وَكَانَ يَبْعَثُ تِجَارَتَهُ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ.<br />
<br />
"Ya, Allah. Berkahilah untuk umatku di pagi harinya.” Dan apabila Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus pasukan, Beliau mengutusnya pada awal siang (pagi hari). Dan adalah Shakhr seorang pedagang; ia mengirimkan perniagaannya dari awal siang (pagi hari), maka ia pun menjadi kaya raya dan banyak harta". [HR Abu Dawud no. 2606, At Tirmidzi no. 1212, An Nasa-i dalam As Sunan Al Kubra, no. 8833, Ibnu Majah no. 2236 dan Ibnu Hibban 11/62-63. At Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan derajatnya. Dan tidak diketahui Shakhr meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selain hadits ini.” Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib, no. 1693]<br />
<br />
Al Barra’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam Radhiyallahu 'anhu pernah ditanya tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak), maka keduanya menjawab: “Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, kami pernah berdagang. Kami bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak). Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,’Jika dari tangan ke tangan (masing-masing langsung memperoleh barangnya), maka tidak mengapa. Tapi kalau dengan nasi’ah (dengan tempo dan masing-masing atau salah satu tidak memperoleh barangnya), maka tidak boleh’.”[4] [HR An Nasaa-i, no. 4576 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i].<br />
<br />
Urwah bin Az Zubair Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, bahwa Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu 'anhu pernah berdagang sesuatu. Lalu Ali Radhiyallahu 'anhu berkata kepadanya:“Sungguh saya akan mendatangi Utsman Radhiyallahu 'anhu dan akan memboikotmu,” maka Ibnu Ja’far memberitahukan hal itu kepada Az Zubair Radhiyallahu 'anhu . Az Zubair Radhiyallahu 'anhu berkata kepada Ibnu Ja’far Radhiyallahu 'anhu : “Saya berserikat denganmu (pantner) dalam perniagaan.” Kemudian Ali Radhiyallahu 'anhu mendatangi Utsman Radhiyallahu 'anhu dan berkata: “Sesungguhnya Ibnu Ja’far telah melakukan perniagaan begini …, maka boikotlah dia.” Tetapi Az Zubair berkata,“Saya adalah partnernya.” Maka Utsman berkata: “Bagaimana saya akan memboikot seseorang, sementara partnernya adalah Az Zubair.” [HR Al Baihaqi, 6/61 dan Asy Syafi’i dalam Al Musnad, 1/384. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 1449].<br />
<br />
Utsman bin Affan bercerita: Aku pernah menjual kurma di pasar, lalu aku mengatakan, “Aku telah menakarnya dalam wasaq-ku ini sekian, lalu aku membayar beberapa wasaq kurma dengan takaran (wasaq)nya dan aku mengambil keuntungan. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku, maka aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau pun menjawab,‘Apabila engkau telah menyebut takaran, maka takarlah’.” [HR Ibnu Majah, no. 2230. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 1331). Satu Wasaq = 60 shaa’ (antara 150-180 kg].<br />
<br />
Demikian beberapa macam pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia dalam mencari penghidupannya. Tentunya masih banyak lagi jenis pekerjaan yang lain, selama dibolehkan oleh syari’at. Misalnya, seperti bercocok tanam dan sebagainya.<br />
<br />
KESIMPULAN DAN PELAJARAN.<br />
1. Disyariatkan bekerja dan berusaha untuk menjadi sebab-sebab datangnya rezeki, demi menghindari perbuatan meminta-minta yang dilarang, kecuali dalam kondisi yang amat terpaksa [5].<br />
2. Terdapat keutamaan bagi orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri.<br />
3. Melakukan pekerjaan apa pun yang dihalalkan, tidak menurunkan martabat dan harga diri seseorang, bahkan justeru merupakan kemuliaan dan keutamaan. Karena para nabi pun bekerja mencari penghidupan.<br />
4. Dibolehkan bagi wanita bekerja dan berwirausaha selama tidak melanggar larangan-larangan syari’at, seperti bercampur baur dengan kaum lelaki yang bukan mahram dalam pekerjaannya.<br />
5. Bila seseorang telah dibukakan rezeki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari suatu jalan pekerjaan atau tempat, janganlah beralih kepada pekerjaan atau tempat lain yang belum jelas hasilnya, sampai Allah menutup baginya jalan yang pertama yang mengharuskannya mencari jalan lain.<br />
6. Anjuran mengadakan aktifitas usaha pada awal siang (pagi hari), karena itu merupakan waktu yang didapati keberkahan Allah.<br />
7. Imam Al Qurthubi berkata: Telah berkata kepadaku sebagian masyayikh (gugu-guru kaum sufi) pada masa sekarang dalam suatu perbincangan, ”Sesungguhnya para nabi diutus untuk mengajarkan sebab-sebab bagi orang-orang yang lemah,” maka saya jawab,”Perkataan ini tidak ada sumbernya, melainkan dari orang-orang yang jahil, dungu dan bodoh, atau dari seorang yang mencela Al Kitab dan As Sunnah yang mulia, padahal Allah mengabarkan dalam kitabNya tentang orang-orang pilihan, para nabi dan rasulNya (bahwa mereka) mengambil sebab-sebab dan (bekerja dengan) keahlian mereka. Maka Allah berkata dan perkataanNya adalah haq (benar):<br />
<br />
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ<br />
<br />
"Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu.." [Al Anbiya’: 80].<br />
<br />
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ ...<br />
<br />
"Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar". [Al Furqan : 20].<br />
<br />
Para ulama mengatakan, maksudnya ialah, mereka berniaga dan memiliki keahlian (berwira usaha). Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengatakan, ‘Telah dijadikan rezekiku di bawah naungan tombakku (dari rampasan perang).’ Allah berfirman:<br />
<br />
فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلالاً طَيِّباً<br />
<br />
"Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik …" [Al Anfal : 69].<br />
<br />
Para sahabat Radhiyallahu 'anhum dahulu berniaga, memiliki keahliaan (berwira usaha), mengusahakan (memutar) harta mereka dan memerangi orang-orang kafir yang menyelisihi mereka. (Maka) apakah kamu memandang, bahwa mereka itu orang-orang yang lemah, bahkan –demi Allah- mereka itu orang-orang yang kuat, dan generasi yang shalih setelah mereka mengikuti teladan mereka. Dalam jalan mereka terdapat petunjuk dan pelajaran”. Lihat Tafsir Al Qurthubi (13/14).<br />
<br />
Wallahu a’lam.<br />
<br />
(Sumber: Al-Manhaj)Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9171389458429773466.post-59495222955029209832016-10-06T20:58:00.000-07:002016-10-06T20:58:38.076-07:00ABDUR-RAHMAN BIN MULJAM, POTRET BURAM SEORANG KORBAN PEMIKIRAN KHAWARIJ, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’anABDUR-RAHMAN BIN MULJAM, POTRET BURAM SEORANG KORBAN PEMIKIRAN KHAWARIJ<br />
<br />
<br />
Oleh<br />
Muhammad 'Ashim bin Musthafa<br />
<br />
<br />
<br />
Kebenaran pemahaman dan itikad yang baik merupakan tonggak penting dalam mengaplikasikan ajaran Islam secara benar. Dua perkara ini harus seiring-sejalan. Ketika salah satunya tidak terpenuhi, maka tabiat orang-orang Yahudi -yang tidak mempunya itikad baik di hadapan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala -, dan penganut Nashâra -yang berjalan tanpa petunjuk ilmu- akan berkembang di tengah umat. Akibatnya timbullah kerusakan. <br />
<br />
Contoh perihal bahaya dari pemahaman yang tidak lurus ini, dapat dilihat pada diri 'Abdur- Rahmaan bin Muljam. Sosok ini telah teracuni pemikiran Khawaarij. Yaitu satu golongan yang kali pertama keluar dari jama'atul-muslimîn. Sejarah mencatat kejahatan kaum Khawaarij ini telah melakukan pembunuhan terhadap Amîrul-Mu`minîn 'Ali bin Abi Thâlib, yang juga kemenakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
SIAPAKAH 'ABDUR-RAHMÂN BIN MULJAM?<br />
Merupakan kekeliruan jika ada yang menganggap 'Abdur-Rahmân bin Muljam dahulu seorang yang jahat. Sebelumnya, 'Abdur-Rahmân bin Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya tentang agama kurang menguasai. <br />
<br />
Meski demikian, ia mendapat gelar al-Muqri`. Dia mengajarkan Al-Qur`ân kepada orang lain. Tentang kemampuannya ini, Khalifah 'Umar bin al Khaththab sendiri mengakuinya. Dia pun pernah dikirim Khaliifah 'Umar ke Mesir untuk memberi pengajaran Al-Qur`ân di sana, untuk memenuhi permintaan Gubernur Mesir, 'Amr bin al-'Aash, karena mereka sedang membutuhkan seorang qâri. <br />
<br />
Dalam surat balasannya, 'Umar menulis: "Aku telah mengirim kepadamu seorang yang shâlih, 'Abdur-Rahmân bin Muljam. Aku merelakan ia bagimu. Jika telah sampai, muliakanlah ia, dan buatkan sebuah rumah untuknya sebagai tempat mengajarkan Al-Qur`ân kepada masyarakat". <br />
<br />
Sekian lama ia menjalankan tugasnya sebagai muqri`, sampai akhirnya benih-benih pemikiran Khawârij mulai berkembang di Mesir, dan berhasil menyentuh 'âthifah (perasaan)nya, hingga kemudian memperdayainya.[1] <br />
<br />
MERENCANAKAN PEMBUNUHAN TERHADAP 'ALI BIN ABI THÂLIB [2] <br />
Inilah salah satu keanehan 'Abdur-Rahmân yang sudah terjangkiti pemikiran Khawârij. Tiga orang penganut paham Khawârij - 'Abdur-Rahmân bin Muljam al-Himyari, al-Burak bin 'Abdillah at-Tamîmi dan 'Amr bin Bakr at-Tamîmi - mereka berkumpul bersama, sambil mengingat-ingat tentang 'Ali Radhiyallahu 'anhu yang telah menghabisi kawan-kawan mereka di perang Nahrawân. Mereka pun berdoa memohon rahmat kebaikan bagi orang-orang yang telah menemui ajalnya itu. <br />
<br />
Peristiwa peperangan Nahrawân sangat membekaskan luka mendalam pada hati mereka. Salah seorang dari mereka berkata: "Apa lagi yang akan kita perbuat setelah kepergian mereka? Mereka tidak takut terhadap apapun di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebaiknya kita mengorbankan jiwa dan mendatangi orang-orang yang sesat itu [3]. Kita bunuh mereka, sehingga negeri ini terbebas dari mereka, dan kita pun telah melunasi balas dendam?" <br />
<br />
Akhirnya, mereka merencanakan balas dendam dengan merancang pembunuhan terhadap tiga orang yang mereka anggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Pembunuhan ini mereka anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka sepakat melakukan pembunuhan terhadap tiga orang itu, yaitu 'Ali bin Abi Thâlib, Mu'awiyyah dan 'Amr bin al 'Âsh Radhiyallahu 'anhum, dan mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan rencana keji itu. <br />
<br />
Rencana 'Abdur- Rahmân bin Muljam untuk membunuh 'Ali Radhiyallahu 'anhu kian menguat setelah didorong oleh seorang perempuan.<br />
<br />
Dikisahkan, adalah Fithâm nama wanita itu. Kecantikannya yang masyhur di tengah kaum muslimin telah berhasil merebut hati 'Abdur-Rahmân bin Muljam. Hingga ia melupakan misi jahatnya di Kufah, yaitu membunuh Amirul-Mu`minin 'Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu. Namun tak terduga, hasratnya memperistri wanita yang terkenal cantik itu, justru memicu niatnya yang sempat terlupakan.<br />
<br />
Pasalnya, selain permintaan mas kawin yang berupa kekayaan duniawi, wanita ini juga memasukkan pembunuhan terhadap 'Ali Radhiyallahu 'anhu sebagai syarat, jika Ibnu Muljam ingin memperistrinya. Syarat pinangan yang aneh ini yang kemudian mengingatkan Ibnu Muljam dengan niat jahat itu, dan ia bertambah semangatnya untuk segera mewujudkan niat buruknya. Katanya,"Ya, ia adalah bagianku. Demi Allah, tidaklah aku datang ke tempat ini kecuali dengan niat untuk membunuh 'Ali". Syarat ini terpenuhi dan pernikahan pun dilaksanakan. Semenjak itu, sang wanita ini selalu membakar semangat suaminya untuk merealisasikan niatnya. Bahkan ia memberi bantuan kepada Ibnu Muljam seorang lelaki yang bernama Wardân untuk mewujudkan rencana jahat itu.<br />
<br />
Setelah itu, Ibnu Muljam pun mengajak seseorang yang Syabiib bin Najdah al Asyja'i. Katanya,"Maukah engkau memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?"<br />
<br />
Tetapi, begitu mendengar yang dimaksud ialah membunuh 'Ali Radhiyallahu 'anhu, maka Syabîb menampiknya. Karena ia mengetahui, 'Ali Radhiyallahu 'anhu memiliki jasa yang sangat besar bagi Islam dan kaum muslimin, dan ia memiliki kedekatan dalam hal kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
. <br />
Melihat penolakan ini, Ibnu Muljam tak kalah cerdik. Dengan agresifitasnya, ia membakar emosi Syabîb dengan menyebut kematian orang-orang Khawarij di tangan 'Ali. Yang akhirnya, ia berhasil menjinakkan hati Syabîb. Padahal Khalifah 'Ali bin Thâlib -pada masa itu- ialah orang yang paling tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, paling zuhud terhadap dunia, paling berilmu dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla.<br />
<br />
Mereka bertiga kemudian bergerak melancarkan niatnya pada malam 17 Ramadhan 41 H . Hari yang sudah diputuskan oleh Ibnu Muljam, al-Burk dan 'Amr bin Bakr untuk menyudahi nyawa tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu 'Ali, Mu'awiyyah, dan Amr bin al-'Âsh Radhiyallahu 'anhum.<br />
<br />
Begitu waktu subuh tiba, sebagaimana biasa Amirul-Mu`minin 'Ali bin Thâlib keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat Subuh dan membangunkan manusia. Saat itulah pedang Khawarij yang beracun menciderai 'Ali Radhiyallahu 'anhu. Ketika Ibnu Muljam menyabetkan pedangnya pada bagian pelipis 'Ali Radhiyallahu 'anhu, ia berseru: "Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bukan milikmu atau orang-orangmu (wahai 'Ali)," lantas ia membaca ayat : <br />
<br />
"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya". [al Baqarah/2:207].[4]<br />
<br />
Mendapat serangan ini, Amirul-Mu`minin berteriak meminta tolong. Dan akhirnya Ibnu Muljam berhasil ditangkap hidup-hidup. Adapun Wardân, ia langsung terbunuh. Sedangkan Syabîb berhasil meloloskan diri. <br />
<br />
AKHIR KEHIDUPAN 'ABDUR-RAHMAAN BIN MULJAM<br />
Ketika Amirul-Mu`minin 'Ali bin Thâlib Radhiyallahu 'anhu dipastikan meninggal karena serangan Ibnu Muljam, maka diputuskanlah hukuman mati bagi Ibnu Muljam. Hukuman ini diawali dengan memotong kedua kaki dan tangannya dan menusuk dua matanya, kemudian dilanjutkan dengan membakar jasadnya.<br />
<br />
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang Ibnu Muljam: "Sebelumnya, ia adalah seorang ahli ibadah, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi, akhir kehidupannya ditutup dengan kejelekan (su`ul khâtimah). Dia membunuh Amirul-Mu'minin 'Ali Radhiyallahu 'anhu dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui tetesan darahnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi ampunan dan keselamatan bagi kita".[5]<br />
<br />
Berbeda dengan anggapan kalangan Khawârij. Di tengah mereka, 'Abdur-Rahmân bin Muljam ini dielu-elukan bak pahlawan. Dia mendapatkan pujian dan sanjungan. Di antaranya keluar dari 'Imrân bin Haththân. Orang ini, sebelumnya dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli ibadah. Namun, perkawinannya dengan seorang wanita yang memiliki pemikiran Khawârij, menjadikannya berubah secara drastis. Dia mengikuti pemahaman istrinya. Dia merangkai bait-bait sya'ir sebagai pujian yang ditujukan kepada 'Abdur-Rahmân bin Muljam: <br />
<br />
Oh, sebuah sabetan dari orang bertakwa, tiada yang ia inginkan<br />
selain untuk menggapai keridhaan di sisi Dzat Pemilik 'Arsyi<br />
Suatu waktu akan kusebut namanya, dan aku meyakininya<br />
(sebagai) insan yang penuh timbangan (kebaikannya) di sisi Allah.[6] <br />
<br />
Pujian ini tentu merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga dapat menyeret seseorang menjadi keliru dalam memandang kebatilan hingga terlihat sebagai kebenaran di matanya. Na'ûdzu billahi min dzâlik. Golongan lain yang juga memberi sanjungan kepada pembunuh 'Ali Radhiyallahu 'anhu, yaitu golongan Nushairiyyah. Konon katanya, karena Ibnu Muljam telah melepaskan "ruh ilâhi" dari tanah.[7] <br />
<br />
BEBERAPA PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS <br />
1. Pemahaman yang benar dalam mengaplikasikan Islam merupakan keharusan bagi seorang muslim. Dalam hal ini, para sahabat merupakan generasi Islam pertama, yang pastinya paling memahami Islam. Mereka mereguknya langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Ketika muncul pergolakan yang disulut kaum Khawaarij, tidak ada satu pun dari sahabat yang merapat ke barisan mereka. Pemahaman-pemahaman terhadap Islam yang tidak mengacu kepada para sahabat -sebagai generasi pertama umat Islam- hanya akan berakhir dengan kekelaman. Motif mereka sesat, karena beranggapan pembunuhan ini sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Alasan demikian tentu menjatuhkan citra Islam, dan menjadi ternoda karenanya. Hal ini bisa menimpa siapa pun yang berbuat tanpa dasar ilmu, tanpa pemahaman yang lurus, dan hanya mengandalkan perasaan atau hawa nafsu semata. <br />
<br />
2. Kebodohan itu berbahaya, lantaran menyebabkan ketidakjelasan barometer syar'i bagi seseorang, sehingga membuat kelemahan dalam tashawwur (pendeskripsian) dalam memandang suatu masalah.[8]<br />
<br />
3. Bahaya teman dekat (istri, suami) yang berpemikiran buruk atau menyimpang. Wallahu a'lam<br />
<br />
(Sumber: Al-Manhaj)Unknownnoreply@blogger.com